Browsing by Author "Oktarianti, Eka"
Now showing 1 - 5 of 5
Results Per Page
Sort Options
- ItemGambaran Gangguan Reproduksi pada Ternak dalam Kegiatan Upsus Siwab di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2017(Direktorat Kesehatan Hewan, 2019) Oktarianti, EkaUpsus Siwab bertujuan untuk mengoptimalkan potensi sapi indukan untuk menghasilkan pedet dan peningkatkan populasi. Penanggulangan gangguan reproduksi ikut menentukan keberhasilan program Upsus Siwab. Gangguan reproduksi menyebabkan kemajiran, sehingga memperlambat peningkatan populasi ternak dan rendahnya angka kelahiran. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kejadian gangguan reproduksi (prevalensi dan kesembuhan) pada sapi dalam kegiatan Upsus Siwab di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2017 serta mengidentifi kasi faktor-faktor risiko yang memengaruhi terjadinya gangguan reproduksi pada sapi. Data kejadian gangguan reproduksi diperoleh dari laporan ISIKHNAS no. 384 berupa diagnosa sementara, pengobatan, perkembangan kasus, tingkat kesembuhan, IB dan PKB hewan terkait yang dilakukan dalam kegiatan Upsus Siwab di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2017. Data diolah dengan Ms. Excel dan di analisa secara deskriptif untuk mengetahui gambaran diagnosa sementara kejadian gangguan reproduksi, pengobatan, perkembangan kasus, tingkat kesembuhan, hewan yang di inseminasi buatan (IB) dan ternak yang bunting setelah dilakukan pengobatan gangguan reproduksi. Identifi kasi faktor risiko dilakukan pada 100 ekor sapi di Kecamatan Situjuah Limo Nagari melalui wawancara dengan kuisioner dan pengamatan langsung, dan di analisa secara univariat dan bivariat (uji chi-square (χ2) dan odds ratio) menggunakan software Statistic for Windows Version 8. Hasil menunjukkan bahwa prevalensi kejadian gangguan reproduksi sebesar 11,4%, dengan diagnosa Hipofungsi sebesar 52,2% (786/1507), silent heat sebanyak 32% (482/1507), dan sebanyak 6,6% (99/1507) mengalami endometritis. Laporan perkembangan kasus (PK) sebesar 67,7% (1013/1507), dengan tingkat kesembuhan 36,5% (550/1507), sedangkan ternak yang diinseminasi buatan (IB) sebanyak 211 ekor (14%), dan sebanyak 53 ekor (3,5%) sapi bunting melalui pemeriksaan perektal (PKB). Lama waktu yang dibutuhkan seekor ternak untuk dapat sembuh dari gangguan reproduksi berbedabeda dan ditandai dengan munculnya gejala birahi, dilakukan inseminasi buatan (IB), dan pemeriksaan kebuntingan. Hasil kajian terhadap identifi kasi faktor risiko menunjukkan bahwa status laktasi, skor kondisi tubuh kurus, pengalaman beternak kurang dari 2 tahun, dan pengetahuan tentang waktu kawin yang tepat berasosiasi meningkatkan kejadian gangguan reproduksi pada ternak di Kecamatan Situjuah Limo Nagari. Disimpulkan bahwa hipofungsi adalah kasus gangguan reproduksi yang paling sering terjadi pada ternak dan disebabkan oleh multifaktor.
- ItemGambaran Kegiatan Penanggulangan Gangguan Reproduksi pada Sapi di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2017 - 2019(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Oktarianti, Eka; Direktorat Kesehatan HewanGangguan reproduksi masih sering ditemukan pada sektor peternakan yang ditandai dengan rendahnya fertilitas induk dan berdampak terhadap penurunan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet, sehingga mempengaruhi penurunan populasi ternak dan pasokan penyediaan daging secara nasional. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran kejadian gangguan reproduksi pada ternak sapi di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2017 – 2019. Data pelaksanaan kegiatan penanggulangan reproduksi yang dilakukan oleh petugas teknis reproduksi, diunduh melalui web Isikhnas. Data tersebut berupa diagnosa hasil pemeriksaan, pengobatan, perkembangan kasus (PK), tingkat kesembuhan, pelaksanaan inseminasi buatan (IB) dan pemeriksaan kebuntingan (PKB). Data diolah dengan Ms. Excel dan di analisa secara deskriptif. Hasil kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi di Provinsi Sumatera Barat selama 3 (tiga) tahun dari tahun 2017, 2018 dan 2019 secara berturut-turut menunjukkan bahwa ternak yang diperiksa sebanyak 8665 ekor; 3352 ekor, dan 4037 ekor, dengan diagnosa berupa hipofungsi (64%; 49,16%; 50,61%), silent heat (11,13%; 18,26%; 17,02%), dan endometritis (9,04%; 11,81%; 9,17%), tingkat kesembuhan adalah 46,14%; 48,30%; dan 49,15%, waktu yang dibutuhkan untuk sembuh setelah dilakukan pengobatan masing-masing adalah 94 hari, 94 hari dan 77 hari, jumlah ternak yang di IB setelah sembuh sebanyak 33,8%; 40,9%; 27,6%, sedangkan jumlah ternak yang bunting setelah di IB sebesar 13,5%; 14,6% dan 6,2%. Disimpulkan bahwa hipofungsi ovari, silent heat dan endometritis merupakan kasus paling tinggi selama 3 (tiga) tahun di Provinsi Sumatera Barat, ternak yang sembuh setelah dilakukan pengobatan yaitu 48%, dengan rata-rata kesembuhan terjadi pada hari ke 86, jumlah ternak yang di IB setelah sembuh sebanyak 34%, sedangkan ternak yang bunting sebesar 33%. Realisasi tersebut masih rendah, sehingga perlu adanya peningkatan pelayanan oleh petugas reproduksi, terutama laporan perkembangan kasus. Disamping itu juga perlu perbaikan manajemen pemeliharaan dan perbaikan kualitas dan kuantitas pakan supaya dapat meningkatkan status kesehatan dan status reproduksi ternak.
