KEARIFAN LOKAL DALAM PERSPEKTIF KESUBURAN TANAH DAN KONSERVASI AIR DI LAHAN GAMBUT

dc.contributor.authorMuhamamd Noor, Muhammad Alwi, Khairil Anwar, Balittra
dc.date.accessioned2018-12-20T00:30:09Z
dc.date.available2018-12-20T00:30:09Z
dc.date.issued2007
dc.descriptionLahan rawa, yang sebagian merupakan lahan gambut dikenal sebagai lahan piasan (margina~. Sejak lama para pakar tanah dan lingkungan, antara lain Mohr (1940) menyatakan bahwa tanah-tanah di luar Jawa, termasuk tanah rawa dinilai kurang subur untuk tanaman pangan dan lebih cocok untuk pengembangan tanaman perkebunan seperti karet, kelapa, kelapa sawit, dan kopi. Berkenaan dengan upaya pemerintah dalam reklamasi lahan rawa, pakar pertanian manca negara, terutama Belanda sempat menyangsikan keberhasilan pemerintah dalam menjadikan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang produktif (Notohadiprawiro, 1984; Mass, 2003). Kebijakan politik pemerintah pasca kemerdekaan menggariskan pembangunan pertanian bertujuan untuk mencapai swasembada pangan (dalam hal ini beras). Oleh karena itu, pengembangan rawa yang dimulai tahun 1970-an diprogramkan untuk perluasan areal tanaman pangan. Pemerintah merencanakan pembukaan lahan rawa di Sumatera dan Kalimantan seluas 5,25 juta hektar selama kurun waktu 15 tahun (1968-1984) untuk persawahan pasang surut (Dir Pertanian Rakyat, 1968). Menurut Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1995) jumlah lahan rawa yang dimanfaatkan mencapai 4,18 juta hektar, yang terdiri atas 3,00 juta hektar dibuka oleh masyarakat setempat (yang sebagian besar untuk sawah) dan 1,18 juta hektar dibuka oleh pemerintah diantaranya untuk sawah 688,74 ribu hektar, tegalan 231,04 ribu hektar, 261,09 ribu hektar untuk lain-lain, termasuk tambak. Apabila lahan Proyek PLG Sejuta Hektar di Kalteng dimasukan sebagai lahan yang telah dibuka, maka luas lahan rawa yang telah dibuka mencapai sekitar 5 juta hektar. Namun sayang, sumbangan lahan rawa terhadap peningkatan produksi pertanian, khususnya pangan masih rendah. Lahan gambut dikenal dan ditemukan pertama kali oleh Kyooker, seorang pejabat Belanda pada tahun 1860an yang menyatakan bahwa 1/6 areal wilayah Sumatra ditempati gambut (Notohadiprawiro, 1997). Istilah gambut sendiri pertama kali muncul dan kemudian umum digunakan oleh di kalangan ilmiawan dan menjadi kosa kata Indonesia sejak tahun 1970 an (Radjaguguk, 2001). Tulisan ini dimaksudkan untuk menguraikan tentang kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan gambut dan kearifan lokal dalam persepektif kesuburan tanah dan konservasi air di lahan gambut. Kearifan lokal yang dimaksudkan di~ini adalah upaya masyarakat setempat berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi dalam rnemantaaikan lahan ~gambut untuk pengembangan pertanian. Boleh jadi cara-cara ini berbeda bahkan bertolak belakang dengan apa yang diinginkan oleh pengetahuan modern. Hal ini boleh jadi karena dilandasi oleh pandanga~ falsafah, misi atau tujuan yang berbeda .:en_US
dc.identifier.isbn978-979-8253-64-5
dc.identifier.urihttps://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/6299
dc.publisherBalittraen_US
dc.subjectKEARIFAN LOKAL PERSPEKTIF KESUBURAN TANAH KONSERVASI AIR LAHAN GAMBUTen_US
dc.titleKEARIFAN LOKAL DALAM PERSPEKTIF KESUBURAN TANAH DAN KONSERVASI AIR DI LAHAN GAMBUTen_US
dc.typeArticleen_US
Files
Original bundle
Now showing 1 - 1 of 1
Loading...
Thumbnail Image
Name:
13. kearifan lokal dalam prespektif kesuburan tanah dan konservasi air di lahan gambut.pdf
Size:
3.91 MB
Format:
Adobe Portable Document Format
Description:
License bundle
Now showing 1 - 1 of 1
Loading...
Thumbnail Image
Name:
license.txt
Size:
1.71 KB
Format:
Item-specific license agreed upon to submission
Description:
Collections