Repository logo
  • English
  • Català
  • Čeština
  • Deutsch
  • Español
  • Français
  • Gàidhlig
  • Latviešu
  • Magyar
  • Nederlands
  • Polski
  • Português
  • Português do Brasil
  • Suomi
  • Svenska
  • Türkçe
  • Қазақ
  • বাংলা
  • हिंदी
  • Ελληνικά
  • Yкраї́нська
  • Log In
    New user? Click here to register.Have you forgotten your password?
Repository logo
  • Communities & Collections
  • All of Repositori
  • English
  • Català
  • Čeština
  • Deutsch
  • Español
  • Français
  • Gàidhlig
  • Latviešu
  • Magyar
  • Nederlands
  • Polski
  • Português
  • Português do Brasil
  • Suomi
  • Svenska
  • Türkçe
  • Қазақ
  • বাংলা
  • हिंदी
  • Ελληνικά
  • Yкраї́нська
  • Log In
    New user? Click here to register.Have you forgotten your password?
  1. Home
  2. Browse by Author

Browsing by Author "Husin M. Toha"

Now showing 1 - 7 of 7
Results Per Page
Sort Options
  • Loading...
    Thumbnail Image
    Item
    Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi
    (BALAI PENELITIAN TANAMAN PADI, 2003-12-16) Ooy S. Lesmana; Husin M. Toha; Irsal Las
    Upaya peningkatan produksi padi melalui inovasi teknologi varietas unggul baru (VUB) sangat menonjol bila dipadukan dengan pengolahan lahan, air, tanaman dan organisme pengganggu (LATO). Varietas unggul menjadi andalan utama, karena usahatani padi merupakan usaha yang bersifat subsisten, tetapi padi memiliki kedudukan yang sangat strategis. Balai Penelitian Tanaman Padi (BALITPA) sebagai sumber IPTEK padi telah melepas beberapa varietas unggul baru. Pelepasan varietas unggul baru, selain untuk peningkatan potensi hasil tinggi, juga memperhatikan mutu hasil dan tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Untuk mendapatkan potensi hasil yang tinggi, program penelitian perakitan varietas telah melakukan perakitan padi hibrida dan padi tipe malai lebat (Padi Tipe Baru). Melalui penelitian pemuliaan partisipatif (Participatory Breeding), juga diharapkan memperoleh varietas unggul baru yang bersifat teknologi dan lokal spesifik seperti untuk sawah irigasi dataran rendah sampai sedang, untuk gogorancah, daerah endemis hama dan penyakit tertentu (wereng coklat, tungro, hawar daun bakteri dan bias), lahan kering podzolik merah kuning (PMK), keracunan alumunium dan besi, lahan rawa pasang surut dan gambut. Buku ini memuat informasi deskripsi varietas padi dengan karakteristik masingmasing keunggulannya yang disusun berdasarkan tahun pelepasan dari kurun waktu 1995 sampai 2002. Diawali varietas Memberamo sampai yang terbaru dilepas (akhir 2002) yaitu varietas Cigeulis, Gilirang (padi sawah) dan Situ Bagendit, Situ Patenggang untuk padi gogo (lahan kering). BALITPA berharap agar buku ini dapat bermanfaat bagi pengguna, khususnya petani dalam memilih suatu varietas padi unggul yang akan dikembangkan sesuai lingkungan daerahnya. Untuk perbaikan ke depan, kritik dan saran dari pembaca selalu kami nantikan.
