Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia by Issue Date
Now showing 1 - 20 of 51
Results Per Page
Sort Options
- ItemPossible Socio-Economic Impacts of Biotechnology in Indonesia(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1977-11) Saono, Susono; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorThere are scanty studies specifically focused on the impact of biotechnology in general, let alone the impact of biotechnology in developing countries. This is apparently due to the complexity of such an impact study which is highly determined by the dependence of a country's economy on the product concerned, its technological potential to respond to changes in the world market, and the dominant farming systems in which the crop is grown. Most of the available publication on the impacts of biotechnologies are dealing with the possible impacts on developing countries, which might be positive, negative, or both. Inspite of limited information about the actual socio-economic impacts of biotechnology in developing countries, the trend for development in developed and advanced developing countries, particularly in Asia and ASEAN countries, seem to be encouraging. This is shown by the high priority given to biotechnology in their national development programs. In many cases the different possible impacts of biotechnology on developing countries in general and on ASEAN countries in particular, are also applicable to Indonesia, especially in areas where (traditional) biotechnologies have been practiced for a long time as well as in new endeavours involving extensive and intensive utilization of the rich Indonesian biological resources. Some salient examples are presented. Obviously, more focused studies are needed at national level in order to distinguish the actual impact of biotechnologies from that of other technologies applied in the same sector, e.g. agriculture, health, animal husbandry, industry, the environment, bioremediation, biodiversity, and to establish which techniques are the most appropriate and whether they may be used in other similar locations.
- ItemFusi Sel pada Berbagai Tahap Perkembangan Sel Embrio(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Tappa ...[at al], Baharuddin; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorTeknik fusi sel dilakukan pada genom embrio mamalia untuk mempelajari interaksi inti sitoplasma dan kloning dengan teknik transfer inti. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi sel blastomer genom dari berbagai tahap perkembangan sel embrio mencit dengan menggunakan metode fusi elektrik untuk pengembangan teknik transfer inti. Sel-sel blastomer dari embrio tahap 2, 4, 8, dan 16 sel. Terhadap sel-sel blastomer tersebut diberikan stlmulasi elektrik pada kondisi fusi yang berbeda. Embrio yang telah difusi, dikultur dalam inkubator CO2 dengan konsntrasi CO2 5% temperatur 38,5C selama 96 jam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa angka fusi yang tertinggi adalah 88,6% dari embrio tahap 2 dan 16 sel yang difusi pada kekuatan pulse 1,5-2,0 kv/cm dalam waktu 60-90 psec. Sedangkan embrio tahap 16 sel memperlihatkan angka fusi yang terendah 34,3% pada 2,0 kv/cm dengan 90 psec. Sel blastomer yang telah terjadi fusi setelah dikultur sampai tahap blastosis memperlihatkan bahwa embrio tahap 2-16 sel tidak berbeda pada kekuatan pulsa 1,0-2,0 kv/cm selama 30-90 psec. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fusi sel dengan metode fusi elektrik dapat digunakan untuk menghasilkan kloning dengan teknik transfer inti.
- ItemPengaruh Macam Bahan Organik dan Saat Aplikasi Trichoderma sp. terhadap Populasi Fusarium sp. di Areal Tanaman Tomat(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Sukorini ...[at al], Henik; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorPenelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh macam bahan organik dan saat aplikasi Trichoderma sp. terhadap populasi Fusarium sp. di areal pertanaman tomat. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok yang disusun secara faktorial. Faktor I adalah saat aplikasi yang terdiri dari lima level. Faktor II adalah macam bahan organik yang terdiri dari tiga level. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan bahan organik jerami padi dan jerami kedelai, pemberian Trichoderma 30 hari sebelum tanam lebih efektif dalam menekan populasi Fusarium sp. Dibandingkan saat aplikasi yang lain. Pada bahan organik Azolla yang terbaik adalah pada pemberian 15 hari setelah tanam.
