Browsing by Author "Hendri Sosiawan"
Now showing 1 - 5 of 5
Results Per Page
Sort Options
- ItemOptimalisasi Long Storage Gandakan Produksi Padi Rawa(Balittra, 2019) Hendri Sosiawan; Balai Penelitian Pertanian Lahan RawaLongstorage merupakan bangunan konservasi air dengan bentuk memanjang pada lahan pertanian yang dibuat untuk menampung air yang berasal dari air hujan dan limpasan aliran permukaan. Pada lahan rawa, longstorage juga mempunyai fungsi untuk menampung luapan air pasang sekaligus sebagai sarana drainase. Optimalisasi longstorage pada lahan rawa pasang surut dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya: Pembuatan sistem tabat konservasi bertingkat pada saluran tersier dengan spesifikasi desain, Sebaran dan jumlah sesuai dengan kondisi dan karakteristik lahan rawa pasang surut, Normalisasi pintu-pintu air pada petakan lahan yang belum berfungsi secara optimal, Pembuatan saluran kuarter pada petakan sawah dan bangunan pelimpas (over flow).
- ItemPENGELOLAAN AIR UNTUK PERTANIAN TANAMAN PADI DI LAHAN RAWA: KASUS DESA JEJANGKIT MUARA, KABUPATEN BARITO KUALA, KALIMANTAN SELATAN(Balai Pengujian Standar Instrumen Pertanian Lahan Rawa, 2019) Muhammad Noor; Izhar Khairullah; Hendri SosiawanPemerintah, sejak tahun 2017 melalui Kementerian Pertanian menargetkan optimalisasi lahan rawa seluas 1 juta hektar untuk pengembangan tanaman pangan, khususnya padi. Padahal luas lahan rawa yang sesuai untuk pengembangan pertanian ditaksir sekitar 19,19 juta hektar. Dari luasan tersebut pemerintah telah melakukan pembukaan lahan rawa baru sekitar 1,2 juta hektar dan yang dibuka secara swadaya oleh masyarakat setempat sekitar 3 juta hektar. Secara historis, lahan rawa sudah dimanfaatkan untuk pertanian sejak abad ke-13 pada zaman Kerajaan Majapahit yang dilanjutkan kemudian oleh Belanda pada abad ke-18 sebagai daerah koloni untuk memperluas kekuasaannya di bumi Nusantara. Bukti-bukti ini dapat dilihat pada bangunan Polder di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Lahan rawa tersebar di 18 provinsi atau sekitar 300 daerah kabupaten dan kota. Bahkan terdapat tujuh daerah kabupaten yang daratannya didominasi lahan rawa sehingga kehidupan dan sumber pendapatan masyarakatnya bertumpu pada pemanfaatan rawa. Sekarang telah muncul kota-kota pesisir dan daratan rawa yang berkembang menjadi pusat-pusat sentra pertumbuhan ekonomi dan masyarakat seperti Banjarmasin, Palembang, Palangka Raya, Pontianak
- ItemREKONSTRUKSI MINIPOLDER DALAM AREA POLDER ALABIO UNTUK PENGELOLAAN AIR DI LAHAN RAWA LEBAK(Balai Pengunjian Standar Instrumen Pertanian Lahan Rawa, 2019) Khairil Anwar; A. Rifqi Hidayat; Hendri SosiawanProgram swasembada beras yang dicanangkan pemerintah perlu didukung dengan optimalisasi pemanfaatan lahan pada berbagai agroekologi lahan, salah satunya lahan rawa lebak. Pembuatan minipolder atau tanggul keliling skala 70-100 hektar merupakan salah satu upaya agar tinggi muka air lahan dapat dikendalikan sehingga indeks pertanaman (IP) bisa ditingkatkan. Salah satu contoh pembuatan minipolder Hambuku yang terletak dalam area polder Alabio (6.000 hektar), di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan karakteristik polder induk (Alabio) dan perlunya pembentukan minipolder serta upaya rekonstruksinya agar minipolder dapat berfungsi mengendalikan tinggi muka air yang diperlukan untuk optimalisasi lahan tersebut. Hasil karakteristik minipolder Hambuku menunjukkan bahwa area tersebut memiliki luas sekitar 82 hektar yang dikelilingi tanggul, berupa jalan desa, Jalan Inspeksi Polder Alabio dan Jalan Usahatani, berada di wilayah tiga desa (Desa Hambuku Raya, Hambuku Pasar, dan Hambuku Hulu), memiliki keragaman topografi membentuk lebak dangkal dan lebak tengahan, sumber air berasal dari curah hujan setempat, air irigasi polder Alabio, dan air irigasi Sungai Nagara, memiliki tanah mineral dengan dominasi fraksi liat, petani bertanam sekali setahun menjelang musim kemarau. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa kondisi infrastruktur masih belum membentuk minipolder yang dapat difungsikan dalam mengendalikan tinggi muka air. Untuk bisa difungsikan dalam pengendalian muka air lahan dibutuhkan rekonstruksi bangunan air/tanggul yang sudah ada, berupa (1) meninggikan tanggul yang masih rendah di bawah tinggi genangan maksimal, (2) normalisasi pintu-pintu air yang bocor pada tanggul keliling minipolder, (3) menutup lubang-lubang tanggul keliling yang bocor, dan (4) membuat tanggul untuk membentuk sub minipolder dalam minipolder tersebut berdasarkan perbedaan topografi.
