Browsing by Author "Wibawa, Hendra"
Now showing 1 - 20 of 23
Results Per Page
Sort Options
- ItemCemaran Timbal pada Ternak di TPA Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Susilaningrum, Siwi; Sutopo; Wibawa, Hendra; Arif, Didik; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanSesuai dengan Undang-Undang No.18/2008 tentang pengelolaan sampah yaitu sistem sanitary landfill yaitu perataan, pemadatan, dan penutupan lapisan sampah memerlukan kondisi yang kondusif yaitu salah satunya bebas dari gangguan ternak. Tempat Pembuangan Ahkir (TPA) sampah berisiko tinggi terhadap pencemaran berbagai polutan. Ternak yang digembalakan dan mengkonsumsi limbah atau sampah di TPA akan sangat berbahaya bila ternak tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai sumber pangan manusia. Dilakukan Investigasi dengan tujuan mengetahui ada dan tidaknya logam berat Pb pada sapi yang dipelihara di area TPA Piyungan yang bersifat observasional dengan metode pengambilan sampel darah sapi secara acak, pengisian kuisener dan pengujian laboratorium dengan metode Atomic Absorption Spectrofotometric (AAS). Hasil pengujian 19 sampel darah sapi diperoleh hasil 6 sampel tidak terdeteksi Pb dan 13 sampel terdeteksi Pb (rata-rata 2,69 mg/kg). Selanjutnya dilakukan pemilahan ternak sapi jantan-betina, muda dewasa dan kebebasan dalam memilih pakan. Hasil pengujian kadar Pb dalam darah 14 betina rerata 1,14 mg/kg dan 5 jantan rerata 1,71 mg/kg. Sapi muda (2 bulan - < 2,5 tahun) 5 sampel rerata 2,97 mg/kg dan dewasa (2,5 tahun - 10 tahun) 10 sampel 0,686 mg/kg. Terakhir, 8 sampel dari kelompok sapi yang pakannya diambilkan dari TPA rerata 1,67 mg/kg dan 11 sampel dari kelompok sapi yang digembalakan di TPA rerata 1,013 mg/kg. Hasil investigasi menunjukkan bahwa sapi-sapi yang memakan sampah terdeteksi kandungan Pb melebihi standart Maksimum Residu Limit (MRL) WHO 0,10 mg/kg dan standart MRL Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) 1,0 mg/kg. Perlu penelitian lebih lanjut tentang distribusi logam berat Pb dalam berbagai jaringan tubuh ternak yang digembalakan di TPA dan dilakukan penyuluhan kepada warga yang bertempat tinggal di area TPA tentang bahaya logam berat bagi kesehatan dan perlu dilakukan bimbingan teknis pemeliharaan sapi yang lebih baik.
- ItemDeteksi Deoxyribonucleic Acid (DNA) Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) dengan Teknik Realtime Polymerase Chain Reaction (PCR) pada Sampel Semen Sapi dan Embrio Tahun 2019(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Famia, Zaza; Lestari; Nurbintara, Muhammad Ridwan; Wibawa, Hendra; Pramastuti, Ira; Yuanita, Vika; Mulyawan, Herdiyanto; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanPenyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) disebabkan oleh infeksi virus bovine herpes virus 1 (BHV-1). Virus ini masuk dalam famili Herpesviridae yang memiliki untai dasar double stranded deoxyribonucleic acid (DNA) dan memiliki glikoprotein utama (glikoprotein B (gB), gC dan gD). Tujuan penelitian ini untuk mendeteksi DNA virus IBR pada sampel semen sapi dan embrio sapi sebagai upaya pengamanan dan pengendalian penyakit hewan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perbibitan sehingga dapat diperoleh benih dan bibit ternak yang berkualitas dan bebas dari penyakit IBR. Jenis sampel terdiri dari 256 sampel semen dari UPT BIB Singosari, dan BIBD Pakem Kabupaten Sleman, dan 37 sampel embrio dari BET Cipelang Kabupaten Bogor hasil surveilans aktif tahun 2019. Pengujian dilakukan dengan teknik realtime polymerase chain reaction (PCR) menggunakan gen glikoprotein B (gB). Teknik ini lebih cepat dan mudah sehingga akan mampu mendeteksi keberadaan virus IBR yang bersifat laten secara dini. Hasil uji realtime PCR IBR pada 256 sampel semen dan 37 embrio diperoleh 5 sampel semen (1,95%) positif IBR, sedangkan sampel embrio semua hasil negatif IBR. Kesimpulan yang didapat bahwa sampel semen terdeteksi BHV-1 dengan teknik realtime PCR IBR dan sampel embrio tidak terdeteksi BHV-1. Saran yang bisa diberikan yaitu UPT Perbibitan hendaknya melakukan pemeriksaan rutin dilakukan untuk sampel semen dan embrio untuk memonitoring dan mencegah penularan penyakit IBR dan sapi–sapi yang ada di UPT Perbibitan hendaknya dihindarkan dari faktor-faktor yang menyebabkan latensi.