- ItemPenggunaan Marka Molekuler dalam Perbaikan Ketahanan Varietas Padi terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri di Indonesia(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) M. Bustamam ...[at al]; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorPenyakit hawar daun bakteri, selanjutnya disebut HDB (Bacterial Leaf Blight, BLB) merupakan salah satu penyakit penting pada padi terutama pada padi sawah yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (ex. Ishiyama). Penanaman varietas tahan merupakan cara yang efektif dan ekonomis untuk pengendalian serangan HOB. Oleh karena itu, perakitan varietas unggul baru yang membawa gen ketahanan terhadap HOB terus dilakukan. Ketahanan varietas tanaman sangat erat hubungannya dengan variasi genetik di lapang. Oengan uji virulensi patogen pada tanaman diferensial, telah dilaporkan adanya sebelas kelompok strain HDB. Bertambahnya daerah penanaman IR64 mengakibatkan bertambah luasnya daerah sebaran HDB kelompok IV. Kelompok IV ini merupakan strain yang sangat virulen di mana varietas padi yang membawa gen ketahanan terhadap HDB strain IV ini belum diketahui hingga penelitian ini dilakukan. Perkembangan ilmu dalam bidang biologi molekuler telah memberi alternatif lain dalam mempelajari variasi genetik dan struktur populasi patogen serta untuk penelusuran dan seleksi persilangan varietas yang membawa gen tahan penyakit HDB. Pada tulisan ini akan disampaikan penggunaan beberapa marka DNA untuk analisis variasi genetik dan struktur populasi HDB di Indonesia, di samping marka DNA untuk penandaan dan pemetaan gen ketahanan varietas Cisadane terhadap HDB, serta marka DNA untuk perbaikan ketahanan IR64 dengan tanaman isogenik yang membawa gen tahan HDB ysrg efektif seperti xa-5, Xa-7, dan Xa-21.
- ItemProteksi Tanaman Alpukat dari Serangan Jamur Tular Tanah dengan Menggunakan Biofungisida Trichoderma harzianum(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Suwahyono ...[at al], Untung; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorPenelitian tentang penggunaan biofungisida Trichoderma harzianum bertujuan untuk mengendalikan jamur patogen tular tanah yang menyerang tanaman alpukat dilakukan pada kebun alpukat seluas 1,8 ha dengan total populasi 259 tanaman. Tingkat serangan jamur tular tanah pada lahan tersebut mencapai 37,96%. Tanaman alpukat yang diperiksa dapat dikatagorikan: 14,72% terserang parah, 15,82% sudah bergejala dan 7,42% terlihat indikasi terinfeksi penyakit. Perlakuan dosis biofungisida yang dilakukan disesuaikan dengan penampakan akut tidaknya gejala serangan yaitu 250 g/pohon, 200 g/pohon, 150 g/pohon, dan 100 g/pohon. Perlakuan biofungisida Trichoderma ini menunjukkan hasil bahwa dalam waktu empat minggu populasi patogen dapat menurun sampai 30,87%. Proses revitalisasi tanaman yang menderita serangan penyakit cukup parah terlihat setelah 90 hari pengamatan, ditandai dengan munculnya tunas-tunas daun baru pada cabang dan pucuk, serta tumbuhnya tunas-tunas akar serabut pada akar lateral. Dosis 150 g/pohon terbukti mampu secara efektif mengendalikan populasi jamur patogen dan memberikan pengaruh revitalisasi yang terbaik.
- ItemEf ektivitas Asosiasi Azospirillum sp. dengan Tanaman Jagung(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) B.P., Marcia ...[at al]; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorPercobaan inokulasi Azospirillum pada tanaman jagung untuk melihat efektivitas asosiasi Azospirillum dengan tanaman jagung telah dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain (Balitjas) Maros dari bulan Mei sampai Agustus 1996. Untuk itu digunakan contoh tanah Regosol dari Bone yang tergolong alkalis dan mempunyai kandungan kalsium (Ca) bebas yang sangat tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh inokulasi Azospirillum sudah tertihat pada saat tanaman jagung berumur 25 hari setelah tanam (hst) berupa perbedaan yang nyata antara tanaman yang diinokulasi dengan yang tanpa inokulasi, N total akar dan bagian atas yakni dalam tanaman, tinggi tanaman, bobot kering akar dan bagian atas tanaman, serta serapan N oleh akar dan bagian atas tanaman. Strain lrJ1 dapat berasosiasi baik dengan tanaman jagung. Pada tanaman yang diinokulasi oleh Azospirillum lrJ1, pemberian 30 kg N/ha tidak tampak berbeda jika dibandingkan dengan takaran 60 dan 90 kg N/ha, bahkan takaran 90 kg N/ha cenderung kurang efektif. Pertumbuhan tanaman jauh lebih baik pada tanaman yang diinokulasi daripada tanpa inokulasi.
