Budidaya Perkebunan
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Budidaya Perkebunan by Issue Date
Now showing 1 - 20 of 121
Results Per Page
Sort Options
- ItemBudidaya Tanaman Coklat(BPTP Kalteng, 1987) BPTP KaltengTanaman Coklat baru mulai dikembangkan di Kalimantan Tengah sejak tahun 1981. Pada tahun 1986 tercatat seluas 1.319 Ha yang terdapat di Muara Teweh Kabupaten Barito Utara dan Pujon - Kabupaten Kapuas. Sebenarnya tanaman Coklat yang berasal dari Amerika telah dimasukkan ke Indonesia oleh orang Spanyol pada tahun 1560, dan pada tahun 1870 mulai diusahakan secara perkebunan. Produksi Coklat Indonesia sendiri sangat kecil, kurang dari 1% produk coklat dunia
- ItemEfikasi Beberapa Insektisida Terhadap Ulat Kenari Cricula trifenestrata Helf.(Balittro, 1987-06-02) Munaan, Amri; Balittro-
- ItemPenyambungan Kopi Arabika Pada Robusta(Balai Informasi Pertanian Lampung, 1995) Balai Informasi Pertanian Lampung; Balai Informasi Pertanian Lampung
- ItemBudidaya Kelapa dan Penyadapannya(Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 1996) AR, Adeny Rozak; Damiri, Ahmad; Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
- ItemUpaya Peningkatan Produksi Jambu Mete(Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kendari, 1997) Djamaluddin, Rahmatia; Sahara, Dewi; Darwin, Muhammad; Irawan, YudiJambu mete merupakan salah satu komoditas andalan daerah Sulawesi Tenggara yang pada awalnya hanya ditanam sebagai program penghijauan pada lahan kritis. Oleh sebab itu pengelolaannya masih bersifat konvensional sehingga menyebabkan produksi dan produktivitas tanaman sangat rendah. Namun sejalan dengan lajunya pembangunan bidang ekonomi, maka komoditas ini berkembang pula menjadi produk unggulan yang besar artinya bagi daerah.
- ItemResponse of Five Kenaf Accessions to Shoot Regeneration(Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 1999) Purwati, Rully Dyah; Sudjindro; Sudarmadji; Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan SeratThis experiment was aimed to study response of fives kenfa accession to shoot regeneratioo and to establish an appropriate regeaeraiea protocol for kenaf The experiment was performed at Tissue Culture Laboratory Research Institute for Tobacco and Fibre Crops (RITFC), MaJang, from June to Octo- ber 1997. Crtyledons with plumules attached were used as explants and culture medium for callus induction was MS-based medium with BAP (2 mgfl) and NAA (0.5 mgfl). Calli produced in this cultures were transferred into MS-based medium containing BAP (2 mgfl) and GAJ (5 mgfl) for shoot initiatioo. All shorts obtained were then sub-cultured in MS-based medium without regulators (MSO) for root formation. Rooted shorts (plantlets) were acclimatized in the sterile sand and transferred into sterile soil in the glass house. Results of this experiment showed that the most respoosive accessions were Cuba 10811, followed by KK 60, He 48, PI 324922, aid CRNI 056 H with the average number of shoots per explant 4.32 ± 4.21, 4.00± 4.01, 3.05 ± 2.98, 2.80± 1.47, and 2.72 ± 2.49, respectively, at 40 days after transferring on shoot regeneratica medium. Shoots rooted after 14 days on MSO medium with frequencies of 81.50-93.30%. Healthy plaatlets survived and grew well in soil media in the glass house. Therefore, an appropriate short regeneration protocol for kenafwas found,
- ItemSTANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK(Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2000) Mono Rahardjo, Otih RostianaKegunaan utama rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah sebagai bahan baku obat, karena dapat merangsang sekresi empedu dan pankreas. Sebagai obat fitofarmaka, temulawak bermanfaat untuk mengobati penyakit saluran pencernaan, kelainan hati, kandung empedu, pankreas, usus halus, tekanan darah tinggi, kontraksi usus, TBC, sariawan, dan dapat dipergunakan sebagai tonikum. Secara tradisional, banyak digunakan untuk mengobati diare, disentri, wasir, bengkak karena infeksi, eksim, cacar, jerawat, sakit kuning, sembelit, kurang nafsu makan, kejang-kejang, radang lambung, kencing darah, ayan, dan kurang darah. Kebutuhan simplisia temulawak sebagai bahan baku obat tradisional di Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2003 menduduki peringkat pertama dilihat dari jumlah serapan industri obat tradisional. Banyaknya ragam manfaat temulawak baik untuk obat tradisional maupun fitofarmaka karena rimpangnya mengandung protein, pati, zat warna kuning kurkuminoid dan minyak atsiri. Kandungan kimia minyak atsirinya antara lain, feladren, kamfer, turmerol, tolilmetilkarbinol, ar-kurkumen, zingiberen, kuzerenon, germakron, βtumeron, dan xanthorizol yang mempunyai limpahan tertinggi (40%).