- ItemDeteksi Virus Pada Level Family Menggunakan Protokol Predict(Balai Besar Veteriner Maros, 2015) Muflihanah; Fitrahadiyani; Said, Sitti Hartati; Poermadjaja, Bagoes; Wibawa, Hendra; Andhesfas, Ernes; Hartaningsih, Nining; Pamungkas, Joko; Saepuloh, Uus; Idris, Syafrison; RamlanDalam upaya respon cepat dan identifikasi penyakit menular baru yang bisa meniadi ancaman bagi kesehatan manusia maka diperlukan suatu protokol. PREDICT merupakan bagian program Emerging Pandemic Threats (EPD melakukan penelitian yang berfokus pada satwa liar yang paling mungkin membawa penyakit zoonosis. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendeteksi secara dini emerging and re-emerging diseases yang disebabkan oleh virus melalui beberapa target family dan genus pada unggas serta mamalia serta mempelajari kemungkinan adanya interface penularan penyakit dari safwa liar ke temak. Lima belas sampel unggas dan tiga puluh delapan sampel mamalia koleksi Balai Besar Veteriner Maros dideteksi terhadap family Orthomlncovirus (virus Influenza A), Paramixovirus, Coronavirus, Herpesvirus dan Picornavirus (Encephalomyocarditis virus) dengan menggunakan teknik PCR dilanjutkan sekuensing berdasarkan protokol PREDICT. Hasil menunjukkan swab itik Kab.Pinrang (MU9) positif terhadap family orthomlncovirzs virus Influenza A. Deteksi Paramycoviras menunjukkan semua sampel unggas negatif. Sampel mamalia negatif terhadap strain Human Coronavirus dan Bat Coronovirus. Swab hidung babi dari Jayapura Papua (MM5) dan Kab. Maros (MMl3), darah kambing dari Takalar (MM 27) positif terhadap Herpesvirus. Deteksi Picornavirus spesifik Encephalomyocarditis virus ditemukan positif pada swab babi dari Kab.Maros (MM14) dan Kota Manado Sulawesi Utara (MM l8) serta swab sapi Bali dari Bombana Sulawesi Tenggara (MM 22). Hasil sekuensing menunjukkan darah kambing dari Kab.Takalar Sulawesi Selatan memiliki kesamaaan genetik 98-99% dengan virus Caprine herpesvirus tipe 2. Swab nasal babi dari Maros Sulawesi Selatan, Manado Sulawesi Utara serta swab nasal sapi dari Bombana Sulawesi Tenggara didapatkan kesamaan genetik 97% dengan Encephalomyocarditis virus isolat Sing-M105-02. Swab itik dari Pinrang Sulawesi Selatan didapatkan kesamaan genetik 94-98 % Influenza A Virus isolatA/duck/victoria/0305-2/2012 (H5N3 ). Terdeteksinya partial gene penyakit emerging dan re-emerging virus pada sampel ternak yaitu virus Caprine Herpesvirus 2 pada kambing akan mengakibatkan implikasi klinis penyakit Malignant Catarrhal Fever (MCF). Virus Encephalomyocarditis yang ditemukan pada babi dan sapi mengakibatkan implikasi peradangan jantung dan gangguan reproduksi pada babi
- ItemFaktor Risiko Tempat Pemotongan Unggas terhadap Penularan Virus Avian Influenza pada Pasar Unggas Hidup di Provinsi Jawa Tengah(Direktorat Kesehatan Hewan, 2019) Sari, Desi Puspita; Pramastuti, Ira; R, Rina Astuti; Wibawa, HendraLBM atau live bird market merupakan tempat perdagangan unggas hidup beserta produknya mempunyai peranan penting dalam penyebaran penyakit Avian Infl uenza (AI) dan memiliki potensi resiko sebagai sumber penularan AI ke manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara tempat pemotongan unggas yang berada didalam area pasar sebagai faktor penyebab adanya terdeteksinya virus AI di lingkungan LBM. Pengambilan sampel dilakukan tertarget di LBM di 6 kabupaten di Propinsi Jawa Tengah di tahun 2018. Kabupaten yang terpilih adalah Kabupaten Magelang (6 pasar), Kota Magelang (2 pasar), Kabupaten Batang (6 pasar), Kabupaten Pemalang (4 pasar), Kota Tegal (3 pasar), dan Kabupaten Brebes (6 pasar). Sampel swab lingkungan dari LBM dilakukan pengujian realtime reverse transcription-polymerase chain reaction (RT- PCR) AI. Dari 27 pasar yang dikunjungi di kabupaten terpilih, LBM yang memiliki tempat pemotongan unggas didalam area pasar memiliki resiko 2,6 kali lebih tinggi terdeteksi virus AI daripada pasar yang tidak ada tempat pemotongan unggas. Hasil ini menunjukkan bahwa unggas hidup sebaiknya tidak dipotong di dalam LBM sehingga risiko penularan/kontaminasi virus AI bisa dikurangi.
- ItemHasil Investigasi Kasus Kematian dan Penurunan Produksi Telur pada Sentra Peternakan Unggas Komersial di Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta Tahun 2018(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Wibawa, Hendra; Apriliana, Ully Indah; Dharmawan, Rama; Pratamasari, Dewi; Suryanto, Basuki Rochmat; Susanta, Dwi Hari; Farhani, Nur Rohmi; Suhardi; Sari, Desi Puspita; Kumorowati, Enggar; Poermadjaja, BagoesBerbagai permasalahan pernyakit unggas terjadi pada tahun 2017. Walaupun virus Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) H9N2 berhasil diisolasi dari outbreak penyakit penurunan produksi telur pada peternakan layer di awal 2017, terdapat keraguan apakah kasus ini diakibatkan infeksi tunggal virus H9N2 atau ko-infeksi dengan agen lainnya serta dipengaruhi masalah manajemen peternakan. Selain itu, dilaporkan adanya peningkatan kasus kematian pada broiler sejak pertengahan 2017. Investigasi kasus dilakukan Balai Besar Veteriner Wates dengan tujuan untuk mengetahui distribusi kasus di lapangan, penyebab penyakit, dan faktor resiko yang berkaitan dengan penurunan produksi telur dan kematian pada sentra peternakan unggas komersial di Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Metodologi investigasi meliputi pemilihan daerah