Browsing by Author "Ratna"
Now showing 1 - 13 of 13
Results Per Page
Sort Options
- ItemAntiviral resistance of HPAI-H5N1 virus isolated from poultry in Sulawesi, 2017-2018(2021-07) Mutisari, Dewi; Muflihanah; Ratna; Supri; Suanti; Hendrawati, FerraAvian Influenza (AI) is an infectious disease caused by the influenza type A virus. The highly pathogenic AI (HPAI) H5N1 outbreak in Indonesia has occurred since 2003 until now. Education, biosecurity, vaccination, elimination, diagnostic, and surveillance are strategy to prevent and control AI virus (AIV) infection. Providing antiviral drug can be used as an alternative to control AIV in poultry, but it will be limited if resistance occurs. This study aims to determine the resistance to neuraminidase inhibitors (NAIs) (oseltamivir) and M2 ion channel inhibitors (amantadine) of HPAI H5N1 virus isolated from poultry in Sulawesi during 2017- 2018. This research was conducted by whole-genome sequencing (WGS) with the next generation sequencing (NGS) (Illumina) technique on 5 poultry virus isolates. Molecular analysis was performed by multiple alignments and amino acid prediction using the MEGA X program. Antiviral resistance of oseltamivir and amantadine was assessed based on analysis of NA and M2 proteins compared to reference isolates from Sulawesi in NCBI. Based on the NA protein analysis, no mutations were found at positions 119, 275, 293, and 295, indicating that all the samples and reference isolates from Sulawesi are still sensitive to oseltamivir. Whereas at positions 26, 27, 30, 31, and 34 of M2 protein, there was a V27I mutation in Sulawesi reference isolate in 2016 and the combination of V27A and S31N mutations in 2 research isolates in 2018, which indicate possible resistance to amantadine. In conclusion, there is amantadine resistance of HPAI-H5N1 virus isolated from poultry in Sulawesi, 2018
- ItemGen Hemaglutinin (HA) dan Polimerase Basik-2 (PB-2) Sebagai Penanda Spesifik Dalam Deteksi Virulensi Virus Avian Influenza Subtipe H5N1(Perpustakaan Balai Besar Veteriner Maros, 2010-09) Muflihanah; Ratna; Supri; Rosmiaty; Balai Besar Veteriner MarosPenyakit Avian Influenza (AI) adalah penyakit hewan menular yang menyerang unggas, mamalia dan manusia yang disebabkan oleh virus Avian Influenza termasuk dalam family Ortomyxoviridae, genus Influenzavirus. Virus ini termasuk golongan virus RNA (Negative Sense, Single Stranded RNA) yang memiliki susunan genom yang terdiri dari 8 (delapan) gen yang mengkode 10 (sepuluh) protein yaitu polimerase protein (PB1, PB2, dan PA), hemaglutinin (HA), nukleoprotein (NP), neuraminidase (NA), matriks protein (M1 dan M2) dan nonstruktural protein (NS1 dan NS2). Di antara ke delapan genom penyandi protein virus AI, gen protein permukaan HA dan NA, polimerase kelompok (PB1, PB2, dan PA) serta non struktural (NS) menentukan virulensi virus AI. Gen HA menentukan variasi genetik, imunitas dan interaksi inang. Selain itu gen HA sangat penting dalam studi epidemiologi molekuler untuk menentukan kemungkinan asal usul virus dan analisis antigenik terhadap isolat khususnya dalam pemilihan antisera dan vaksin. Selain gen HA, kompleks gen polimerase diduga merupakan faktor utama bagi adaptasi virus AI pada spesies tertentu. Kompleks enzim polimerase dari virus dan berinteraksi dengan berbagai protein sel, sehingga berperan dalam menentukan spesifikasi induk semang. Gen HA dan PB2 digunakan sebagai penanda spesifik untuk menentukan virulensi virus Avian Influenza subtipe H5N1.