- ItemBudidaya Tanaman Nilam(Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, 2001-03-12) Yusron, Muchamad; Balai Penelitian Tanaman Rempah dan ObatNilam atau yang dikenal dengan Dilem Jawa, tanaman penghasil minyak atsiri yang saat ini semakin banyak dicari dan dikembangkan masyarakat. kebutuhan minyak atsiri dari Nilam semakin meningkat sejalan dengan berkembangnya industri kosmetik baik dalam negeri maupun luar negeri. keunggulan minyak nilam Indonesia sudah dikenal sekaligus diakui oleh berbagai negara yang menjadi importir. baunya lebih harum dan tahan lama dibandingkan dengan minyak hasil negara lain
- ItemPOKOK PERMASALAHAN DALAM USAHA PENGEMBANGAN ITV DI LOMBOK - NTB(Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, 2003) Dinas Perkebunan Propinsi Nusa Tenggara Barat; Dinas Perkebunan Propinsi Nusa Tenggara Barat
- ItemBudidaya Tanaman Kakao(BPTP Kalteng, 2003-11) Hartono, Ary; Suriansyah; Massinai, Rustan; BPTP KaltengPenanaman kakao dalam skala perkebunan di Indonesia dimulai pada tahun 1780 di Minahasa dan pada tahun 1858 ditanam di Seram dan Ambon. Perkebunan kakao tersebut kurang berkembang akibat serangan penggerek buah. Penanaman kakao berkembang pesat di Jawa pada awal abad 19, sebagai ganti tanaman kopi yang hancur oleh serangan penyakit kanal daun. Tanaman kakao baru mulai dikembangkan di Kalimantan Tengah pada tahun 1981 dan pada tahun 2002 tercatat seluas 896 Ha yang terdapat di kabupaten Barito Utara, Barito Selatan dan daerah Pujon kabupaten Kapuas
- ItemUSAHA TANI RAMI DI SELA-SELA POHON KELAPA(Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, 2007) TIRTOSUPROBO, Supriyadi; Untung Setyo-Budi; Budi Santoso; Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat
- ItemUPAYA MENYUKSESKAN PROGRAM REVITALISASI PERKAPASAN(Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2007) PAKPAHAN, Agus; Deputi Meneg BUMN; Deputi Meneg BUMN
- ItemTeknologi Unggulan Kelapa : Budidaya Pendukung Varietas Unggul(Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2007) Mahmud, Zainal; Novarianto, Hengky; Barlina, Rindengan; Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
- ItemPELUANG PERBANYAKAN BIBIT MELALUI KULTUR JARINGAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN RAMI(Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, 2007) PURWATI, Rully Dyah; Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat
- ItemRESPON TIGA KLON RAMI TERHADAP APLIKASI PUPUK P PADA TAHUN PERTAMA DI WONOSOBO(Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, 2007) DJUMALI; Sri Mulyaningsih; Budi Santoso; Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan SeratPenurunan aplikasi dosis pupuk P merupakan salah satu upaya untuk menurunkan biaya produksi tanaman rami agar mempunyai daya kompetitif terhadap tanaman budi daya lainnya. Agar penurunan dosis pupuk P tidak diikuti oleh penurunan produksi serat kasar, maka perlu dipelajari respon tanaman rami terhadap aplikasi pupuk P. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui respon tanaman rami terhadap aplikasi pupuk P dilakukan di Wonosobo, Jawa Tengah pada Juni 2001–Juli 2002 dengan Rancangan Petak Terbagi diulang empat kali. Petak utama berupa tiga klon rami (Pujon 10, Indochina, dan Pujon 501), dan anak petak berupa tiga dosis pupuk P (0, 20, dan 40 kg P2O5/ha/panen). Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi klon rami dengan dosis pupuk P mempengaruhi produksi serat kasar yang diperoleh. Peningkatan dosis pupuk P dari 0 ke 20 kg P2O5/ha/panen diikuti oleh peningkatan produksi serat kasar secara nyata pada Pujon 10, Indochina, dan Pujon 501 masing-masing sebesar 16,9; 20,3; dan 21,3%, sedangkan peningkatan dosis pupuk lebih dari 20 kg P2O5/ha/panen hanya diikuti peningkatan produksi serat pada klon Indochina saja yakni sebesar 11,7%. Klon Pujon 10 yang tidak dipupuk P menghasilkan produksi serat lebih tinggi dibanding klon Indochina yang dipupuk 0–20 kg P2O5/ha/panen maupun klon Pujon 501 yang dipupuk 0–40 kg P2O5/ha/panen. Produksi serat kasar tertinggi diperoleh klon Pujon 10 yang dipupuk 20–40 kg P2O5/ha /panen yakni sebesar 2,28–2,37 ton/ha/tahun.