berdasarkan laporan kasus dan resiko penyakit di daerah populasi tinggi unggas komersial layer, broiler, dan ayam jawa super di 10 kabupaten (Kendal, Semarang, Karanganyar, Sleman, Bojonegoro, Lamongan, Tulungagung, Blitar, Kediri, dan Malang), pengambilan sampel, wawancara dengan peternak, dan uji laboratorium untuk diagnosis dan deteksi agen penyakit, serta identifikasi faktor resiko dengan pendekatan case-control study. Jumlah peternakan yang disurvei sebanyak 58 peternakan komersial Sektor-3, terdiri dari: 35 peternakan layer (550 ekor), 20 broiler (340 ekor), dan 3 jawa super (45 ekor). Definisi kasus ditetapkan berdasarkan tanda klinis: pada layer adalah penurunan produksi telur > 40% dengan atau tanpa disertai kematian; pada broiler dan jawa super adalah gangguan pernafasan, pencernaan, motorik, atau pertumbuhan diikuti kematian > 10%. Teridentifikasi 27 peternakan kasus (case) dan 31 peternakan non-kasus (control). Kasus pada layer terjadi sejak Maret 2017; kematian sporadik pada broiler terjadi pada Juli, September, Desember 2017 dan Januari 2018; dan kematian pada Jawa super terjadi pada November-Desember 2017. Kasus penurunan produksi telur > 40% ditemukan di semua kabupaten, dimana 14 dari 19 kasus pada layer (73.7%) memiliki tanda klinis gangguan pernafasan dan penurunan produksi. Pada broiler dan jawa super, 6 dari 8 kasus penyakit (75.0%) memiliki tanda klinis berak putih, stunting, kesusahan berjalan, dan kematian. Lebih dari 69% unggas layer menunjukkan respon antibodi tinggi (titer HI > 16) terhadap virus ND, AI subtipe H5 (AI-H5), dan AI subtipe H9 (AI-H9). Sebaliknya, proporsi antibodi tinggi terhadap ND, AI-H5, AIH9 pada unggas broiler dan jawa super bervariasi dari 7-51%. Virus AI-H9 tidak terdeteksi di semua peternakan, tetapi virus AI-H5, virus ND, bakteri Mycoplasma gallisepticum, parasit Eimeria sp., perubahan histopatologis inclusion body hepatitis (IBH), kadar protein kasar yang rendah (<18%), dan kandungan aflatoxin yang tinggi (>50 µg/Kg) berhasil dideteksi dari beberapa peternakan dengan tanda-tanda klinis di atas. Hasil ini mengindikasikan bahwa kasus penyakit pada unggas komersial tidak hanya disebabkan oleh infeksi tunggal agen, tetapi lebih bersifat multifaktor, melibatkan beberapa agen dan dipengaruhi kondisi lingkungan/manajemen peternakan. Investigasi lanjutan diperlukan untuk mengetahui apakah antibodi tinggi terhadap H9 disebabkan kekebalan vaksinasi atau akibat paparan infeksi virus AI H9 lapang. Biosekuriti dan manajemen, termasuk perbaikan mutu pakan dan peningkatan kekebalan unggas melalui vaksinasi, perlu ditingkatkan untuk mencegah kasus serupa di masa mendatang.
- ItemIdentifikasi dan Karakterisasi Genetik Virus Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) Subtipe H7N1 dan H10N2 pada Itik dengan Teknik Next Generation Sequencing (NGS)(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Lestari; Wibawa, Hendra; Lubis, Elly Puspasari; Rahayu, Rina Astuti; Pramastuti, Ira; Famia, Zaza; Yuanita, Vika; Mulyawan, Herdiyanto; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanVirus avian influenza (AI) dikategorikan menjadi beberapa subtipe berdasarkan determinan antigen yang terdapat pada protein permukaan hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) yang dimilikinya. Itik termasuk salah satu unggas air yang merupakan reservoir alami virus AI. Semua subtipe virus AI pernah diisolasi dari unggas air tersebut. Namun, penelitian tentang subtipe selain H5N1 dan H9N2 pada itik di Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengarakterisasi secara genetik subtipe virus avian influenza yang diisolasi dari itik yang terdeteksi positif influenza tipe A namun negatif subtipe H5N1 dan H9N2. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel/isolat virus AI asal unggas itik yang telah terdeteksi positif virus influenza tipe A (positif gen matrik) dan negatif subtipe H5 dan H9 dengan pengujian realtime RT-PCR. Multi-segmen konvensional RT-PCR digunakan untuk mengamplifikasi genom virus AI kemudian dilanjutkan sequensing genom utuh virus dengan teknik Next Generation Sequencing (NGS). Analisis hasil sequensing dilakukan dengan software CLC Genomic Workbench. Analisis genetik dan filogenetik menggunakan konstruksi neighbor-joining tree dengan nilai replikasi bootstrap sebanyak 1000 kali menggunakan software Mega v7. Berdasarkan analisis molekuler menunjukkan bahwa gen HA dan NA virus-virus dalam penelitian ini termasuk dalam subtipe H7N1 dan H10N2. Karakterisasi genetik menunjukkan bahwa semua virus memiliki residu asam amino single basic pada HA cleavage site yang mengindikasikan low pathogenic avian influenza (LPAI). Analisis gen internal PB2 menunjukkan bahwa semua virus tidak memiliki substitusi asam amino E pada posisi 627 menjadi K (E237K) mengindikasikan tingkat virulensi yang rendah pada mamalia. Analisis terhadap resistensi obat-obatan antiviral pada gen NA menunjukkan asam-asam amino E119 dan H275 serta pada gen M2 menunjukkan asam-asam amino L26, V27 dan S31 mengindikasikan bahwa virus-virus tersebut sensitif terhadap obat-obatan antiviral. Desain primer-primer baru dalam pengujian PCR untuk mendeteksi virus AI subtype selain H5NI dan H9N2 perlu dikembangkan dan karakterisasi genetik rutin sebaiknya terus dilakukan guna mendeteksi dini semua subtype virus-virus avian influenza yang bersirkulasi di lapangan.
