Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan by Subject "Anjing"
Now showing 1 - 4 of 4
Results Per Page
Sort Options
- ItemGambaran Titer Antibodi Rabies pada Anjing Lokal Pasca Vaksinasi di Kalimantan Barat Tahun 2017(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Kustiawan, Candra ArikaRabies merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis yang bersifat zoonosis. Kalimantan Barat dinyatakan bebas penyakit rabies pada bulan Agustus 2014 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI No 885/Kpts/PD.620/8/2014 tanggal 14 Agustus 2014, namun status bebas tersebut tidak bertahan lama dengan mewabahnya kembali penyakit rabies di akhir tahun 2014 sampai sekarang. Pada tahun 2017 jumlah kasus gigitan mencapai 2091 dengan jumlah kematian pada manusia sebanyak 24 orang. Vaksinasi merupakan program prioritas disamping kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi dalam pengendalian dan penanggulangan Rabies. Kegiatan vaksinasi dilaksanakan pada daerah tertular dan terancam dengan harapan dapat memberikan kekebalan pada hewan penular rabies dan tidak menularkan pada hewan penular rabies lain maupun manusia. Keberhasilan vaksinasi dapat dinilai dari cakupan vaksinasi dan kekebalan yang ditimbulkan pasca vaksinasi melalui pemeriksaan titer antibodi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui titer antibodi anjing lokal pasca vaksinasi rabies dan memberikan informasi kepada pengambil kebijakan dalam mengevaluasi program vaksinasi berikutnya. Penilaian menggunakan 696 sampel serum darah anjing lokal yang diambil dari 14 Kabupaten/Kota dengan metode cluster sampling dan diuji dengan enzym linked immunosorbent assay (ELISA). Hasil penelitian menunjukkan dari 696 sampel, 300 sampel (47,41%) memiliki titer antibodi protektif (seropositif) dan 366 sampel (52,59%) tidak memiliki titer antibodi protektif (seronegatif). Seropositif adalah nilai di atas atau sama dengan 0,5 EU, sedangkan seronegatif adalah nilai di bawah 0,5 EU. Penelitian ini menunjukkan rendahnya respon antibodi setelah vaksinasi pada anjing. Kajian lebih lanjut sebaiknya dilakukan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi rendahnya respon antibodi.
- ItemHasil Monitoring Penyakit Rabies di Wilayah Kerja Balai Besar Veteriner Wates Tahun 2015-2018(Direktorat Kesehatan Hewan, 2019) Kumorowati, Enggar; W, Desi Eri; Dharmawan, Rama; Pratamasari, DewiWilayah kerja Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates meliputi Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur merupakan wilayah bebas penyakit Rabies. Namun wilayah tersebut berisiko tinggi terhadap penularan penyakit Rabies karena berbatasan dengan daerah tertular Rabies yaitu di sebelah timur dengan Propinsi Bali dan di sebelah barat dengan Propinsi Jawa Barat. Monitoring ini bertujuan untuk mendeteksi sedini mungkin kemungkinan keberadaan virus rabies pada anjing di wilayah kerja dalam rangka menjaga wilayah kerja BBVet Wates tetap berstatus bebas Rabies. Selain itu monitoring juga bertujuan untuk mengetahui status kekebalan hewan penular rabies (HPR) didaerah bebas terutama daerah-daerah terancam dan daerah berisiko tinggi serta mengidentifi kasi faktor – faktor resiko terhadap penularan penyakit rabies. Hasil pengujian Fluorescent Antibody Test (FAT) selama 4 (empat) tahun sebanyak 703 sampel otak hasilnya negatif Rabies. Sampel serum yang diambil dari wilayah yang berbatasan langsung dengan daerah tertular sebanyak 381 sampel. Hasil uji secara serologis menunjukkan 45 (19,7%) sampel seropositif dan sebanyak 183 (80, 3%) sampel seronegatif. Hasil monitoring menunjukkan bahwa tidak ditemukan agen penyebab penyakit rabies wilayah kerja BBVet Wates. Pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan penular rabies, melakukan program vaksinasi secara rutin, menjalin kerjasama lintas sektoral serta melibatkan peran masyarakat untuk menjaga dari ancaman penularan penyakit rabies dan mempertahankan status bebas rabies di wilayah kerja BBVet Wates.