  • No Thumbnail Available
    Item
    Keragaan Galur dan Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda di Blora dan Indramayu
    (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2010-11-18) Lalu Muhamad Zarwazi; Widyantoro; Supartopo; Husin M. Toha
    Abstract Performance of Upland Rice Lines and Upland Rice Varieties as an Interculture at Young Teak Forest in Blora and Indramayu. There were about 55.6 million hectares of dry land available in Indonesia which can be utilized as an alternative of improving rice production in the country. One of the dry land available was those covered with young, forest plants in which rice crops still possible to be grown with considerable yield production. The experiment has been conducted at Ngliron Village, Randublatung Sub-district, Blora District, Central Java and at Bantarwaru Village, Gantar Sub-district, Indramayu District, West Java, during the WS of 2008/2009. The rice genotypes tested in Blora were TB409B-TB-14-3, B11602E-MR-1-2, and BP1351D-1-2-PK-3-1, while in Indramayu were TB490C-TB-1-21-MR-1-1, TB490C-TB-1-2-1, and TB409B-TB-14-3. In both locations, three rice varieties, Batutegi, Limboto, and Situ Patenggang, were grown as check. The trials were arranged in a Randomized Complete Design, with rice genotypes as the trial. Results of the trials indicated that the average yield of upland rice genotypes harvested were 4.21 t/ha of dry crop grains (DCG) or 3.941 kg/ha of dry milled grains (DMG) in Indramayu and 5.03 t/ha (DCG) or 4.56 t/ha (DMG) in Blora. In Indramayu, the lines of TB490C-TB-1-21-MR-1-1, TB490C-TB-1-2-1, dan TB409B-TB-14-3 yielded 4.81, 4.73, and 4.62 t/ha, respectively. In Blora, the lines of TB409B-TB-14-3, B11602E-MR-1-2, and BP1351D-1-2-PK-3-1 yielded 5.32, 5.26, and 4.99 t/ha, respectively. In both locations, the check varieties yielded lower than the tested genotypes. Abstrak Lahan kering yang tersedia untuk perluasan areal pertanian di Indonesia ada sekitar 22,4 juta ha. Areal ini perlu segera dimanfaatkan untuk meningkatkan cadangan pangan yang makin sulit dicapai. Salah satu lahan kering yang perlu lebih dimanfaatkan adalah lahan kosong di bawah tegakan tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda. Percobaan keragaan galur harapan dan varietas padi gogo sebagai tanaman tumpangsari hutan jati muda telah dilakukan di Desa Ngliron (Blora) dan Desa Bantarwara (Indramayu) pada MH 2008/2009. Percobaan dirancang mengacu pada pola rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Perlakuannya terdiri atas 17 galur harapan dan 3 varietas (limboto, Batutegi dan Situ Patenggang) sebagai pemlading. Hasil percobaan menunjukkan bahwa produksi rata-rata galur dan varietas padi gogo di dua lokasi masing-masing adalah: 3,94 t/ha GKG di Indramayu dan 4,56 t/ha GKG di Blora. Hasil yang tinggi pada lokasi Indramayu dicapai oleh galur-galur: TB490C-TB-1-21-MR-1-1, TB490C-TB-1-2-1, dan TB409B-TB-14-3 masing-masing mencapai 4,81; 4,73 dan 4,62 t/ha GKG. Varietas pembanding Batutegi. Limboto, dan Situ Patenggang berturut-turut menghasilkan 4,53; 4,48 dan 4,19 t/ha GKG. Hasil yang tinggi pada lokasi Blora dicapai oleh galur; TB409B-TB-14-3; B11602E-MR-1-2 dan BP1351D-1-2-PK-3-1 masing-masing mencapai: 5,32; 5,26 dan 4,99 t/ha GKG. Sementara tiga varietas pembanding, yaitu Batutegi, Limboto, dan Situ Patenggang masing-masing mencapai: 5,10; 4,33 dan 4,15 t/ha GKG.