- ItemIdentifikasi Virus Reassortant H5N1 Clade 2.3.2.1C dari Outbreak Highly Pathogenic Avian Influenza pada Unggas di Indonesia Tahun 2015-2016(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Wibawa, Hendra; Dharmawan, Rama; Mulyawan, Herdiyanto; Mahawan, Trian; Srihanto, Eko A; Miswati, Yuli; Hutagaol, Nensy M; Riyadi, Arif; Hartawan, Dinar H.W.; Hendrawati, Ferra; Deswarni; Zenal, Farida C; Hartaningsih, Nining; Poermadjaja, BagoesSalah satu sifat virus avian influenza (AI), termasuk virus dari kelompok ganas atau highly pathogenic AI (HPAI) subtipe H5N1, adalah kemampuan untuk terus berubah melalui mekanisme mutasi (mutation) dan persilangan/reasorsi (reassortment) genetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengkharakterisasi virus-virus H5N1 terkini dengan pendekatan whole genome sequencing dan analisis bioinformatika virus AI. Teknik Next Generation Sequncing (NGS) digunakan untuk sekuensing sampel-sampel yang dikoleksi oleh Balai Besar Veteriner/Balai Veteriner di seluruh Indoesia dari kasus kematian unggas yang meningkat dari Desember 2015-April 2016. Hasil sekuens penuh (full-length) genom virus AI (terdiri dari 8 segmen: PB2, PB1, PA, HA, NP, NA, MP, NS) diblast dalam database genom influenza di Genbank, dilanjutkan analisa filogenetik, dan kharakterisasi asam-asam amino yang berperan dalam patogenesis virus HPAI. Hasil studi menunjukkan bahwa reassorsi genetik teridentifikasi pada beberapa segmen gen internal (PB2, M dan NS) dari virus H5N1 yang saat ini dominan ditemukan pada unggas di Indonesia (clade 2.3.2.1) dengan virus H5N1 yang dideteksi sebelumya (clade 2.1.3.2). Selain itu juga terdeteksi adanya virus-virus reassortant HPAI H5N1 Clade 2.3.2.1 yang memiliki segmen gen internal PB2 yang diduga berasal dari virus low pathogenic AI (LPAI). Hasil ini mengindikasikan adanya sirkulasi bersama beberapa virus AI dari jenis clade dan subtipe yang berbeda-beda sebelum terjadi peningkatan outbreak HPAI pada awal 2016, yang berdampak terjadinya infeksi campuran (co-infection) pada satu spesies inang sehingga menghasilkan virus-virus reassortant. Surveilans pada aras molekuler sangat dibutuhkan untuk terus memonitor perkembangan evolusi virus AI di Indonesia
- ItemInvestigasi Kasus dan Identifikasi Faktor Risiko Kematian Ternak di Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur, Desember 2018-Januari 2019(Direktorat Kesehatan Hewan, 2019) Susilaningrum, Siwi; Mukhtar, Imam; Wibawa, Hendra; Prasetya, Rahendra; Sutopo; MaryonoInvestigasi kasus penyakit telah dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Wates menindaklanjuti laporan kematian kematian ternak (sapi potong dan kambing) Desa Soko Kec. Tikung, Desa Katemas, Kec. Kembangbahu dan Desa Gedangan, Kec. Sukodadi, Kabupaten Lamongan. Tujuan investigasi adalah mengetahui penyebab kematian dengan mengumpulkan data dan informasi, melakukan pengambilan dan pengujian sampel, mengindentifi kasi kemungkinan faktor risiko. Sebagai unit epidemiologi adalah pemilik ternak sapi/kambing. Pendekatan sampling menggunakan studi kasus-kontrol, dimana diperoleh dari 11 peternakan kasus dan 15 peternakan kontrol. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan negatif anthraks, tetapi pada pengujian residu pestisida kualitatif ditemukan positif (organofosfat, organoklorin dan karbamat) pada sampel darah, isi rumen, dan tanah dari beberapa peternak yang mati ternaknya dengan tanda klinis di atas. Berdasarkan hasil penyidikan, kemungkinan sumber keracunan berasal dari pakan hijauan yang tercemar pestisida. Hasil analisa kuantitatif menunjukkan bahwa ternak yang diberi pakan hijauan segar dari sawah memiliki risiko keracunan pestisida 8.8x lebih tinggi (95% CI: 0.6-133.6) dibanding ternak yang tidak mengkomsumsi hijauan dari sawah. Sebagai tindak lanjut hasil investigasi perlu dilakukan sosialisasi, bimbingan dan pengawasan penggunaan pestisida yang tepat dan benar sesuai dosis aturan dan tidak berlebihan baik dalam jumlah/volume dan frekuensi penggunaan. Petani diminta untuk memberikan tanda pada sawah yang dimana pestisida digunakan dan peternak sebaiknya tidak mengambil hijauan dari sawah tersebut.
- ItemInvestigasi Kematian Ternak Ruminansia Akibat Antraks di Kecamatan Ponjong Gunungkidul Januari 2020(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Ruhiat, Endang; Susanta, Dwi Hari; Wibawa, Hendra; Poermadjaja, Bagoes; Handoko, Anton; Ludiro, Agung; Triana, Nanik; Nugraha, Devi Ardi; Direktorat Kesehatan HewanTelah terjadi kematian sapi dan kambing pada tanggal 16 sampai dengan akhir Desember 2019 di Dusun Ngrejek Wetan dan Ngrejek Kulon, Desa Gombang, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul. Kematian ternak tersebut terjadi secara beruntun dalam waktu yang berdekatan. Investigasi dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Wates (BBVet) dan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul pada tanggal 3 dan 4 Januari 2020. Investigasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab kematian ternak, mengetahui pola penyebaran penyakit dan identifikasi faktor risiko yang berperan dalam menimbulkan kejadian penyakit tersebut. Desain studi yang digunakan yaitu kasus kontrol. Definis kasus yang ditetapkan yaitu sapi dan kambing dengan gejala klinis kejang-kejang, ambruk dan dipotong paksa dengan hasil uji laboratorium terhadap sampel tanah dari lokasi penyembelihan positif Bacillus anthracis. Sedangkan unit epidemiologinya yaitu peternak. Metode uji laboratorium yang dilakukan yaitu uji ‘gold standard’ yaitu dengan metode kultur pada media agar darah dan pewarnaan polychrome petheylen blue sedangkan analisa data dilakukan secara deskriptif dan analitik. Jumlah ternak yang mati sebanyak 3 ekor sapi dan 6 ekor kambing. Sampel yang diuji berupa sampel tanah yang diperoleh dari lokasi pemotongan dan penguburan ternak. Mortalitas ternak sebesar 4,5% (level dusun). Hasil perhitungan odds ratio (OR) faktor risiko jenis ternak, jenis pakan, pengetahuan, perlakuan terhadap ternak sakit yang dipotong dan jika ternak mati dilaporkan tidak memiliki hubungan bermakana dan signifikan terhadap terjadinya kasus antraks. Kematian ternak disebabkan agen penyakit bakteri B. anthracis. Sumber infeksi berasal dari ternak baru (kambing) yang dibeli di pasar hewan tanpa dilakukan tindakan karantina terlebih dahulu dan faktor risiko penyebaran antraks terbatas disebabkan adanya aktivitas peternak/masyarakat yang melakukan penyebelihan ternak sakit dan mati mendadak tanpa pengawasan petugas berwenang (dokter hewan).