- ItemPenilaian Risiko Masuknya Virus Rabies ke Timor Barat(Direktorat Kesehatan Hewan, 2019) Tabali, Zulkifli; Susetya, Heru; Nugroho, Widagdo SriLatar Belakang: Rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan tahun 1884. Pada tahun 2013, sembilan dari 33 provinsi di Indonesia berstatus bebas rabies. Rabies di Nusa Tenggara Timur (NTT) pertama kali dilaporkan pada tahun 1997 di Kabupaten Flores Timur yang berasal dari pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Belum ada laporan kasus rabies di pulau Timor hingga saat ini, namun tidak menutup kemungkinan risiko tertular rabies sangat tinggi. Pulau Timor merupakan satu dari tiga pulau besar di Provinsi NTT dan berbatasan dengan pulau Flores serta pulau Kisar (Kabupaten Maluku Barat Daya) yang memiliki status daerah terinfeksi rabies. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifi kasi dan menghitung peluang jalur masuk rabies ke pulau Timor melalui lalu lintas anjing. Metodologi: Penilaian dilakukan dengan menggunakan enam kategori kemungkinan (likelihood) yang mengacu pada Biosecurity Australia. Data berasal dari dokumen, laporan, wawancara, kuesioner dan pengamatan langsung di pulau Timor. Hasil: Hasil penelusuran di lapangan, ditemukan 2 kapal (8,3%) yang memelihara anjing di kapal. Sebanyak 8,1% (7/86) responden pernah melihat kapal dari daerah bebas rabies, dan 4,7% (4/86) dari daerah endemis rabies yang membawa anjing selama berlayar berlabuh di pulau Timor. Perhitungan akhir penilaian risiko menunjukkan kemungkinan risiko tinggi masuknya rabies melalui kapal-kapal yang berasal dari luar pulau Timor.
- ItemSerosurveilans Rabies di Nusa Tenggara Timur Tahun 2016(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Berek, Hilda Susiyanti DeboraRabies sejak pertama kali dilaporkan pada November 1997 di Kabupaten Flores Timur, masih menjadi topik permasalahan yang belum mampu diselesaikan di Nusa Tenggara Timur khususnya di daratan Flores.Tahun 2015 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) di NTT sebanyak 7.386 kasus, yang merupakan kasus terbanyak kedua setelah Propinsi Sulawesi Utara. Hingga tahun 2016 tercatat lebih dari 200 orang meninggal di NTT karena rabies, terutama di Pulau Flores dan Lembata. Pemberantasan Rabies di NTT sampai sekarang belum memberikan hasil yang memuaskan. Penanganan penyakit rabies perlu dilakukan secara tepat sasaran dengan memprioritaskan perhatian pada faktor-faktor pemeliharaan yang berkaitan dengan vaksinasi dan titer antibodi protektif. Surveilans untuk mengetahui prevalensi status kekebalan pada anjing post vaksinasi Rabies di NTT, telah dilakukan pengambilan sampel di 9 Kabupaten Daratan Flores dan Lembata pada bulan April sampai dengan Desember 2016. Selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 2.079 sampel serum darah. Pengujian laboratorik dilakukan pada Laboratorium Pengujian dan Penyidikan Veteriner UPT Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT dengan metode Indirect ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Hasil surveilans post vaksinasi Rabies menunjukkan bahwa anjing-anjing di daratan Flores dan Lembata Nusa Tenggara Timur yang memiliki titer antibodi protektif terhadap rabies 49,49% (1.029/2.079) dan yang tidak protektif 50,51% (1.050/2.079). Cakupan vaksinasi pada anjinganjing di daratan Flores diatas 70%, namun efektifitas vaksinasi hanya sebesar 50,25%. Beberapa hal kemungkinan menjadi penyebabnya adalah status kesehatan hewan saat divaksin, umur, dan perbedaan bangsa anjing/breed. Kemungkinan yang lain mutu vaksin, cara penanganan vaksin di lapangan kurang tepat, dan frekuensi vaksinasi. Kurangnya perhatian petugas vaksinator tentang pentingnya rantai dingin (cold chain) di lapangan merupakan faktor penyebab potensi vaksin anti rabies yang digunakan menurun.