  • No Thumbnail Available
    Item
    Keragaan Varietas Padi Gogo Pada Dua Lokasi Yang Berbeda di Indramayu
    (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2010-11-18) Lalu Muhamad Zarwazi; Husin M. Toha
    Abstract Performance of Upland Rice Varieties at Two Different Locations in Indramayu. As the stapple food for most of Indonesian, the enough availability, good quality, and good accessibility of rice must be maintained. It was predicted that in the year of 2030, the country will fall into the shortage of food, since the population growth rate was 1.7% per year and a number of productive rice areas were changed into non-agriculture function. It was time that Indonesia should utilize upland areas for the production of rice in the future. By such efforts, it was expected that upland areas will contribute significantly to the availability of quality rice for the people. The technology needed to support the efforts, such as superior varieties. fertilizer application, weed management, etc., are available. Experiment was conducted at Sanca and Bantarwaru Villages at Indramayu District during the wet season of 2008/2009. At Sanca Village, rice genotypes were planted under the shade of 3 years old teak plants and at Bantarwaru were under open land. Results of this experiment revealed that the rice yields were not statistically different among genotypes. At Sanca Village, rice yields were 4.70; 4.59; 4.51; 4.38 and 4.21 t/ha of milling dried grain for the variety of Selegreng. IR64, Cibogo, BP760F, and Jatiluhur, respectively. The Yield at Bantarwaru village were 4.82; 4.72; 4.63 and 4.13 t/ha of milling dried grain, for Situ Patenggang, Jatiluhur, Limboto, and Situ Bagendit, respectively. Abstrak Sebagai pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia, beras harus tersedia dalam jumlah yang cukup, berkualitas, dan terjangkau. Pada tahun 2030 nanti, Indonesia dengan rata-rata pertumbuhan penduduk 1,7% per tahun dan luas areal panen yang terus mengalami alih fungsi untuk non-pertanian, diduga akan dihadapkan pada ancaman rawan pangan. Untuk ini, sudah seharusnya Indonesia memanfaatkan lahan-lahan baru, yang sebelumnya tidak dimanfaatkan untuk produksi padi. Salah satunya adalah lahan kering yang di Indonesia tersedia sangat luas. Pengembangan padi di lahan lahan kering memerlukan teknologi baru, khususnya varietas unggul, pemupukan, pengendalian gulma, dan beberapa teknologi yang lain. Pengembangan padi gogo di lahan kering yang selama ini belum termanfaatkan diharapkan akan dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap upaya memenuhi ketersediaan beras berkualitas yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Percobaan telah dilakukan di Desa Sanca dan Desa Bantarwaru, Kabupaten Indramayu pada MH 2008/2009. Dua desa ini dipilih karena memiliki kondisi lahan yang berbeda. Pertanaman padi Gogo di Desa Sanca dilaksanakan di lahan tanaman hutan jati muda umur tiga tahun, sedangkan di Desa Bantarwaru, di lahan terbuka. Percobaan ditata dalam rancangan acak kelompok dengan varietas dan galur padi sebagai perlakuan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pada kedua lokasi. Hasil yang tinggi pada pertanaman di Desa Sanca: 4,70; 4,59; 4,51; 4,38 dan 4.21 t/ha GKG, berturut-turut untuk varietas: Selegreng. IR64, Cibogo, BP760F, dan Jatiluhur. Sedangkan hasil yang tinggi pada pertanaman di Desa Bantarwaru mencapai: 4,82; 4,72; 4,63 dan 4,13 t/ha GKG, berturut-turut untuk varietas: Situ Patenggang, Jatiluhur. Limboto, dan Situ Bagendit.
  • Loading...
    Thumbnail Image
    Item
    Padi Gogo
    (BALAI PENELITIAN TANAMAN PADI, 2005-12-16) Husin M. Toha; Agus Setyono; Aan Andang Daradjat; t Ooy Lesmana