- ItemInvestigasi Outbreak Antraks di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul, Mei Tahun 2019(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Widyastuti, Laksmi; Farhani, Nur Rohmi; Handoko, Anton; Sutopo; Wibawa, Hendra; Widyastuti, Retno; Direktorat Kesehatan HewanTelah dilaporkan kasus kematian sapi di Dusun Grogol, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta pada tanggal 8 Mei 2019 dengan tanda klinis pembesaran organ limpa. Pada tanggal 09 Mei 2019, petugas Kesehatan Hewan Kabupaten Gunung Kidul melakukan investigasi dan pengambilan sampel darah yang bercampur tanah bekas penyembelihan paksa sapi. BBVet Wates menguji sampel dan hasilnya positif antraks. Kemudian terjadi kematian lagi pada tanggal 21 Mei 2019, menindaklanjuti laporan kematian ini BBVet Wates melakukan investigasi di lokasi kasus tersebut. Investigasi ini bertujuan untuk mengetahui penyebab, mengidentifikasi sumber penularan dan faktor risikonya sehingga dapat memitigasi kasus antraks. Hasil investigasi menunjukkan bahwa penyebab kematian ternak adalah B.anthracis, sumber penularan adalah kontak langsung dengan hewan penderita dan kontak tidak langsung dari tanah yang terkontaminasi bakteri anthrax dari penyembelihan sapi yang terinfeksi, dan faktor risiko adalah pemasukan ternak baru dari pasar hewan dan penyembelihan ternak terinfeksi. Untuk mencegah terjadinya kasus serupa sebaiknya dinas terkait memberikan edukasi kepada peternak dan pedagang untuk tidak membeli dan menyembelih ternak sakit serta melaporkan kasus yang dijumpai ke petugas kesehatan hewan terdekat.
- ItemKasus Kematian pada Kambing Senduro Akibat Goiter di Kabupaten Malang Jawa Timur(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Pratamasari, Dewi; Kumorowati, Enggar; Wibawa, Hendra; Sutopo; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanPada bulan Juli tahun 2019, Balai Besar Veteriner Wates menerima rujukan sampel dari laboratorium Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Malang berupa organ fetus anak kambing Senduro. Sejarah penyakit yang ditemukan antara lain abortus pada usia kebuntingan 2 - 3 bulan, kematian fetus dan anak kambing sampai 20 ekor selama kurun waktu kurang lebih 4 bulan dengan tanda klinis hipertrofi kelenjar tiroid. Populasi keseluruhan kambing yang dipelihara adalah 154 ekor. Kasus tersebut telah terjadi dalam dua periode waktu yaitu pada tahun 2014 dan tahun 2019. Komposisi pakan pada tahun 2014 adalah biji kangkung, bekatul, pollard, bungkil kelapa sawit, tepung ketela pohon, ampas kecap. Komposisi pakan pada tahun 2019 adalah pollard, bungkil kopra, bungkil kedelai, empok jagung, DDGS/Gluten, mineral. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui diagnosa penyebab kematian pada anak kambing Senduro melalui pengujian histopatologi di Balai Besar Veteriner Wates. Hasil pemeriksaan histopatologi pada organ anak kambing betina menunjukkan deskuamasi sel epitel kelenjar tiroid. Pada organ anak kambing jantan menunjukkan hasil serupa yaitu deskuamasi sel epitel tiroid dan deplesi koloid folikel. Sedangkan pada organ lain yaitu esofagus, intestinum, trakhea, jantung, paru, ginjal dan hepar normal. Dari hasil pemeriksaan ini dapat didiagnosa bahwa telah terjadi Hyperplasia Thyroid atau sering disebut Goiter pada anak-anak kambing yang diperiksa. Jenis bahan pakan yang dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia tiroid adalah pakan yang mengandung thiosianat, antara lain adalah kembang kol, biji rami, lobak, dan kangkung. Pemberian biji kangkung dalam komposisi konsentrat pakan kambing yang diperiksa dapat menjadi predisposisi terjadinya defisiensi yodium sehingga mengakibatkan hiperplasia tiroid pada anak kambing yang dilahirkan. Faktor faktor lain seperti stress pada kehamilan dan menyusui juga dapat menyebabkan hiperplasia tiroid. Sebagai pencegahannya bisa dilakukan dengan pemberian kalium iodida pada induk betina yang bunting dan perbaikan komposisi pakannya.
- ItemKasus Pertama Low Pathogenic Avian Influenza Subtipe H9N2 pada Peternakan Ayam Petelur di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan Indonesia(Balai Besar Veteriner Maros, 2017) Muflihanah; Andesfha, , Ernes; Wibawa, Hendra; Zenal, Farida Camallia; Hendrawati, Ferra; Siswani; Wahyuni; Kartini, Dina; Rahayuningtyas, Irma; Hadi, Sulaxono; Mukartini, Sri; Poermadjaja, Bagoes; Rasa, Fadjar Sumping Tjatur; RamlanLow pathogenic avian influenza subtiype H9N2 virus pertama kali didiagnosa pada peternakan ayam layer di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Indonesia pada Desember 2016 dengan gejala klinis berupa gangguan pada saluran pernafasan yang ditandai dengan muka bengkak, sesak nafas, discharge dari hidung, kurang nafsu makan dan feses berwarna kehijauan. Kejadian penyakit terjadi dalam kurun waktu 3 – 14 hari dengan tingkat mortalitas rata-rata dibawah 5 % dan terjadi penurunan produksi telur sebanyak 50 - 80%. Dari hasil pengujian laboratorium dengan real time PCR menunjukkan positif Avian Influeza Type A, negatif subtype H5 dan H7 serta positif H9. Hasil isolasi virus pada Telur Embrio Bertunas (TAB) dengan uji rapid aglutinasi hasilnya tidak mengaglutinasi sel darah merah. Hasil histopatologi pada jaringan organ menunjukkan hasil suspect terhadap virus. Pengujian laboratorium dengan menggunakan teknik isolasi virus dan real time PCR. Dari isolasi virus setelah dilakukan penanaman di telur embrio, menunjukkan terjadi kematian embrio, seluruh organ embrio mengalami pendarahan, tetapi cairan allantois tidak mengaglutinasi sel darah merah ayam. Kemudian cairan allantois diambil untuk pengujian real time PCR menunjukkan hasil positif tipe A, negatif H5, negatif H7 dan positif H9. Hasil Sequencing terhadap tiga isolat A/Chicken/Sidrap/07161511-1/2016, A/Chicken/Sidrap/07161511-61/2016, A/Chicken/Sidrap/07170094-44OA/2017 memiliki kesamaan genetik 98% H9N2. Hasil pohon filogentik menunjukkan sampel yang diuji nampak dari kelompok atau lineage Asia Y280-H9N2
- ItemKasus Pertama Low Pathogenic Avian Influenza Subtipe H9N2 pada Peternakan Ayam Petelur di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan Indonesia(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Muflihanah; Andesfha, Ernes; Wibawa, Hendra; Zenal, Farida Camallia; Hendrawati, Ferra; Siswani; Wahyuni; Kartini, Dina; Rahayuningtyas, Irma; Hadi, Sulaxono; Mukartini, Sri; Poermadjaja, Bagoes; Rasa, Fadjar Sumping TjaturLow pathogenic avian influenza subtiype H9N2 virus pertama kali didiagnosa pada peternakan ayam layer di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Indonesia pada Desember 2016 dengan gejala klinis berupa gangguan pada saluran pernafasan yang ditandai dengan muka bengkak, sesak nafas, discharge dari hidung, kurang nafsu makan dan feses berwarna kehijauan. Kejadian penyakit terjadi dalam kurun waktu 3 – 14 hari dengan tingkat mortalitas rata-rata dibawah 5 % dan terjadi penurunan produksi telur sebanyak 50 - 80%. Dari hasil pengujian laboratorium dengan real time PCR menunjukkan positif Avian Influeza Type A, negatif subtype H5 dan H7 serta positif H9. Hasil isolasi virus pada Telur Embrio Bertunas (TAB) dengan uji rapid aglutinasi hasilnya tidak mengaglutinasi sel darah merah. Hasil histopatologi pada jaringan organ menunjukkan hasil suspect terhadap virus. Pengujian laboratorium dengan menggunakan teknik isolasi virus dan real time PCR. Dari isolasi virus setelah dilakukan penanaman di telur embrio, menunjukkan terjadi kematian embrio, seluruh organ embrio mengalami pendarahan, tetapi cairan allantois tidak mengaglutinasi sel darah merah ayam. Kemudian cairan allantois diambil untuk pengujian real time PCR menunjukkan hasil positif tipe A, negatif H5, negatif H7 dan positif H9. Hasil Sequencing terhadap tiga isolat A/Chicken/Sidrap/07161511-1/2016, A/Chicken/ Sidrap/07161511-61/2016, A/Chicken/Sidrap/07170094-44OA/2017 memiliki kesamaan genetik 98% H9N2. Hasil pohon filogentik menunjukkan sampel yang diuji nampak dari kelompok atau lineage Asia Y280-H9N2.
- ItemKeracunan Senyawa Protiophos dan Nemachur pada Entok di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Tahun 2018(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Widyastuti, Laksmi; Sutopo; Zunarto, Sugeng; Wibawa, Hendra; Direktorat Kesehatan HewanTelah dilaporkan kasus kematian entok di Dusun Gading, Desa Gading, Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen, Propinsi Jawa Tengah oleh petugas Poskeswan Gading pada tanggal 22 Januari 2018. Menindaklanjuti laporan ini, investigasi dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Wates pada Tanggal 22 Januari 2018. Tujuan investigasi adalah untuk mengetahui penyebab kematian entok di daerah tersebut. Diperoleh informasi bahwa sehari sebelum kematian, peternak memberikan entok dengan pakan bekatul, lompong, jagung dan sawi. Sebagian besar kematian terjadi pada entok muda umur 3-4 bulan dengan total kematian 32 ekor. Dalam investigasi kasus kematian entok ini, Tim BBVet Wates melakukan pengambilan sampel hewan, antara lain : karkas hewan mati, swab kloaka, swab trachea, isi tembolok, pakan basah, pakan dalam tembolok, pakan kering (bekatul dan jagung), pakan sawi, pakan lumbu, air minum, dan air PAM. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan paru paru entok mengalami pneumonia serta otak mengalami kongesti dan perivaskular cuffing. Hasil pemeriksaan laboratorium kesmavet dengan teknis Gas-Chromatography terdeteksi positif senyawa kimia pestisida jenis nemachur dan protiophos pada hati dan usus. Dari hasil laboratorium dan gejala klinis yang ditunjukkan penyebab utama kematian entok adalah keracunan pestida jenis nemachur dan protiophos yang berasal dari pakan dan air yang tercemar pestisida tersebut.