- ItemInduksi Sistem Kekebalan Seluler Khas Rabies dengan Vaksin Rabies Peroral dan Perinjeksi pada Anjing KamPung(Balai Besar Veteriner Maros, 2012) Faizah; Putra, Anak Agung Gde; Yudianingtyas, Dini Wahyu; Hendrawati, Ferra; Ratna; Suanti; Perpustakaan Balai Besar Veteriner MarosPenyakit rabies merupakan penyakit zoonosis dan bersifat fatal pada hewan berdarah panas termasuk manusia. pengenalan pengunaan vaksin oral di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan cakupan vaksinasi. Penelitian pada tingkat laboiatorium telah dilakukan mengenai tantang uji keamanan, efikasi, kemampuan memakan umpan dan mengunyah vaksin, titer antibodi humoral, dan cell medioted imnunity dalam hal ini produksi sitokin berupa interferon gamma dan interleukin-2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran respon kekebalan ssluler (IFN-ƴ dan IL-2) pada anjing yang telah divaksin dengan vaksin oral SAG2 dan vaksin parenteral Rabisin dan Rabivet Supra 92. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekebalan seluler (interleukin-2 dan interferon gamma) hasil induksi dari vaksin oral SAG2 pada anjing lokal tidak berbeda nyata dengan vaksin parenteral Rabisin dan Rabivet Supra 92.
- ItemKasus Kematian Ayam Petelur terduga Avian Influenza di Desa Bulo, Kecamatan Panca Rijang, Kabupaten Sidenreng Rappang pada Februari 2020(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Putra, Hamdu Hamjaya; Purnomowati, Emy; Hendrawati, Ferra; Fatie, Yuliana; Ratna; Direktorat Kesehatan HewanKasus kematian ayam petelur terduga Avian Influenza (AI) di Kabupaten Sidenreng Rappang dilaporkan meningkat sejak Februari 2020. Kasus tersebut disertai penurunan produksi telur sampai 60% dan menjadi perhatian bagi peternak dan pemerintah daerah Investigasi kasus dilakukan bertujuan untuk identifikasi penyabab kematian pada ayam petelur di Kecamatan Panca Rijang dalam upaya pencegahan dan pengendalian wabah. Penelusuran kasus dengan wawancara dan pengambilan sampel dilakukan pada tiga peternakan di Desa Bulo, satu peternakan di Desa Bulo Wattang dan Desa Cipotakari, Kecamatan Panca Rijang, berdasarkan laporan kepada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sidenreng Rappang. Sampel berupa serum, swab dan organ diambil dari ayam yang sakit dalam satu kelompok kandang. Pemeriksaan laboratorium terhadap sampel berupa uji isolasi, haemaglutination inhibition (HI) dan uji polymerase chain reaction (PCR) kemudian dilakukan analisa secara deskriptif. Hasil penelusuran ditemukan adanya kematian disertai penurunan produksi pada lima peternakan. Sampel yang didapat yaitu serum 53 spesimen, swab oropharing 53 spesimen, swab lingkungan 1 pool, organ 1 pool dalam media transport dan formalin. Hasil pengujian laboratorium terkonfirmasi positif AI subtipe H5N1 clade 2.1.3 dan 2.3.2 terhadap empat peternakan serta satu peternakan positif Newcastle Disease (ND). Hasil perhitungan titer antibodi dari sampel serum ditemukan seropositif pada ayam yang divaksin dan seronegatif pada ayam yang mengalami kasus. Rute penularan penyakit berasal dari bangkai yang dibuang ke sungai maupun peralatan kandang yang terkontaminasi virus menyebar ke peternakan lain melalui burung liar, vektor lalat dan petugas kandang. Faktor risiko terjadinya kasus diantaranya biosekuriti yang buruk, tidak ada program vaksinasi rutin, kepadatan populasi ayam, dan kurangnya kebersihan kandang. Tindakan pengendalian kasus di Kecamatan Panca Rijang sudah dilakukan diantaranya eliminasi unggas sakit, vaksinasi ayam sehat sekitar lokasi kasus, serta sosisalisasi penanganan bangkai kepada masyarakat. Rekomendasi saran yang dapat diberikan yaitu peningkatan kerja sama lintas sektoral berupa komunikasi, informasi, edukasi (KIE) tentang penanganan dan pengendalian, pengawasan lalu lintas ternak dari dan ke wilayah kasus, serta pelaporan cepat perkembangan kasus di lapangan.