    Tantangan pengadaan pangan khususnya beras ke depan akan semakin sulit mengingat penduduk terus bertambah, tetapi dilain pihak luas sawah irigasi terutama di Pulau Jawa banyak yang terkonversi untuk kepentingan non pertanian. Hal lain yang menambah sulitnya pemenuhan kebutuhan beras adalah; tingkat produktivitas lahan sawah sudah mengalami kejenuhan dan cenderung menurun serta adanya perubahan pola makan penduduk pada beberapa daerah dari non beras ke beras. Kalau dalam waktu dekat tidak ada trobosan baru, untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk kedepan, kita akan tergantung beras impor, yang sudah barang tentu akan memerlukan devisa yang juga terus meningkat. Revolusi hijau pertama yang dimulai dengan ditemukannya padi ajaib (IR 5 dan IR 8) yang diteruskan dengan IR 36, Cisadane, IR 64 serta mencapai puncaknya ketika tercapainya Swa Sembada Beras pada tahun 1984. Program ini lebih terfokus pada lahan sawah irigasi dan hanya beroreantasi kepada produksi tinggi, dengan penggunaan input juga tinggi ternyata tidak stabil. Pada pihak lain kelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan kurang mendapat perhatian. Akibatnya terjadi kekurang lenturan sistem usahatani padi terhadap cekaman lingkungan. Peledakan serangan hama dan penyakit sering terjadi, penurunan tingkat produksi lahan juga terjadi, padahal pemupukam cenderung meningkat. Ketidakseimbangan suplai hara juga mengakibatkan kekahatan unsur hara tertentu dan muncul gejala lahan sakit. Belajar dari pengalaman revolusi hijau pertama, muncul gagasan revolusi hijau lestari yang lebih memperhatikan pengembangan lahan sub-optimal disamping tetap mempertahankan tingkat produktivitas lahan sawah irigasi. Lahan sub-optimal terdiri dari; lahan sawah tadah hujan (STH), lahan kering, lahan rawa pasang surut dan lahan rawa lebak cukup potensial untuk pengadaan pangan masa depan terutama padi. Potensi lahan kering pada ketinggian < 700 m dpl ada sekitar 52,83 juta ha, tetapi yang potensial untuk vii tanaman pangan ada 5,1 juta ha. Luas pertanaman padi gogo di Indonesia antara 1,0 1,2 juta ha dengan tingkat produksi 2,3 2,5 t/ha atau baru sekitar 50 % produktivitas padi sawah irigasi. Secara potensi, hasil penelitian padi gogo oleh IRRI pernah mencapai 7,2 t/ha dan beberapa hasil penelitian di Sumatera dan Jawa dapat mencapai di atas 5,0 t/ha. Pertanaman padi gogo umumnya ditemukan pada 3 sub ekosistem, yaitu : pada daerah datar termasuk hamparan sungai dan pekarangan, pada kawasan perbukitan daerah aliran sungai (DAS), dan sebagai tanaman tumpangsari tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda. Potensi padi gogo sebagai tanaman tumpangsari perkebunan dan HTI muda dapat mencapai lebih dari 2,0 juta ha. Bila dari luasan pertanaman padi gogo yang ada produksinya dapat ditingkatkan menjadi 3,0 t/ha atau meningkat 0,5 t/ha, maka akan ada tambahan produksi sekitar 1,5 juta ton/tahun dan dapat menambah cadangan beras dan dapat mengurangi impor. Buku tentang padi gogo dan pola pengembangannya diharapkan dapat menjadi acuan untuk pengembangan padi gogo di Indonesia ke depan. Buku ini disarikan dari beberapa hasil penelitian yang berlangsung cukup lama, tetapi belum membahas semua aspek yang kemungkinan ditemukan dilapangan. Saran untuk perbaikan buku ini masih sangat diharapkan, agar imformasi tentang padi gogo di Indonesia menjadi lebih lengkap.
  • Loading...
    Thumbnail Image
    Item
    Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Tadah Hujan
    (2008) Achmad Suryana; Suyamto; Husin M. Toha; Hamdan Pane; M. Yamin Samaullah; Triny S. Kadir; Agus Guswara
    Buku petunjuk teknis model PTT padi sawah tadah hujan disusun berdasarkan pengalaman dalam penelitian dan pengembangan inovasi teknologi usahatani padi pada lahan sawah tadah hujan bersamaan pengembangan model PTT padi sawah irigasi. Buku petunjuk lapang ini dibuat/disusun untuk dipedomani oleh penyuluh pertanian dalam usaha meningkatkan produktivitas padi lahan sawah tadah hujan melalui pendekatan model PTT. Selain itu, buku ini diharapkan dapat pula dipakai sebagai pelengkap bahan pelatihan PTT padi lahan sawah tadah hujan, baik yang diselenggarakan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) maupun oleh Dinas Pertanian di daerah.