- ItemDEKORTIKATOR UNTUK PENGAMBILAN SERAT RAMI(Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, 2007) DARMONO; Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat
- ItemSTATUS WIJEN (Sesamum indicum L.) DI DALAM DAN LUAR NEGERI(Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2007) RACHMAN, Agus Hasanuddin; Direktorat Tanaman Semusim, Direktorat Jenderal Perkebunan; Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan SeratWijen dapat diolah menjadi bahan makanan dan industri. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia masih melakukan impor wijen, namun Indonesia juga melakukan ekspor wijen. Perdagangan internasional untuk wijen di Indonesia sulit dipantau terkait dengan adanya reekspor wijen dari Indonesia. Wijen berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia, baik sebagai tanaman utama maupun sebagai tanaman tumpang sari. Namun di dalam pengembangannya sering menghadapi masalah antara lain petani belum menerapkan budi daya secara optimal. Petani belum menerapkan usaha tani terpadu, dan belum terbentuk pola kemitraan antara petani dengan pemasok. Untuk pengembangan wijen ke depan permasalahan tersebut harus segera dicarikan solusi.
- ItemPENGEMBANGAN TANAMAN WIJEN (Sesamum indicum L.) DI KABUPATEN SUKOHARJO(Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2007) TIRTOSUPROBO, Supriyadi; Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan SeratWijen (Sesamum indicum L.) termasuk tanaman penghasil minyak industri, produk yang dihasilkan berupa biji yang mengandung 15–17% minyak dengan kandungan asam lemak jenuh rendah, 19–25% serat dan abu. Tanaman wi-jen dapat menyesuaikan diri dalam keadaan kurang air, bahkan pada lahan yang kurus tanaman wijen dapat mengha-silkan dengan mutu produk tetap baik. Di daerah Sukoharjo semula tanaman wijen diusahakan secara tumpang sari de-ngan tanaman palawija (jagung atau kedelai) dan merupakan tanaman tambahan. Selanjutnya dengan meningkatnya permintaan pasar dan berkembangnya industri berbahan baku wijen, banyak petani yang mengusahakan secara mono-kultur. Sistem tanam tumpang sari dengan jagung dapat menghasilkan pendapatan Rp1.253.265,00/ha. Apabila ditum-pangsarikan dengan kedelai dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi yaitu Rp1.650.249,00/ha. Penanaman wi-jen secara monokultur lebih menguntungkan karena dapat menghasilkan pendapatan Rp2.653.159,00/ha dan tingkat pendapatan ini lebih tinggi dibandingkan pendapatan usaha tani jagung monokultur yang hanya Rp1.694.440,00/ha, ber-arti tanaman wijen mempunyai keunggulan kompetitif terhadap tanaman jagung. Prospek budi daya wijen di Sukoharjo cukup cerah karena peluang peningkatan produktivitasnya masih terbuka. Dalam periode tahun 1997–2001 produktivi-tasnya berkisar antara 40,7–219,8 kg/ha, sedangkan di tingkat petani Indonesia dapat mencapai 400 kg/ha yang masih sebanding dengan produktivitas di Thailand sebagai negara penghasil wijen 430–630 kg/ha. Prospek tersebut juga terli-hat dari potensi areal 1.000 ha hanya sekitar 100 ha yang secara rutin diusahakan petani tiap musim untuk penanaman wijen. Selain itu, dalam tahun 1950-an Sukoharjo menjadi sentra produksi wijen di Jawa Tengah. Keterbatasan penggu-naan benih unggul wijen dengan daya hasil tinggi masih merupakan kendala, hal ini terlihat masih banyaknya penggu-naan jenis lokal yang produktivitasnya relatif rendah. Kurangnya penguasaan teknologi budi daya, bahkan tanaman wi-jen masih dianggap sebagai tanaman sela dan belum diusahakan sebagai tanaman pokok yang disertai adanya kesen-jangan harga produk antarmusim juga merupakan serangkaian kendala dalam pengembangan tanaman wijen secara ber-kelanjutan.