- ItemModifikasi Genetik Beta-Conglycinin dan Glycinin untuk Perbaikan Nilai Nutrisi Kedelai(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) MuchlishAdie, M.; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorKedelai memiliki kandungan protein tertinggi di antara tanaman pangan lainnya. Protein kedelai dinilai berkualitas rendah disebabkan oleh rendahnya kandungan asam amino terutama sistein dan methionin. Protein kedelai sebagian besar (70%) terdiri dari beta-conglycinin (7S globulin) dan glycinin (11S globulin). Aplikasi metode SDS-PAGE (sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis) untuk mendeteksi globulin pada biji kedelai telah dilakukan dan memberikan hasil yang andal. Kedua globulin tersebut memiliki karakteristik yang berlainan yaitu globulin 11S memiliki kandungan sistein dan methionin tiga sampai empat kali lebih banyak dibanding yang terdapat pada globulin 7S, disamping juga kandungan kedua globulin tersebut memiliki korelasi negatif yang kuat. Beta-conglycinin terdiri dari polipeptida a, a', dan B. Sedangkan glycinin terdiri dari enam subunit intermediat tak-identik yang masing-masing berisi satu '-pslipeptida acidic dan satu polipeptida basic. Keberadaan dan ketiadaan subunit a dikendalikan oleh alel tunggal resesif dan bersifat independen terhadap subunit a' dan ft. Modifikasi genetik untuk perbaikan nilai nutrisi kedelai dapat dilakukan dengan menurunkan kandungan 7S dan meningkatkan kandungan 11S. Penggabungan ketiga alel tersebut ke dalam satu varietas merupakan langkah penting, yang akan bermanfaat terhadap peningkatan kualitas protein kedelai di samping dukungannya terhadap industri yang berbahan baku kedelai.
- ItemEvaluasi Transformasi Kacang Tanah dengan Bantuan Agrobacterium sebagai Model Sistem Ekspresi Transgen(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Utomo ...[at al], Setyo Dwi; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorSebelum dilakukan usaha skala besar dalam transformasi genetik spesies rekalsitran misalnya kacang tanah, informasi dini tentang ekspresi konstruksi genetik pada spesies yang akan ditransformasi akan sangat berguna. Ekspresi konstruksi genetik pada kalus kacang tanah mungkin dapat menduga tingkah laku yang sebenamya suatu konstruksi genetik secara lebih teliti daripada jika diduga berdasar ekspresi "pada sistem heteroiog. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penggunaan transformasi daun tua kacang tanah dengan bantuan Agrobacterium tumefadens sebagai model sistem ekspresi transgen. Tujuh puluh dua sub-subklon kalus dievaluasi berdasar tingkat ekspresi GUS menggunakan tluorometric assay. Tujuh puluh dua sub-subMon tersebut diturunkan dari dua sumber eksplan kultivar NC 7, dua transforman independen Agrobacterium per eksplan, tiga cawan kultur per transforman Agrobacterium, dua klon per cawan kultur, dan tiga sub-subklon per klon. Rata-rata 58 Won kalus transgenik dihasilkan tiap 100 potongan daun yang dikulturkan. Tiap Won berbobot 50-100 mg pada tujuh minggu setelah eksplan dikulturkan. Dalam dua minggu, bobot kalus bertambah 4-6 kali lipat. Rata-rata aktMtas GUS adalah 0,1071 dan berWsar dari 0,0145 sampai 0,3243 nmol/menit/ng protein. Secara keseluruhan, ekspresi GUS konsisten, tidak dipengaruhi oieh sumber eksplan, transforman Agrobacterium, cawan kultur, dan Won kalus. Disimpulkan bahwa sistem ekspresi ini cukup efisien untuk menunjukkan suatu konstruksi genetik diekspresi secara semestinya.