- ItemGambaran Pelaksanaan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2017-2019(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Oktarianti, Eka; Direktorat Kesehatan HewanUpaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab) adalah salah satu program pemerintah dalam upaya percepatan peningkatakan populasi ternak terutama sapi. Melalui program Upsus Siwab diharapkan dapat memperbaiki sistem pelayanan peternakan kepada masyarakat, perbaikan manajemen reproduksi dan produksi ternak serta perbaikan sistem pelaporan dan pendataan reproduksi ternak melalui iSIKHNAS. Berdasarkan pedoman pelaksaaan Upsus Siwab yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian tahun 2017, target kebuntingan adalah 70% dari akseptor yang di IB dan tingkat kelahiran 80% dari akseptor yang bunting. Parameter keberhasilan IB adalah service per conception (S/C), dengan nilai ideal antara 1,6-2,0 (Toelihere, 1981). Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran pelaksanaan kegiatan Inseminasi Buatan (IB), pelayanan pemeriksaan kebuntingan (PKB) dan pelaporan kelahiran serta evaluasi nilai service per conception (S/C) melalui program Upsus Siwab di Provinsi Sumatera Barat tahun 2017- 2019. Semua laporan pelaksanaan kegiatan pelayanan IB, PKB dan kelahiran oleh petugas reproduksi dikirimkan ke Isikhnas, dan data tersebut dapat di unduh melalui web Isikhnas. Data IB, PKB dan kelahiran tahun 2017-2019 setelah dikumpulkan, di olah dengan Ms. Excel kemudian di analisa secara deskriptif untuk mengetahui persentase capaian. Hasil menunjukkan bahwa capaian pelaksanaan IB di Provinsi Sumatera Barat tahun 2017 sampai 2019 berturut-turut adalah 93%, 139%, dan 88%. Capaian pelayanan PKB dengan hasil pemeriksanaan bunting pada tahun 2017-2019 berturut-turut yaitu 32%, 40%. 41%. Persentase kelahiran dari ternak yang bunting pada tahun 2017-2019 berturut-turut yaitu 35%, 104%, dan 104%. Sedangkan nilai service per conception (S/C) selama tahun 2017- 2019 adalah 2,6. Pelaksanaan IB dan laporan kelahiran selama tahun 2017- 2019 mencapai target yang ditetapkan, sedangkan PKB dan nilai S/C masih belum mecapai target. Hal tersebut dapat disebabkan antara lain karena belum optimalnya koordinasi oleh petugas baik petugas teknis maupun manjemen di semua jenjang, petugas lapangan belum secara aktif melaksanakan pendataan dan pelayanan PKB pada ternak yang telah di IB lebih dari 2 bulan. Berdasarkan data tersebut, pelaksanaan Upsus Siwab di Provinsi Sumatera Barat dapat ditingkatkan lagi dengan cara mengoptimalkan koordinasi antara petugas baik petugas teknis maupun manjemen di semua jenjang, petugas teknis melaporkan data pelayanan IB, PKB dan kelahiran secara up to date sehingga data yang diperoleh melalui iSIKHNAS lebih valid, serta mengoptimalkan pelayanan IB sehingga dapat menurunkan nilai S/C dan meningkatkan pelayanan PKB.