- ItemPENGARUH INTERVAL PEMANENAN RIZOMA DAN JUMLAH RIZOMA TERPANEN PER RUMPUN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL RAMI(Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, 2007) SANTOSO, Budi; Adji Sastrosupadi; Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan SeratPercobaan dilaksanakan di Desa Cengang, Kecamatan Sapuran, Kabupaten Wonosobo mulai bulan Mei sampai dengan Desember 2003. Tipe tanah adalah latosol/andosol dan tipe iklim B2 menurut Oldeman, 1975 serta ketinggian tempat 750 m dpl. Tujuan percobaan yaitu untuk memperoleh teknologi pemanenan rizoma sebagai sumber bibit rami yang efisien. Percobaan disusun sebagai percobaan faktorial dengan rancangan petak jalur dengan tiga ulangan. Faktor I berupa interval pemanenan rizoma yang terdiri atas tiga taraf : dipanen setiap dua, empat, dan enam bulan panen serat. Faktor II berupa jumlah rizoma yang dipanen per rumpun yang terdiri dari satu, dua, dan tiga rizoma. Ukuran petak 4,8 m x 6 m dan jarak tanam 0,80 m x 0,40 m. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, diameter batang, jumlah batang/rumpun dari 10 tanaman contoh, sifat-sifat stek rizoma, dan penerimaan total dari hasil penjualan stek rizoma dan serat. Hasil percobaan menunjukkan bahwa semakin pendek interval pengambilan rizoma dapat meningkatkan tinggi tanaman, diamater batang, dan jumlah rizoma yang dipanen, tetapi menurunkan banyaknya batang/rumpun dan hasil serat. Pengaruh sebaliknya terjadi pada perlakuan banyaknya rizoma yang dipanen setiap rumpun. Penerimaan total dari hasil penjualan stek rizoma dan serat yang tertinggi diperoleh dari perlakuan pemanenan rizoma setiap dua bulan dan jumlah rizoma yang dipanen sebanyak tiga/rumpun, masing-masing sebesar Rp39,13 dan Rp43,68 juta/ha/enam bulan.
- ItemINTENSITAS KERUSAKAN AKSESI WIJEN (Sesamum indicum L.) TERHADAP HAMA TUNGAU Polyphagotarsonemus latus (BANKS)(Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2007) Tukimin S.W.; Suprijono; Rusim-Mardjono; A. Muhammad Amir; Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan SeratPenelitian intensitas kerusakan aksesi wijen terhadap hama tungau Polyphagotarsonemus latus (Banks) dilak-sanakan di Kebun Percobaan Sumberrejo, Bojonegoro mulai April–Agustus 2005. Tujuan penelitian untuk mengetahui intensitas kerusakan pada aksesi wijen terhadap hama keriting daun P. latus. Aksesi wijen yang diuji adalah: SI 1, SI 2, SI 3, SI 4, SI 5, SI 6, SI 7, SI 8, SI 9, SI 10, SI 11, SI 12, SI 13, SI 14, SI 15, SI 16, SI 17, SI 18, SI 19, SI 20, SI 21, SI 24, SI 25, SI 28, Sbr 1 (pembanding). Perlakuan disusun dalam rancangan acak kelompok diulang tiga kali. Pengamatan dilakukan mulai 25 hari setelah tanam (HST) sampai 75 HST. Variabel pengamatan meliputi: intensitas kerusakan yang diamati sepertiga bagian atas tanaman dan populasi telur, larva, nimfa, dan imago. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksesi-aksesi wijen yang tergolong tahan sampai 45 HST ada 7 aksesi yaitu: SI 3, SI 13, SI 17, SI 18, SI 20, SI 24, SI 28, dan mempunyai ketahanan sama dengan varietas pembanding yaitu Sbr 1. Aksesi-aksesi tersebut pada pengamatan 75 HST tidak ada yang tergolong tahan, dan hanya menunjukkan agak tahan. Empat aksesi yang agak tahan adalah SI 3, SI 17, SI 20, dan SI 28. Aksesi-aksesi tersebut mempunyai tingkat ketahanan yang sama dengan Sbr 1 (agak tahan).