- ItemStudi Genetik Transf ormasi pada Dua Genotipe Ubi Kayu Indonesia(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Sudarmonowati, E. ...[at a]; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorTunas pucuk ubi kayu genotipe Sarewen asal Irian Jaya dan varietas unggul Adira II hasil proliferasi in vitro pada media MS yang mengandung 0,5 mg/l BAP, 0,05 mg/l NAA dan 2% sukrosa diintroduksi dengan plasmid pAHC dan pPC. Plasmid pAHC mengandung gen penanda B-glucuronidase (CUS) dan gen bar di bawah kontrol promoter ubiquitin dari jagung, sedangkan plasmid pPC selain juga mengandung gen GUS dan gen bar juga mengandung gen penyeleksi ketahanan terhadap higromisin di bawah kontrol promoter CaMV35S. Introduksi gen dilakukan dengan metode penembakan menggunakan penembak biolistic dengan tekanan gas helium sebesar 2.500 kpa. Selain jenis plasmid, komposisi larutan asai gen GUS dan periode asai setelah penembakan juga dicoba untuk memperoleh hasil yang terbaik. Hasil asai gen GUS menunjukkan bahwa rata-rata tertinggi titik biru (29) per tunas pucuk diperoleh dengan cara menembak tunas pucuk Adira II dengan plasmid pAHC dan GUS asai dilakukan satu hari setelah penembakan menggunakan prosedur dan modifikasi larutan asai yang digunakan untuk Acacia mangium.
- ItemPertumbuhan dan Produktivitas Alga Ankistrodesmus convulutus pada Variasi Diameter Kolom Tumbuh(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Chrismadha, Tjandra; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorFotobioreaktor tubular dianggap sebagai alternatif pengembangan teknologi kultur alga satu sel yang potenslal. Tujuan utama dari pengembangan fotobioreaktor tersebut adalah untuk meningkatkan dlstribusi radlasi cahaya terhadap permukaan sel-sel alga, sehingga sel-sel tersebut dapat memanfaatkan energi cahaya yang tersedia secara maksimal. Meskipun telah terbukti dapat meningkatkan laju tumbuh dan produktivitas kultur alga, desain tubular mempunyai keterbatasan pada volume kulturnya, terutama bila ditempatkan secara horizontal. Hal ini mengakibatkan kenaikan produktivitas yang dicapai kurang berarti bila dihitung pada unit permukaan lahan yang digunakan, sementara ongkos produksinya relatif tinggi. Karenanya berbagai penelitian masih harus dilakukan dalam upaya pengembangan fotobioreaktor tubular tersebut, yaitu di antaranya diameter kolom tumbuh optimum yang diduga merupakan karakter spesifik tiap jenis alga. Dalam makalah ini dilaporkan hasil percobaan awal pertumbuhan alga A. convulutus pada variasi diameter (5 cm, 10 cm, 15 cm, 30 cm) kolom tubular vertikal dengan ketinggian yang sama (40 cm). Pada sistem batch kultur terlihat korelasi negatif antara laju tumbuh dan produktivitas kultur dengan diameter kolom tumbuhnya. Penurunan kepadatan kultur maksimum pada hari ke-15 kultur dari 26,41+ 2,82 juta sel/ml menjadi 3,171,28 juta sel/ml terjadi dengan kenaikan diameter kolom tumbuh dari 5 cm menjadi 30 cm. Demikian juga penurunan kepadatan optik dari 3,72+0,06 menjadi 0,48+0,02, serta produktivitas biomassa dari 14,0 mg/l/hari menjadi 1,3 mg/l/hari juga terjadi sejalan dengan kenaikan diameter kolom tumbuh tersebut. Hasil ini memperlihatkan pentingnya memperhatikan faktor diameter kolom tumbuh dalam pengembangan fotobioreaktor tubular untuk kultur alga.