- ItemInvestigasi Outbreak Penyakit Avian Influenza di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang 2019(Direktorat Kesehatan Hewan, 2019) Irawan, Yasir; Miswati, Yuli; Biomed, M.; Oktarianti, EkaAvian Influenza merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus infl uenza tipe A, dapat menyerang beberapa jenis unggas dengan angka mortalitas yang tinggi. Strain virus AI dibedakan menjadi low pathogenic (LPAI) dengan tanda klinis ringan dan high pathigenic (HPAI) dengan beberapa tanda klinis parah dan mortalitas yang tinggi (OIE). Itik memiliki peran penting dalam penyebaran virus Avian Infl uenza subtipe H5N1 karena merupakan reservoir alami virus dan infeksinya bersifat subklinis. Peternakan itik banyak dilakukan secara tradisional tanpa memperhatikan manajemen yang baik, sehingga beresiko terhadap penyebaran dan penularan penyakit menular. Tujuan penyidikan adalah untuk menentukan defenisi kasus, mengumpulkan data dan informasi, melakukan pengambilan dan pengujian sampel, mengidentifi kasi kemungkinan sumber/rute infeksi, mengidentifi kasi faktor-faktor risiko, analisis data serta pemberian saran tindakan pengendalian. Penyidikan dilakukan melalui pencarian kasus aktif terhadap ternak yang menunjukkan gejala klinis, wawancara terhadap peternak dengan kuisioner, obeservasi lingkungan dan pemeriksaan laboratorium dengan uji PCR oleh Balai Veteriner Bukittinggi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analisa sederhana, pembuatan kurva epidemik, dan perhitungan mortalitas. Berdasarkan kerangka waktu dan kurva epidemik, kisaran masa inkubasi adalah 6 – 8 hari. Angka mortalitas sebesar 95% (1900/2000 ekor). Diagnosa banding adalah Newcastle Disease (ND/tetelo). Peneguhan diagnosa dilakukan oleh Balai Veteriner Bukittinggi dengan pengambilan sampel terhadap 8 ekor itik, 12 ayam layer, dan 12 ayam arab. Pengujian terdiri dari uji bakteriologi yaitu isolasi dan identifi kasi Clostridium tetani dengan hasil negatif, uji bioteknologi berupa uji AI PCR dengan hasil 7 positif dan 25 negatif, uji ND PCR dengan hasil 8 positif dan 24 negatif, selanjutnya uji virologi yaitu berupa uji AI inokulasi TET/TAB dengan hasil 12 positif dan 20 negatif, uji AI HA/HI dengan hasil 24 seropositif dan 1 seronegatif, uji ND HA/HI dengan hasil 20 positif dan 5 negatif, sedangkan uji ND inokulasi sebanyak 12 positif dan 20 negatif. Hasil penyidikan menunjukkan bahwa kemungkinan sumber infeksi berasal dari pembuangan bangkai unggas sembarangan atau disposal yang tidak sesuai aturan serta kurang optimalnya manajemen pemeliharaan itik tersebut. Pemberian rekomendasi tindakan pengendalian adalah melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) penerapan manajemen pemeliharaan peternakan yang baik dan program biosekuriti dan disposal yang benar.
- ItemPenyidikan Kejadian Kematian Sapi Bali yang Diduga Disebabkan oleh Jembrana di Jorong Panang Nagari Tanjuang Balik Kecamatan Pangkalan Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2016(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Oktarianti, Eka; Purnama, Betty IndahSejak pertama kali outbreak di Sumatera Barat tahun 1992 Balai Veteriner Bukittinggi telah melakukan monitoring penyakit Jembrana dan belum pernah ditemukan kasus di Kabupaten Lima Puluh Kota. Pada bulan Oktober tahun 2016, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab. Lima Puluh Kota bersama Balai Veteriner Bukittinggi melakukan penyidikan terhadap kasus kematian mendadak pada sapi bali di Jorong Panang Nagari Tanjuang Balik Kecamatan Pangkalan Kab. Lima Puluh Kota dengan gejala diduga terinfeksi Jembrana. Tujuan penyidikan adalah untuk menentukan defenisi kasus, mengumpulkan data dan informasi, melakukan pengambilan dan pengujian sampel, mengidentifikasi kemungkinan sumber/rute infeksi, mengidentifikasi faktor-faktor risiko, analisis data serta pemberian saran tindakan pengendalian. Penyidikan dilakukan melalui pencarian kasus aktif terhadap ternak yang menunjukkan gejala klinis, wawancara terhadap peternak dengan kuisioner, obeservasi lingkungan dan pemeriksaan laboratorium (nekropsi bangkai dan PCR) oleh Balai Veteriner Bukittinggi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analisa sederhana, pembuatan kurva epidemik, dan perhitungan mortalitas. Berdasarkan kerangka waktu dan kurva epidemik, kisaran masa inkubasi adalah 4 – 12 hari. Angka mortalitas sebesar 30%. Diagnosa banding saat kunjungan ke lapangan adalah Bovine Ephemeral Fever (BEF). Peneguhan diagnosa dilakukan dengan nekropsi dan pemeriksaan secara PCR terhadap ternak yang menunjukkan gejala klinis. Hasil nekropsi menunjukkan terjadinya pembesaran lien dan perdarahan pada orga jantung, sedangkan hasil pengujian PCR terhadap serum darah dan organ pada 5 ekor sapi menunjukkan hasil positif terinfeksi Jembrana. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa penyebab kematian pada sapi bali adalah terinfeksi penyakit Jembrana Hasil penyidikan menunjukkan bahwa kemungkinan sumber infeksi berasal dari pemasukan sapi bali dari daerah endemis dan telah terinfeksi Jembrana, serta kurang optimalnya manajemen pemeliharaan sapi bali oleh peternak. Pemberian rekomendasi tindakan pengendalian adalah peningkatkan manajemen peternakan dan biosekuriti, melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi tentang tata cara pemasukan ternak dari luar daerah.