  • No Thumbnail Available
    Item
    Pengembangan Padi Gogo Pada Kawasan Hutan Jati, Kasus KPH Randublatung
    (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2010-11-18) Husin M. Toha; Widyantoro; Lalu M. Zarwazi
    Abstract Developing Upland Rice within Young Forestry Plants: A Case of KPH Randublatung. Cropping rice crops in areas covered by young forestry plants is expected to contribute to the national rice stock and the welfare of farmers living closely to the forest areas. For that purpose, the technology for the production of upland rice is needed since most farmers still practice the traditional one. Generally, they grow local cultivars, apply in balanced fertilizers, and carry out minimal pest and disease managements. Result of this experiment revealed that the average yield harvested was 5.21 t/ha of milling dried grain, with the range of 3.75-5.99 t/ha. When it was compared to that harvested from the production management mar done by farmer, the yield was increased by 31-120%. Mean of upland rice yield cultivated in an open area reached 3.13 t/ha of milling dried grain, with the range of 2.92-4.04 t/ha. When it was compared to that harvested from the production management done by farmers, the yield increased by 58-124%. Means of upland rice yield cultivated in area covered by 1 year old teak plants reached 4.12 t/ha of milling dried grain, with the range of 3.12-4.34 t/ha. The highest yield was demonstrated by Batutegi, followed by Situ Bagendit and Situ Patenggang. It was observed that the optimum rate of nitrogen fertilizer needed in upland rice was 200 kg/ha, in which the higher rate caused to yield declining. Results of the multilocation trials involving a total of 17 promising lines indicated that the yield reached 4.25 t/ha of milling dried grain, with the range of 4.00-6.08 t/ha. The highest and the lowest yields were performed by the TB490B-TB-1-2-1 and the BIO511B-61-2-3-1 breeding lines, respectively. There were 15 promising lines yielded higher than Limboto and Situ Patenggang varieties. Abstrak Menanam enanam padi di lahan tanaman hutan muda, diharapkan dapat meningkatkan produksi padi nasional dan meningkatkan pendapatan petani yang tinggal di sekitar hutan. Untuk itu, teknologi produksi lahan kering tradisional yang biasa dilakukan petani perlu diperbaiki, sehingga perlu dicari komponen teknologi budidaya padi gogo sebagai tanaman sela pada tanaman HTI muda. Varietas yang ditanam umumnya varietas lokal, pemupukan umumnya belum berimbang (hanya urea dan sedikit SP36), dan pengendalian hama dan penyakit serta gulma sangat terbatas. Kegiatan tumpangsari padi gogo pada kawasan hutan dapat dilakukan sejak tanaman jati siap ditebang (teresan) sampai naungan pertanaman jati muda menutup 50%. Di areal ini, rata-rata hasii varietas padi gogo dapat mencapai 5,21 t/ha GKG, dengan kisaran 3,75-5,99 t/ha. Bila dibandingkan dengan hasil pertanaman petani, varietas unggul dapat meningkatkan hasil sebesar 31-120%. Di areal terbuka, rata-rata hasil padi gogo dapat mencapai 3,13 t/ha GKG, dengan kisaran antara 2,92-4,04 t/ha. Bila dibandingkan dengan hasil pertanaman petani, varietas unggul dapat meningkatkan hasil antara 58-124%. Di areal hutam jati umur 1 tahun, rata-rata hasil padi gogo tumpangsari mencapai 4,12 t/ha GKG, dergan kisaran hasil antara 3,12-43.34 t/ha GKG. Rata-rata hasil tertinggi dipanen dari varietas Batutegi diikuti oleh varietas Situ Bagendit dan Situ Patenggang. Pemupukan nitrogen padi gogo optimal pada dosis 200 kg/ha. Rata-rata produksi uji multi lokasi (UML) sejumlah 17 galur harapan padi gogo mencapai 4,25 t/ha GKG, dengan kisaran 4,00-6,08 t/ha GKP. Hasil tertinggi dipanen dari galur TB490B-TB-1-2-1 dan yang terendah dari galur BIO511B-61-2-3-1. Terdapat 15 galur harapan yang memberikan hasil lebih tinggi daripada varietas Limboto dan Situ Patenggang.