- ItemPenyimpanan dan Regenerasi Pule Pandak melalui Kultur In Vitro(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Purnamaningsih ...[at al], Ragapadmi; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorPule pandak atau akar tikus (Rauvolfia serpentina) termasuk dalam kelompok tumbuhan obat langka yang mulai kritis keberadaannya. Kegunaannya sebagai obat penurun panas, penurun tekanan darah tinggi, radang jantung, dan radang usus. Untuk membantu konservasi tumbuhan obat langka tersebut telah dllakukan percobaan penyimpanan dan regenerasinya melalui kultur in vitro. Adapun media dasar yang digunakan adalah Monier dan 14 Monier yang dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh paclobutrazol (0, 1, 3, dan 5 mg/l) dan ancymidol (0; 0,5; 1,0; dan 1,5 mg/l). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap yang disusun secara faktorial dengan 10 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah disimpan selama 6 bulan, pada perlakuan media dasar Monier dan 14 Monier dengan penambahan paclobutrazol (1, 3, dan 5 mg/l) tidak menunjukkan penghambatan terhadap pemanjangan tunas. Sedangkan penambahan ancymidol (0,5; 1,0 dan 1,5 mg/l) menunjukkan adanya penghambatan terhadap panjang tunas yang nyata. Tunas paling pendek diperoleh dari perlakuan % Monier + ancymidol 1,0 mg/l dan Monier + ancymidol 1,0 mg/l. Selain itu dengan menggunakan media Monier + ancymidol 1,0 mg/l ruas batang memendek, daun yang terbentuk kecil dan tidak terbentuk akar. Pada perlakuan 14 Monier + ancymidol 1,0 mg/l ruas batang memendek, daun yang dihasilkan lebar dan berwarna hijau mengkilat serta terbentuk akar yang tebal dan panjang. Setelah masa simpan enam bulan (tanpa pembaharuan) biakan dari media Monier + ancymidol 1 mg/l dapat tumbuh cepat pada media perbanyakan dengan faktor multiplikasi yang tinggi yaitu 16. Sedangkan planlet yang langsung diaklimatisasi di rumah kaca dapat tumbuh tanpa menunjukkan adanya penyimpangan dalam penampakannya.
- ItemKeragaman Sif at Morfologi Vegetatif Tanaman Hasil Fusi Protoplas Solatium khasianum Clarke dengan Solatium mammosum L. di Lapang(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Priyanto ...[at al], Budhi; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorPengamatan morfologi di lapangan (Kebun Percobaan IPB di Tajur, Bogor) dilakukan terhadap 37 nomor regeneran hasil fusi protoplas Solarium khasianum Clarke dan S. mammosum L Dua puluh nomor telah diduga dari pola isozim esterasenya sebagai hibrida somatik, sedangkan 17 nomor yang lain mirip dengan S. mammosum (Priyanto, 1996). Secara umum habitus tanaman hibrida somatik adalah mirip dengan S. khasianum dan ukuran daunnya bahkan lebih kecil dari ukuran daun S. khasianum. Kedua kelompok tanaman regeneran hasil fusi protoplas berduri lebih banyak pada berbagai bagian tanamannya dibanding dengan kedua tetuanya. Dari hasil analisis principle component analysis menggunakan data kuantitatif (ukuran daun dan jumlah duri pada fangkai daun, helaian daun, ruas batang, serta kaliks) dan data kualitatif (sifat rambut, rambut kelenjar, dan ujung daun) sifat morfologi, dapat diidentifikasi adanya pemisahan tanaman regeneran menjadi dua kelompok. Penempatan genotipe di dalam kelompok ini ternyata sejalan dengan hasil pemisahan menurut pola isozim esterasenya. Nomornomor hibrida somatik mengelompok bersama dengan S. khasianum dan memisah secara tegas dari kelompok lain yang menggerombol di sekitar S. mammosum. Sifat jumlah duri yang banyak pada permukaan helaian daun dan ukuran daun yang besar memberikan sumbangan yang besar pada pemisahan kelompok mirip S. Mammosum dan kelompok hibrida somatik. Sedangkan di antara hibrida somatik dapat dilihat adanya kelompok dengan jumlah duri pada tangkai daun yang banyak. Dari analisis ini terlihat pula bahwa hibrida somatik tidak menyebar di antara S. mammosum dan S. khasianum, melainkan jelas memisah dari kedua tetuanya.