- ItemREMEDIASI LAHAN RAWA DENGAN BAHAN ORGANIK(Balai Pengujian Standar Instrumen Pertanian Lahan Rawa, 2019) Wahida Annisa; Koesrini; Hendri SosiawanLahan rawa merupakan ekosistem yang unik dan rapuh, sehingga apabila ingin dikelola sebagai lahan pertanian perlu dilakukan dengan sangat hati-hati dengan tetap memerhatikan karakteristik tanah dan lingkungannya yang bersifat sangat spesifik. Tanah di lahan rawa ada yang berpotensi sulfat masam yang pengelolaannya sangat ditentukan oleh pengelolaan bahan organik. Sulfida dalam tanah sulfat masam dibentuk dari sulfat dalam air laut atau air tawar dalam kondisi anaerob oleh bakten pereduksi sulfat, yang membutuhkan bahan organik sebagai sumber energi yang bereaksi dengan Fe (II) terlarut untuk membentuk pirit. Oksidasi buhan sulfat melepaskan asam dan logam terlarut yang dapat memiliki efek merusak pada kualitas tanah dan air. Remediasi bahan sulfur dan pencegahan oksidasi bahan sulfida di tanah rawa perlu menjadi perhatian. Strategi perbaikan konvensional, seperti pengapuran dan menutupi bahan sulfida dengan air atau tanah non sulfat masam mahal atau tidak praktis Bahan organik adalah sumber energi untuk reduksi sulfat, yang memainkan peran penting dalam pembentukan bahan sulfida dan menghasilkan alkalinitas selama reduksi sulfat yang memengaruhi oksidasi pirit melalui konsumsi oksigen oleh bakteri pengurai bahan organik, kompleksasi bes dan pelapisan pirit. Permasalahan adalah ketersediaan bahan organik lokal di lahan sulfat masam masih sangat terbatas. Penggunaan bahan organik dapat menjadi pilihan yang ekonomis dan ramah lingkungan untuk pemulihan lahan rawa yang berpotensi sulfat masam
- ItemTEKNOLOGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN RAWA MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN(Balai Pengujian Standar Instrumen Pertanian Lahan Rawa, 2019) Masganti,; Hendri Sosiawan; Ani SusilawatiPulau Jawa merupakan pemasok bahan pangan terbesar di 1 diperkirakan 55% bahan pangan berasal dari pulau terpadat populen penduduknya tersebut. Akhir-akhir ini mulai terjadi ancaman pasokan bahan pangan antara lain karena konversi lahan pertanian produkid, ekstrem dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Luas Pulau Sumatera, Papua, dan Kalimantan, dan sebagian kecil di Pulau Pulau Sumatra, dan Maluku. Akan tetapi, pestat biofisik, fisik dan Jawa, Sul basin pangan terkendala dengan sifat biofisik, fisik dan kima Panah serta aspek sosial ekonomi petani. Ini tercermin dari lambatnya laju pemanfaatan lahan ini. Rata-rata luas lahan rawa yang dimanfaatkan untuk menghasilkan bahan pangan hanya 15-20% luas total. Selain rendahnya luas lahan yang dimanfaatkan, produktivitas padi di lahan ini juga rendah, bahkan sebagian ditinggalkan atau ditelantarkan petani. Lahan rawa sangat berpeluang untuk dikembangkan sebagai pemasok padi Indonesia pada masa mendatang mengingat (1) produktivitas masih rendah, (2) lahan potensial masih luas, (3) indeks pertanaman (IP) masih rendah, (4) lahan terdegradasi yang potensial masih luas, (5) pola produksi padi bersifat komplementer dengan pola produksi padi di Pulau Jawa, (6) kompetisi pemanfaatan lahan untuk tujuan non-pertanian relatif rendah, dan (7) tersedianya teknologi produksi padi. Teknologi peningkatan produksi padi di lahan rawa dapat dilakukan melalui (1) pengunaan varietas, (2) pengelolaan air, (3) pemupukan, (4) ameliorasi, (5) sistem tanam, (6) alsintan, dan (7) pengendalian OPT. Indonesia