- ItemPendekatan One Health dalam Mendukung Investigasi dan Identifikasi Faktor Resiko Kejadian Leptospirosis di Wilayah Kerja BBVet Wates(Direktorat Kesehatan Hewan, 2019) Rochmadiyanto; Padyastuti, Sri; Handayani, Tri; Wibawa, HendraLeptospirosis adalah salah satu penyakit yang sering tidak terdiagnosis dan tidak dilaporkan di negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia. Salah satu daerah endemis Leptospirosis di Indonesia adalah di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Pada tahun 2018 di kabupaten ini terjadi leptospirosis pada manusia sebanyak 92 kasus 24 diantaranya berakibat fatal. Dalam kurun JanuariFebruari 2019 kembali dilaporkan 18 kasus leptospirosis dan 5 orang diantaranya meninggal dunia.. Keberadaan ternak ruminansia sering dikaitkan dengan kejadian leptospirosis pada manusia. Oleh karena itu dilakukan investigasi dengan tujuan untuk mengetahui peranan ternak ruminansia dalam penularan leptospirosis pada manusia, serta menganalisis faktor risiko lingkungan dan perilaku yang mempengaruhi kejadian leptospirosis. Penelitian ini menggunakan desain studi observasional kasus kontrol (case-control study) dengan menggunakan unit epidemiologi individu/orang dan kasus didefi nisikan sebagai individu yang menunjukkan tanda klinis penyakit dan hasil uji laboratorium positip leptospirosis. Dari defi nisi ini, terpetakan 9 individu kasus dan 37 individu kontrol.. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan pengukuran dilanjutkan analisis diskriptif dan analitik. Hasil investigasi menunjukkan 39% penderita tinggal di daerah yang sering banjir/tergenang air jika hujan; 43% penderita mempunyai ternak ruminansia, 71% penderita beraktifi tas sehari-hari di sungai dan 50% penderita kontak dengan tanah yang tercemar urin ruminansia. Kepemilikan ternak tidak terkait dengan leptospirosis (Odds Ratio/OR: 0.3, 95%CI: 0.1-4.3, p value=0.369). Dengan analisi univariat, beberapa faktor resiko memiliki keterkaitan yang signifi kan dengan leptospirosis pada manusia, antara lain: Lingkungan yang mengalami banjir/terendam air setelah hujan (OR: 8,3 [95%; CI:0,88-19,6; p value=0,018]), aktifi tas harian di sungai (OR= 21.87 9[5%; CI:3.14-152.05; p value=0,001]) dan kontak dengan tanah yang tercemar urin ruminansia merupakan faktor resiko leptospira (OR:10,3 [95%; CI:0,5911,5; p value=0,05]) dan ternak yang terdeteksi positif leptospirosis (OR:10.2 [95%CI 0.81-129.5;p=0.09]) Selanjutnya analisis multivariat menunjukkan bahwa risiko tinggi tertular leptospirosis bagi individu yang memiliki riwayat kontak dengan tanah yang tercemar urin ruminansia (OR=9.66; [95%, CI: 1.6656.17; p=0,001]) dan risiko semakin meningkat jika ternak positif leptospirosis (OR:47.32 [95%CI: 1.701315.43]). Resiko penularan dapat dikurangi jika individu menggunakan alat pelindung kerja (univariat OR: 0.3; [95% CI: 0.7-1.4]) dan multivariat OR: 0.5; [95% CI: 0.7-3.4]). Kepemilikan ternak ruminansia bukan merupakan faktor resiko penularan leptospira, tetapi resiko akan meningkat apabila ternak terinfeksi leptospitosis dan pemilik ternak pemilik ternak lalai dalam penggunaan alat pelindung diri saat berinteraksi dengan ternak atau saat membersihkan tanah dan kotoran ternak yang tercemar. Dibutuhkan upaya yang besar dan serius secara komprehensif untuk menurunkan kejadian leptospirosis melibatkan antar sektor yaitu kesehatan, veteriner/peternakan dan sosial.
- ItemPeneguhan Diagnosa dengan Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sekuensing DNA terhadap Temuan Patologi Inclusion Body Hepatitis (IBH) pada Kasus Kematian Broiler di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta(2019) Famia, Zaza; Pratamasari, Dewi; Wibawa, Hendra; Sulistyorini, Dwi; Poermadjaja, BagoesPenyakit Inclusion Body Hepatitis (IBH) disebabkan oleh infeksi Fowl adenovirus (FAdVs). Virus ini masuk dalam kelompok Avian Adenovirus I (AAV-I) yang memiliki 12 serotype (1-11) dan 5 spesies group (A-E). Telah dilaporkan kasus kematian di atas 10% di salah satu peternakan unggas ayam pedaging (brioler) di Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta pada bulan April Tahun 2018. FAdVs diduga sebagai salah satu agen penyakit yang menyebabkan kasus kematian pada broiler disertai perubahan anatomi jaringan terutama pembesaran hati dan ciri patologis inclusion body hepatitis (IBH) sehingga sering disebut sebagai virus IBH. Dugaan ini berdasarkan keterangan peternak, pengamatan gejala klinis dan penilaian pola kematian oleh dokter hewan dinas, serta hasil pemeriksaan patologi anotomi dan histopatologi di Laboratorium Patologi, BBVet Wates. Namun, data dan hasil pengamatan/pemeriksaan ini perlu dikonfi rmasi dengan pengujian yang lebih mendekati ketepatan diagnosa, salah satunya dengan uji biologi molekuler polymerase chain reaction (PCR). Teknik PCR dengan menggunakan primer-primer spesifi k yang digunakan untuk deteksi gen penyandi antigen permukaan (Hexon) dari FAdVs. Sampel yang diuji berasal dari kiriman petugas Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan) Galur dari Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kulon Progo. Sampel yang dikirim berupa organ/jaringan dari ayam broiler yang menderita sakit atau baru saja mati, antara lain organ: hati, proventriculus, gizzard, ginjal, dan usus yang diambil dari kasus kematian unggas broiler di Desa Banaran, Kecamatan Galur. Hasil pengujian PCR dari organ-organ tersebut menunjukkan produk amplifi kasi dari primer-primer Hexon yaitu pita/band DNA spesifi k dengan panjang kurang lebih 897-bp. Produk PCR berhasil disekuensing dan hasil blast analysis menunjukkan positif FAdV Group E Serotipe 8b. Hasil ini meneguhkan pemeriksaan sebelumnya yang telah mendiskripsikan perubahan anatomi dan histologi (patologi dan histopatologi) organ hati yang mencirikan penyakit IBH.
- ItemProfiling Peternakan Babi yang Berisiko Tertular Penyakit African Swine Fever di Wilayah Kerja Balai Besar Veteriner Wates(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Irianingsih, Sri Handayani; Wibawa, Hendra; Rochmadiyanto; Suryanto, Basuki Rochmat; Direktorat Kesehatan HewanKejadian penyakit African swine fever sejak akhir tahun 2019 di Provinsi Sumatera Utara menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Aspek biosekuriti dan manajemen pemeliharaan ternak merupakan hal penting dalam pemantauan penyakit di daerah berisiko. Tujuan profiling adalah untuk mengetahui profil peternakan babi yang mempunyai risiko tertular penyakit ASF. Profiling peternakan babi telah dilakukan pada 151 peternak babi di 11 kabupaten di 3 provinsi wilayah kerja BBVet Wates pada bulan Januari 2020. Metoda yang digunakan adalah mengisi kuisioner melalui wawancara peternak dan menganalisis data secara deskriptif. Hasil analisis menunjukkan bahwa 57% peternak memiliki populasi kurang dari 50 ekor sedangkan populasi lebih dari 1000 ekor hanya 9%. Sebesar 67% peternakan babi di wilayah kerja BBVet Wates menggunakan pakan sisa, dengan 7% merupakan produk babi dan 85% pakan sisa tidak dimasak. Hampir semua peternak menjaga kebersihan kandang, minimal 1 kali sehari sebesar 90%. Sebagian besar peternak belum melakukan penyemprotan kandang menggunakan desinfektan (81%). Sebesar 49% peternak melakukan pembelian bibit ternak dari luar farm, dan 24% yang mempunyai pedagang mensuplai bibit secara rutin. Rerata penjualan babi meningkat pada bulan Desember – Januari dengan daerah pemasaran kota-kota besar. Profil peternakan babi di wilayah kerja BBVet Wates yang menggunakan pakan sisa dan implementasi biosekuriti dalam manajemen pemeliharaan rendah mempunyai risiko tertular penyakit ASF.