- ItemPenggunaan Akar Rambut untuk Perbanyakan Tanaman dalam Upaya Menghindari Variasi Somaklonal(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Artanti ... [at al], Nina; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorSaat ini perbanyakan tanaman secara in vitro umumnya dilakukan melalui teknik kultur jaringan yang melibatkan biak kalus, suspensi sel, biak embrio atau biak organ sebagai tahap awal sebelum tahap regenerasi. Penggunaan hormon eksogen secara terus menerus untuk waktu yang lama, misalnya untuk pemeliharaan kultur stok dalam bentuk kalus atau suspensi sel, dapat menyebabkan mutasi yang berakibat terjadinya fenomena yang disebut variasi somaklonal. Hal ini selanjutnya dapat menyebabkan planlet yang dihasilkan melalui proses tersebut mempunyai mutu yang tidak seragam. Dalam penelitian ini dilaporkan penggunaan biak akar rambut hasil transformasi dengan bakteri tanah Agrobacterium rhizogenes sebagai kultur stok untuk perbanyakan tanaman secara in vitro. Biak akar rambut tersebut dapat dipelihara pada media tanpa hormon sehingga diharapkan dapat menghindari masalah variasi somaklonal dari planlet yang dihasilkan pada tahap regenerasi. Berbagai macam biak akar rambut dari species tanaman terongterongan (Solanum spp.) telah berhasil diperoleh. Akar rambut dari Solanum spp. tersebut yang merupakan hasil infeksi dengan A. rhizogenes galur A4, 15834, dan 07- 2001 digunakan sebagai model untuk mempelajari proses regenerasi tanaman melalui tahap pembentukan akar rambut.
- ItemSeleksi Efektivitas Beberapa Isolat Rhizobium sp. terhadap Pertumbuhan Tanaman Semai Paraserianthes falcataria pada Kondisi Rumah Kaca(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Karsono, Herry; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorTelah dilakukan percobaan untuk menyeleksi sepuluh isolat Rhizobium sp. Dalam kemampuannya membentuk bintil akar dan efektivitasnya menambat nitrogen udara untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman semai P. falcataria. Percobaan dilakukan dengan cara menginokulasi isolat Rhizobium ke dalam kecambah P. falcataria yang ditanam di dalam medium pasir steril dalam pot-pot plastik. Rancangan percobaan adalah acak lengkap dengan tiga kali ulangan. Lama percobaan tiga bulan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa semua isolat Rhizobium yang diuji mampu membentuk bintil akar pada tanaman semai P. falcataria. Lima dari sepuluh isolat Rhizobium yang diuji mampu secara efektif meningkatkan pertumbuhan bagian-bagian tanaman.
- ItemProduksi Senyawa Aroma dari Lendir Biji Kakao oleh Trichoderma sp. pada Variasi Waktu Fermentasi, pH, dan Kecepatan Pengadukan(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Panji ...[at al], Tri; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorSenyawa aroma yang merupakan bahan penting dalam berbagai industri dapat diproduksi melalui fermentasi. Cara ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain produk bersifat alami, produksi cepat dan terkontrol, biaya produksi rendah dan tidak dipengaruhi oleh iklim, musim atau letak geografi. Lendir biji kakao yang merupakan limbah pengolahan biji kakao dan mengandung gula (12-15%), protein (0,1-0,5%), pektin (5-7%), serta asam-asam tidak menguap (0,8-1,5%), berpotensi untuk digunakan sebagai media pertumbuhan mikroba penghasil senyawa aroma tersebut. Penelitian bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan lendir biji kakao sebagai media pertumbuhan Trichoderma sp. dan optimasi produksi senyawa aroma oleh kapang Trichoderma sp. pada variasi waktu fermentasi, pH dan kecepatan pengadukan. Uji pertumbuhan Trichoderma sp. dilakukan pada erlenmeyer yang dikocok dengan shaker, sedangkan optimasi. produksi senyawa aroma dilakukan dengan menggunakan bioreaktor sistem curah tipe stirred tank volume dua liter pada kondisi pH 3, 4 dan 5, dan kecepatan pengadukan 100, 150 dan 200 rpm selama 144 jam. Analisis yang dilakukan meliputi kandungan lendir biji kakao awal, perubahan bobot kering biomassa sel, kadar gula (sebagai gula pereduksi), dan senyawa aroma yang dihasilkan selama fermentasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa lendir biji kakao mengandung karbon (4,160-6,32%), nitrogen (0,049-0,084%), fosfat (0,021-0,029%) dan gula/gula pereduksi (6,55-11,08%). Laju pertumbuhan spesifik pada fase log menggunakan media yang mengandung lendir biji kakao 30% (v/v) dan pada media basal masing-masing adalah 0,04 jam'dengan waktu pertumbuhan optimum 48 jam. Senyawa aroma yang terbentuk selama fermentasi media mengandung lendir biji kakao 30% (v/v) oleh kapang Trichoderma sp. antara lain 2-metil-1-propanol, 3-metil-1-butanol, etanol, 2,3-butandiol, asam asetat, benzaldehida, dan asam propanoat. Kondisi optimum untuk produksi senyawa aroma dicapai pada pH 4 dan kecepatan 150 rpm dan waktu fermentasi 72 jam.