- ItemKasus Kematian Ayam Suspect Avian Influenza Di Kabupaten Barru – Sulawesi Selatan(Balai Besar Veteriner Maros, 2016) Wahyuni; Wirawan, Hadi Purnama; Ratna; Jumardi; RamlanTerjadi kasus kematian ayam secara tiba-tiba (tanpa gejala klinis) dalam jumlah yang banyak di daerah kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil nekropsi di lapangan di dapat adanya kerapuhan pada hati, terdapat cairan pada selaput jantung (hidropericard), perdarahan (hemorrhagi) pada tulang kepala dan otak. Hasil uji rapid tes positip avian influenza dan hasil pengujian terhadap sampel swab dan organ juga positip avian influenza
- ItemPemantauan Nilai Titer Antibodi HI Terhadap ND Pada Ayam Pedaging Dihubungkan Dengan Efektifitas Waktu Vaksinasi dan Pengambilan Darah(Perpustakaan Balai Besar Veteriner Maros, 2003-08) Faizah; Machfud; Benyamin; Ratna; Balai Besar Veteriner MarosTelah dilakukan percobaan terhadap ayam jenis broiler untuk melihat titer antibodi HI terharap ND dengan pemberian vaksinasi jenis B1 (umur 7 hari), jenis La Sota (umur 14 hari), jenis B1 (umur 3 minggu) dan jenis ND Clone (umur 9 minggu) memperlihatkan hasil titer antibodi HI akan optimal dan akan memiliki perlindungan terhadap serangan virus Newcastle Disease 100% jika menggunakan jenis vaksin aktif, pemberian vaksin lebih dari satu kali dengan vaksinasi ulangan selang waktu 3-4 bulan.
- ItemPengaruh Perendam an Cotton Swab Komersial dalam Viral Transport Media (VTM) terhadap Kualitas Identifikasi Avian Influenza(Balai Besar Veteriner Maros, 2014) Ferra, Hendrawati; Ratna; Faizal, Zakariya; Suanti; Firdaus, Taman; Perpustakaan Balai Besar Veteriner MarosPenyakit Avian lnfluenza (AI) telah menyebar luas di bagran timur Indonesia. Salah satu tugas dan fungsi Balai Besar Veteriner Maros (BBV Maros) adalah mendiagnosa spesimen pengujian penyakit hewan terutama yang terjadi di bagian timur Indonesia. Hasil ketepatan diagnosa dipengaruhi oleh kualitas, cara pengambilan, penanganan dan pengiriman spesimen secara benar. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kualitas spesimen dengan dua perlakuan cotton swab dan lama pengamatan yang berbeda yang diharapkan dapat berguna dalam pengambilan, penanganan dan pengiriman spesimen AI di lapangan. Materi yang digunakan benrpa isolat Virus Avian influenaza (VAI), Viral Transport Media (VTM) cotton swab komersial dengan metode penelitian rancangan acak kelompok (RAK) dengan metode petak terbagi (sptit plot design) yaitu perlakuan pertama cotton swab komersial pada VTM komersial yang di rendam secara menerus pada VTM, kedua perlakuan tersebut diisolasi dan di identifikasi dengan uji HA/HI - VAI. Hasil titer uji HI dari VAI pada dua perlakuan tersebut dengan lama waktu yang berbeda tidak berbeda nyata sehingga pemakaian cotton swab komersial masih dapat dipakai dalam pengambilan spesimen VAI di lapangan
- ItemPenyidikan Kejadian Kematian Itik yang diduga disebabkan oleh Duck Hepatitis Virus di Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan(Perpustakaan Balai Besar Veteriner Maros, 2015-05) Mutisari, Dewi; Djatmikowati, Titis Furi; Wahyuni; Poermadjaja, Bagoes; Ratna; Pitriani; Balai Besar Veteriner MarosDuck hepatitis merupakan penyakit viral yang fatal pada itik muda yang disebabkan oleh Duck Hepatitis Virus (DHV). Penyakit ini dapat menyebabkan opisthotonus dan hepatitis, dan menyebar dengan cepat di dalam flok dengan mortalitas sampai 95% sejak gejala klinis muncul. Pada akhir Januari 2015 Balai Besar Veteriner Maros melaksanakan investigasi terhadap kematian itik di lingkungan Lembang Loe, kelurahan Balang, kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan dengan gejala klinis; itik lemah/lesu seperti mengantuk, gangguan pernafasan, tremor, paralisis sayap, tortikolis (leher terpuntir, kaki dan badan berputar-putar). Investigasi di lapangan tersebut bertujuan untuk melakukan penyidikan dan penelusuran kasus serta melakukan pengambilan spesimen. Investigasi dilakukan dengan pegumpulkan data epidemiologis, pengamatan gejala klinis, pengamatan perubahan patologi anatomi, pengambilan spesimen, dan pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan organ itik ditemukan perubahan berupa hemoragi pada berbagai organ dengan perubahan yang menciri pada hati yaitu hati membesar, kehijaun, infark, dan nodul putih kekuningan. Diagnosa sementara hasil lapangan adalah Very Virulent New Castle Disease (VVND) dan Avian Influenza (AI). Hasil uji laboratorium diperoleh bahwa isolasi AI dan ND negatif. Berdasarkan pemeriksaan mikroskopik histopatologi ditemukan perubahan berupa hemoragi multifokal pada berbagai organ, pada hati terjadi perubahan yaitu nekrotik multifokal, proliferasi ductus biliverus, infiltrasi limfositik dan peningkatan apoptosis sel. Peningkatan apoptosis sel merupakan gambaran patognomonis dari penyakit duck hepatitis. Konfirmasi laboratorium dengan PCR masih dalam proses. Dari hasil di atas disimpulkan bahwa; kematian itik di Kabupaten Jeneponto diduga disebabkan oleh penyakit duck hepatitis.