  • No Thumbnail Available
    Item
    Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Kawasan Pengairan Pedesaan Lombok Timur, NTB
    (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2010-11-18) Husin M. Toha; I.N. Widiarta; A. Guswara; M. Zairin
    Abstract Implementation of ICM Field School in Rural Areas in East Lombok. It was reported that the implementation of the integrated crop management (ICM) increased grain yield by 37% over those managed through the farmer's practices. In order to increase both the rice production and farmers' income, it would be necessary to bring the ICM into the farmer's fields. A demonstration plot of ICM with its component of the new HYV has been carried out in North Jenggik Village, Montong Gading Sub-district, East Lombok District. Rice crops established through the implementation of square planting of 20 cm x 20 cm in space and in-row planting legowo of 40 cm x 20 cm x 10 cm in space with planting young seedlings of 2-3 seedlings/hole were introduced to the farmers under guidance of extension workers and researchers. Farmers' field school was conducted to train farmers on HYV, ICM, and integrated pest management. Data indicated that the average yield harvested from 10 HYVs were 7.1 t/ha, with the range of yield were of 6.7-7.4 t/ha. The yield of HYV by farmers' practice was 6.7 t/ha. Planting in-row, "legowo" increased yield by 6%. Five HYVs, Mekongga, Cibogo, Cimelati, Tukad Unda. and Cilosari planted in legowo planting system yielded 27.5 t/ha. Mean income of planting 10 HYVs in the demonstration plot was Rp17,552,833 with the range of Rp16,670,400 to Rp18,544,900. The mean cost for rice production was Rp5,233,617 and, therefore, the mean benefit obtained by the farmers was Rp12,329,217 per ha/season. The highest benefit were obtained by planting rice in legowo, followed by square planting system and farmers' practice with values of Rp13,155,400, Rp12,213,800 and Rp11,618,360, respectively. The additional cost due to the adoption of square and legowo planting systems were Rp100,000 and Rp150,000 per ha, respectively. The additional cost was considerably small as related to the overall farmers benefit obtained from adopting these planting methods. Abstrak Hasil penelitian budidaya produksi padi melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dengan komponen varietas unggul dapat menghasilkan gabah 37% lebih tinggi dibandingkan dengan hasil gabah petani. Untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani padi, perlu diseminasi PTT dengan baik. Demplot PTT dengan komponen utama beberapa varietas unggul telah dilakukan di Desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong Gading, Lombok Timur. Kondisi lapan lapangan, respons petani, dan dukungan aparat setempat cukup baik. Hasil demplot menunjukkan bahwa hasil rata-rata 10 varietas unggul yang dikelola dengan 3 cara tanam mencapai 7,10 t/ha GKG, dengan kisaran 6,73 t/ha GKG (Ciliwung) sampai 7,37 t/ha GKG (Mekongga). Hasil gabah paling rendah sebesar 6,74 t/ha GKG diperoleh dari pertanaman yang dikelola menurut cara non-PTT (petani). Upaya perbaikan cara tanam dengan menerapkan sistem tanam tegel dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm dan sistem tanam dalam barisan "jajar legowo" dengan jarak tananı ((20 x 10) x 40) cm dapat menghasilkan berturut-turut sebesar 7,05 dan 7,50 t/ha GKG atau terjadi peningkatan hasil sebesar 5-11%. Melalui tanam jajar legowo 5 varietas, yaitu Mekongga, Cibogo, Cimelati, Tukad Unda, dan Cilosari mampu menghasilkan gabah 27,5 t/ha GKG. Rata-rata pendapatan bruto mencapai Rp17.552.833 dengan kisaran Rp16.670.400 sampai Rp18.544.900. Pendapatan tertinggi diperoleh petani yang menerapkan cara tanam jajar legowo dan yang paling rendah pada petani yang menerapkan cara tanam non-PTT. Dengan rata-rata biaya produkksi sebesar Rp5.223.617, maka keuntungan petani dapat mencapai Rp12.329.217. Sebagaimana hasil gabahnya. kruntungan tertinggi juga diperoleh dari pertanaman yang dikelola dengan cara tanam jajar legowo diikuti oleh pertanaman yang dikelola dengan cara tanarn tegel, dan terakhir pada pertanaman yang dikelola dengan cara tanam petani, berturut-turut sebesar Rp13.155.410, Rp12.213.880, dan Rp11.618.360 per ha. Tambahan braya tanam sebesar Rp100.000 dan Rp150.000, berturut-turut untuk sistem tanam tegel dan sistem tanam jajar legowo masih lebih menguntungkan dibanding cara tanam petani.

Copyright © 2025 Kementerian Pertanian

Balai Besar Perpustakaan dan Literasi Pertanian

  • Cookie settings
  • Privacy policy
  • End User Agreement
  • Send Feedback