- ItemFrekuensi Stadium Perkembangan Blastoderm Puyuh Prainkubasi pada Galur Inbred, F, Hybrid, dan Acak(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Hedianto, Yanuarso Eddy; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorUntuk mengetahui awal terjadinya heterosis dan efek silang-dalam pada embrio puyuh maka telah dilakukan pengamatan terhadap frekuensi stadium perkembangan blasto derm prainkubasi pada galur inbred (F=0,594), Fi hybrid, dan acak. Penilaian terhadap stadium perkembangan blastoderm dilakukan berdasarkan standar stadium perkem bangan blastoderm pasca-oviposisi I-V yang dibuat untuk blastoderm puyuh. Hasll pengamatan yang dilakukan terhadap 71, 81, dan 98 blastoderm menunjukkan nilai untuk stadium paling rendah (stadium I) berturut-turut adalah 12,7%; 3,7%; dan 3,1% dan nilai untuk total Stadium IV dan V adalah 30,9%, 45,6% dan 58,2% masing-masing pada galur inbred, F^ hybrid, dan acak. Percobaan ini menunjukkan bahwa heterosis dan efek silang-dalam pada puyuh telah terjadi sebelum embrio mengalami proses inkubasi.
- ItemPenggunaan Cendawan Endofit sebagai Biofertilizer dan Biopestisida dalam Sistem Pertanaman Tomat(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) N. Amin ...[at al]; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorTiga belas isolat cendawan endofit berhasil diisolasi dari perakaran tanaman tomat. Cendawan ini berhasil diidentifikasi sebagai genus Trichoderma, Fusarium, Gliocladium, Penicillium, dan Aspergillus. Dalam pengujian in vitro di dalam cawan petri terhadap pengaruh penghambatan patogen Fusarium oxysporum didapatkan tiga isolat cendawan endofit dari genus Trichoderma dan Fusarium yang dapat menghambat pertumbuhan patogen F. oxysporum. Dari pengujian rumah kaca isolat cendawan endofit dalam bentuk tepung didapatkan dua isolat dari genus Trichoderma dan Fusarium yang memberikan pertumbuhan tinggi tanaman, berat basah, dan akar 50% lebih baik dari kontrol.