- ItemProfil Respon Imunn Anjing yang Divaksinasi dengan Vaksin Rabies (RabisinR dan Rabivet Supra 92R) pada Kondisi Laboratorium Diuji dengan Metoda FAVN Test.(Balai Besar Veteriner Maros, 2013) Faizah; Ratna; Suanti; Perpustakaan Balai Besar Veteriner MarosPenelitian ini dilalrukan untuk mengetahui profil respon imun anjing yang divaksinasi dengan vaksin Rabisin dan vaksin Rabivet Supra 92, pemberian dosis vaksin hanya satu kali dosis vaksinasi pada kondisi laboratorium. Pengamatan dilaksanakan sekitar delapan bulan dimulai dari bulan Januari 2011 sampai dengan awal September 2011. Semua sampel serum diuji dengan metoda FAVS test. Dari 27 ekor anjing sebagai objek penelitian dengan rincian sebagai berikut 9 ekor untuk kontrol, 9 ekor unfuk perlakuan vaksinasi dengan vaksin Rabisin dan 9 ekor untuk perlakuan vaksinasi dengan vaksin Rabivet Supra 92, kemudian dilakukan pengambilan serum darah pada hari ke-0, 21, 56,84, 119, I47, 16I, 175, 189, dan 222 sehingga total serum darah anjing sebanyak 270. Hasii penelitian menunjuk bahwa Rata rata titer antibodi pada hari ke-21 pasca vaksinasi (sebelum challenge) pada kedua kelompok vaksin (Rabisin dan Rabivet Supra 92) terlihat meningkat. Kelompok vaksin Rabisin sangat nyata (p: 0,000 ; p < 0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Rabivet Supra 92. Rata-rata titer antibodi pada hari ke-56 pasca vaksinasi, kelompok Rabisin terlihat menurun dan kelompok Rabivet Supra 92 terlihat meningkat, tetapi rerata fiter antibodi kelompok Rabisin masih lebih tinggi dibandingkan kelornpok Rabivet Supra 92 dan secara statistik tidak menunjukan perbedaan nyata(p=0.158,p < 0,05). Rerata titer antibodi pada hari ke-161 pasca vaksinasi atau sembilan hari setelah challenge, kedua kelompok vaksin (Rabisin dan Rabivet Supra 92) terlihat meningkat dan menunjukkan tidak ada perbedaan yzmg nyata (p: 0,000 ; p < 0,05) pada kedua kelompok vaksin Secara statistik kedua kelompok vaksin (Rabisin dan Rabivet Supra 92) pada hari ke-222 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata(p:0,3108; p > 0,0-{), dan {p - 0,0896; p > 0,05), dan kedua kelompok vaksinasi (Rabisin dan Rabivet Supra 92) rerata nilai antibodinya diatas 0,5 IU/ml.
- ItemSurvei dan Monitoring Rabies di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara Tahun 2003(Perpustakaan Balai Besar Veteriner Maros, 2004-04) Faizah; Machfoed; Benyamin KS; Ratna; Balai Besar Veteriner MarosMonitoring antibodi virus rabies pada anjing prevaksinasi dan post vaksinasi telah dilakukan di Kabupaten B Kecamatan Zz Desa Mattampabulu, Sulawesi Selatan pada Juni 2003 sebanyak 30 sampel serum darah anjing dan selanjutnya diperiksa dengan metode uji Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Hasil uji serum prevaksinasi menunjukkan 19 dari 30 serum (63.3%) mengandung antibodi rabies, sedangkan hasil post vaksinasi menunjukkan 11 dari 30 serum (36,7%). Sedangkan hasil survei rabies di Manado, Sulawesi Utara pada pengambilan kepala anjing yang tersedia di pasar tradisional Manado ditemukan 11,8% positif seller dan 29,4% positif FAT.