- ItemHibridisasi Somatik Lada liar dengan Lada Budi Daya(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Husni ...[at al], Ali; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorHibridisasi seksual untuk mentransfer sifat ketahanan dari lada liar (Piper colubrinum) ke lada budi daya (Piper nigrum) sukar dilakukan. Untuk mengatasi masalah tersebut bioteknologi kultur jaringan dapat digunakan melalui hibridisasi somatik dengan cara teknik fusi protoplas. Melalui teknik ini dapat dihasilkan hibrida baru dari hasil persilangan antardua tetua yang mempunyai kekerabatan yang jauh yang secara seksual inkompatibel. Untuk mendapatkan protoplas digunakan daun yang ditoreh melintang 1 mm yang diinkubasikan dalam 10 ml larutan enzim selulase R-10 2% + macerozim R-10 0,5% selama 16 jam. Masing-masing protoplas lada budi daya dengan lada liar dengan kerapatan 10s difusikan dengan PEG 6000 pada konsentrasi 30% selama 25 menit. Protoplas hasil fusi ditabur dalam beberapa komposisi media padat. Perkembangan protoplas diamati secara periodik di bawah mikroskop sampai terbentuk mikro kalus. Mikro kalus yang terbentuk kemudian disubkultur pada beberapa komposisi media baru untuk mendorong pertumbuhan mikro kalus menjadi kalus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi enzim selulase R-10 2% dengan macerozim R-10 0,5% dapat mengisolasi protoplas lada dengan kerapatan dan viabilrtas yang tinggi. Larutan PEG 6000 30% selama 20 menit dapat menginduksi terjadinya fusi dengan keberhasilan 26%. Protoplas hasil fusi mengalami pembelahan sel dan membentuk mikro kalus pada minggu pertama setelah dikulturkan. Protoplas yang ditabur dalam media padat 14 LV+ABA 0,01 mg/l+BA 4,5 mg/l+sukrosa 3% dapat menghasilkan mikro kalus yang berwama hijau. Pemberian selapis tipis media cair MS+2.4-D 2 mg/l+thiadiazuron 0,1 mg/l di atas media padat dapat mendorong pertumbuhan mikro kalus menjadi kalus.
- ItemRegenerasi Kedelai secara In Vitro(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Pardal ...[at a], Saptowo J.; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorRegenerasi tanaman pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu organogenesis (pembentukan embrio somatik). Percobaan bertujuan untuk mendapatkan sistem regenerasi taaman kedelai yang terbaik untuk penelitian transformasi. Tiga varietas, yaitu Wilis, Tampomas, dan Krakatau dicoba untuk diregenerasikan melalui eksplan embrio muda, kotiledon muda, dan kotiledon tua. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ketiga varietas tersebut dapat diregene rasikan baik melalui jalur organogenesis ataupun embriogenesis. Sejumlah tunas dapat dihasilkan dari eksplan embrio muda dan kotiledon tua melalui proses multiplikasi tunas/ organogenesis. Demikian pula sejumlah embrio somatik dapat dihasilkan dari eksplan kotiledon muda melalui proses embriogenesis. Tunas dan embrio somatik ini selanjutnya berhasil diakarkan membentuk planlet/tanaman regenerasi dan beberapa di antaranya berhasil diaklimatisasikan ke media tanah/pot. Tanaman regenerasi ini mampu tumbuh normal di rumah kaca hingga dewasa dan berpolong. Varietas Wilis menunjukkan respon pertumbuhan eksplan tertinggi pada ketiga eksplan yang digunakan. Pada eksplan kotile don tua varietas ini menghasilkan persentase jumlah tunas yang tinggi (88,3%). Sedangkan varietas Krakatau menunjukkan respon embriogenesis tertinggi (84,2%). Jumlah planlet terbanyak didapatkan dari eksplan embrio muda kedelai varietas Wilis (22,9%).
- ItemPengaruh Umur Eksplan dan Subkultur terhadap Pembentukan Tunas Majemuk Beberapa Kultivar Ketela Pohon(Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Ermayanti ...[at al], Tri Muji; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, BogorPembentukan tunas majemuk dari nodus tunggal dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya adalah komposisi media, penggunaan zat pengatur tumbuh, lingkungan fisik in vitro, dan fisiologi eksplan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur eksplan (internodus) dan subkultur terhadap pembentukan tunas majemuk secara in vitro pada beberapa kultivar ketela pohon. Media MS yang mengandung beberapa zat pengatur tumbuh dipergunakan dalam percobaan ini. Pengamatan jumlah tunas majemuk dilakukan setelah biakan berumur satu bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BAP secara terpisah, atau yang dikombinasikan dengan NAA atau GA3 diperlukan untuk pembentukan tunas majemuk. Banyaknya subkultur dan umur eksplan yang berbeda yang ditanam pada berbagai media menurunkan jumlah tunas majemuk yang terbentuk per eksplan.
- «
- 1 (current)
- 2
- 3
- »