- ItemSurveilans Deteksi Antigenik Classical Swine Fever berbasis risiko : Dinamika Tingkat Aras dan Faktor faktor risiko dalam Penularan pada Babi di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2018(Balai Besar Veteriner Maros, 2019) Hendrawati, Ferra; Mutisari, Dewi; Ratna; RamlanSurveilans Classical Swine Fever (CSF) 2018 merupakan tindakan strategis dalam upaya pencapaian status bebas CSF di Provinsi Sulawesi Utara. Provinsi Sulawesi Utara saat ini masih dalam status daerah tertular CSF dengan intensitas kejadian yang beragam. Strategi Pengendalian CSF di tahun 2018 lebih diutamakan berbasis risiko sesuai prioritas tingkat prevalensi di tiap Kabupaten/Kota. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui viral prevalensi CSF berbasis risiko dan untuk mengidentifikasi faktor faktor risiko yang berperan dalam penularan virus penyebab CSF pada babi di Sulawesi Utara. Sampling rambang sederhana secara purposif dilakukan untuk memilih 256 ekor babi dalam deteksi antigenik CSF yang diambil pada kabupaten/kota berisiko (Kota Manado, Tomohon, Kabupaten Minahasa, Minahasa Tenggara, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Bitung, dan Kepulauan Talaud). Keberadaan antigenik CSF di deteksi dengan uji real time Polimerase Chain Reaction (rtPCR) dan ELISA Antigenik CSF secara seri. Individu babi dikatakan positif jika hasil uji rtPCR atau ELISA Antigenik CSF positif. Hasil Penelitian ini membuktikan bahwa provinsi Sulawesi Utara masih tertular dengan CSF dengan tingkat kejadian sebesar 1,87% yang kejadiannya menyebar di Kota Tomohon 4,76%, Kabupaten Minahasa 2,38%, Minahasa Selatan 4%, Minahasa Utara 1,67%, dan Kepulauan Talaud 5%. Faktor risiko yang yang dimungkinkan menimbulkan penularan virus CSF antara lain yaitu 1)Lokasi kandang yang saling berdekatan dengan peternakan babi lainnya; 2) Kandang peternakan babi tanpa pemisahan kelompok umur, 3) Kebersihan dan desinfeksi lingkungan yang lemah; 4) Pemberian pakan dari sisa restorant (swill feeding); 5) Vaksinasi CSF yang tidak rutin. Peternak perlu melakukan penilaian, monitoring dan evaluasi faktor risiko biosekuriti di peternakan mereka dan terus meningkatkan cakupan vaksinasi secara rutin, sedangkan Pemerintah daerah perlu meningkatkan pengawasan lalu lintas ternak babi, produk, dan limbah peternakan babi serta lalu lintas pakan dari sisa makanan (swill feeding), cakupan vaksinasi CSF dan sosialisasi biosekuriti di peternakan babi. Kata Kunci : Classical Swine Fever, Biosekuriti, Sulawesi Utara
- ItemSurveilans Pembuktian Status Provinsi Papua Bebas Historis Rabies Tahun 2018(Direktorat Kesehatan Hewan, 2019) Hendrawati, Ferra; Zakariya, Faizal; Ratna; Supri; Putra, Anak Agung Gde; Polos, NyomanRabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat mengganggu ketentraman batin yang dapat berakhir dengan kematian. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi yang masih terkategorikan bebas rabies secara historis, sesuai lampiran SK Menteri Pertanian Nomor 1906 Tahun 1999 tentang Pemasukan Anjing, Kucing, Kera dan Hewan Sebangsanya ke Wilayah atau Daerah Bebas di Indonesia. Namun demikian, belum pernah dilakukan pengkajian ilmiah pembuktian status bebas rabies di Provinsi Papua. Tujuan Penelitian ini adalah untuk membuktikan wilayah Provinsi Papua masih dapat dinyatakan bebas rabies Kolaborasi surveilans telah dilakukan bersama sama antara Balai Besar Veteriner Maros, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Papua, dan Karantina Pertanian Klas I Jayapura mulai tahun 2017 sampai dengan 2018. Identifi kasi survei estimasi populasi anjing di Papua menunjukkan hasil estimasi populasi anjing sebesar 1.069.633 ekor dengan kepadatan antara 3 - 4 ekor/m2, anjing dipelihara dengan pola dilepas liarkan (owned free-roaming dog). Kondisi ini rawan apabila virus rabies masuk di provinsi Papua. Deteksi Antigenik rabies dilakukan secara sequential diagnostik (Uji seller’s, Fluorecent antibody Technique (FAT) dan Biologis) sedangkan pengujian titer antibodi dilakukan dengan teknik Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Hasil surveilans menunjukkan bahwa 74 ekor kasus gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) tidak satupun yang terindikasi tertular rabies, meskipun korban GHPR tidak memperoleh Vaksin Anti Rabies (VAR). Sampel 137 otak anjing yang telah diuji secara sequential diagnostik menunjukkan hasil negatif rabies dan 89 serum anjing tahun 2017 seronegatif sedangkan tahun 2018 sebanyak 246 serum seronegatif rabies. Hasil keseluruhan data surveilans tersebut memberikan bukti bahwa wilayah Provinsi Papua masih berstatus bebas rabies secara historis. Mempertimbangkan sosial budaya, topografi , luas wilayah, serta pengetahuan masyarakat maka upaya mencegah rabies harus terus menerus dilakukan beserta melakukan tindak pemberantasan rabies di pulau pulau perbatasan (preemptive program).
- ItemSurveillans Deteksi Antigenik dan Respon Imun Pasca Vaksinasi pada Program Pembebasan Classical Swine Fever di Propinsi Sulawesi Utara Tahun 2017(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Hendrawati, Ferra; Zakariya, Faizal; Muflihanah; Mutisari, Dewi; Ratna; Supri; Pricillia, Kartika; Suanti; Firdaus, Taman; Tioho, Hana; Hadi, Sulaxono; Putra, Anak Agung GdePopulasi babi di Propinsi Sulawesi Utara sangat tinggi, komoditas ternak babi sebagai satu aset perekonomian terpenting. Kasus Clasical Swine Fever (CSF) pertama kali terjadi di Sulawesi Utara pada tahun 1996. Pengendalian CSF yang sudah dilakukan adalah vaksinasi, desinfeksi dan pembatasan lalu lintas ternak babi. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah memberikan 150.000 dosis vaksin, Balai Besar Veteriner Maros dan Pemerintah daerah Sulawesi Utara ditugaskan untuk melakukan Vaksinasi dan surveillans CSF. Surveillans CSF bertujuan untuk mendeteksi keberadaan virus CSF dan mengukur tingkat protektifitas kekebalan pasca vaksinasi CSF. Vaksinasi dilakukan pada peternakan dan babi berisiko yaitu peternakan skala menengah ke bawah (≤ 500 ekor). Probability Proporsive Sampling (PPS) dilakukan untuk memilih 1110 ekor babi pra vaksinasi dan 2261 ekor pasca vaksinasi. Keberadaan Antigenik CSF didapatkan dari 723 ekor dengan sampling non rambang convinient by judgement pada babi yang menunjukkan gejala demam. Deteksi Antigenik dilakukan dengan pengujian Konvensional Polymerase Chain Reaction (PCR), Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) antigenik, Immunohistokimia (IHK) yang dilakukan secara pararel. Protektifitas imun respon diukur dengan menggunakan Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) antibodi. Hasil surveillans menunjukkan bahwa vaksinasi telah dilakukan pada 149.463 ekor (99,8%), Tingkat protektifitas kekebalan pravaksinasi sebesar 8,02% dan pasca vaksinasi sebesar 82,84%. Peningkatan protektifitas pasca vaksinasi sebesar 74,82%. Penyakit CSF masih ditemukan di Sulawesi Utara (1,38%) dengan sebaran di kabupaten Tomohon, Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara dan Kepulauan Talaud. Faktor risiko yang ditemukan adalah penerapan biosekuriti buruk, dan pelaporan sindromik CSF serta vaksinasi rutin lemah. Timbulnya penyakit CSF harus menjadi perhatian bersama terutama peternak babi dan pemerintah daerah. Menurunkan jumlah kasus pada saat rentang waktu berisiko (high risk period) adalah cara yang paling efektif mengendalikan kasus CSF dilapangan. Perbaikan penerapan vaksinasi dan biosekuriti harus dilakukan agar dapat segera bebas dari CSF.