- ItemProporsi Penyakit Hewan Menular di Unit Pelayanan Teknis Perbibitan Wil.Ker BBVET Wates, Tahun 2015-2020(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Susilaningrum, Siwi; Imran, Kuswari; Wibawa, Hendra; Parmini, Tri; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanSesuai dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, definisi bibit adalah hewan yang mempunyai sifat unggul dan mewariskan serta memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan. Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha perbibitan dan atau pembenihan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan/ atau bakalan. Selanjutnya, Menteri Pertanian menerbitkan Permentan Nomor 36/Permentan/OT.140/8/2006 tentang sistem perbibitan nasional yang menjamin tersedianya bibit ternak yang memenuhi kebutuhan dalam hal jumlah, standar mutu, syarat kesehatan, syarat keamanan hayati, serta terjaga keberlanjutan yang dapat menjamin terselenggara usaha budidaya peternakan. Dari hasil pengujian dari tahun 2015-2019 diperoleh rerata prevalensi brucellosis, anthraks, trichomonosis, Septicaemia Epizootica (SE) dan Camphylobacter sp. 0%, ParaTb 1,14%, IBR 59,64%, BVD 0.40%, nematoda 19,7%, coccidia 12,2%, Cestodosis 0,942%, fasciolosis 0,23%, anaplasmosis 1.72%, theleriosis 7.1%, mikrofilaria 0% dan babesiosis 0,0004%. Data kasus tertinggi penyakit IBR 71,14% (tahun 2019); ParaTB 1.82% (tahun 2017); BVD 0.90% (tahun 2019) ; parasit gastrointestinal nematodosis 32.30% (tahun 2016); coccidiosis 23,29% (tahun 2018); Cestodosis 2,28% (tahun 2018); Fasciolosis 0,68% (tahun 2018); parasit darah anaplasmosis 0,66% (tahun 2018) dan theileriosis 11,47% (tahun 2019). Sedangkan pada anthraks, trichomonosis, Septicaemia Epizootica (SE) dan Camphylobacter sp. masing-masing prevalensi 0%. UPT Perbibitan bekerja sama dengan Balai Veteriner untuk kegiatan surveilans pengamatan kesehatan hewan secara rutin dilakukan. Balai Besar Veteriner Wates selaku unit pelaksana teknis kesehatan hewan sudah melakukan surveilans pengamatan kesehatan hewan UPT Perbibitan di wilayah kerjanya dengan metode pengambilan sampel darah, serum, feses, swab nasal, preputium wash dan vagina wash, pengujian laboratorium terhadap sampel yang diperoleh dan pengumpulan data pengujian terhadap penyakit hewan menular
- ItemProporsi Subtipe dan Clade Virus Avian Influenza dari Hasil Surveilans Berbasis Risiko pada Pasar Unggas Hidup di Kota Surabaya, Tahun 2019(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Sari, Desi Puspita; Wibawa, Hendra; Famia, Zaza; I., Sri Handayani; Direktorat Kesehatan HewanPenelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan gambaran tentang proporsi temuan subtipe dan clade virus AI dari hasil surveilans berbasis risiko pada pasar hidup di Kota Surabaya Tahun 2019. Pada tahun 2019 kegiatan surveilans AI di Pasar Unggas Hidup telah dilaksanakan di Kota Surabaya dengan target jumlah pasar yang disurvei berdasarkan perhitungan simple risk-based sampling menggunakan EpiTools (https://epitools.ausvet.com.au/). Pengambilan sampel swab lingkungan dilakukan sebanyak 2 kali dalam 1 tahun yaitu pada bulan Mei dan Bulan Agustus. Masing-masing sebuah swab lingkungan yang diambil dari setiap pasar unggas hidup berupa swab meja dagang, keranjang, keranjang sampah, meja pemrosesan, pisau/ telenan, kain basah dan mesin pencabut bulu (total 6 swabs) kemudian dipool dalam 1 media transport virus. Sampel selanjutnya akan diuji dan deteksi ada tidaknya virus Influenza Type A, Subtype H5, Subtype H9, Subtype H7, N1, N6, N8 menggunakan teknik realtime reverse transcription PCR (qRT-PCR) di Laboratorium Bioteknologi dan teknik isolasi virus pada telur ayam bertunas di Laboratorium Virologi Balai Besar Veteriner Wates. Sampel swab lingkungan yang diperoleh pada bulan Mei sebanyak 45 pool dan 42 pool pada bulan Agustus. Pada bulan Mei diperoleh hasil bahwa virus AI yang banyak ditemukan di lingkungan pasar unggas hidup di kota Surabaya adalah virus AI subtipe H5 clade 2.1.3 sebanyak 70%, sedangkan pada bulan Agustus banyak ditemukan virus AI subtipe H5 clade 2.3.2 sebanyak 100%. Kejadian AI di lingkungan pasar unggas hidup pada bulan Agustus lebih tinggi dibandingkan bulan Mei, dengan terdeteksinya Influenza type A sebanyak 76% pada bulan Agustus dan 42% pada bulan Mei.
- ItemReasorsi Genetik Virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) H5N1 yang diisolasi dari Itik pada Program Surveilans Avian Influenza Tahun 2017(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Lestari; Pramastuti, Ira; Wibawa, Hendra; Famia, Zaza; Yuanita, Vika; Mulyawan, Herdiyanto; Direktorat Kesehatan HewanVirus highly pathogenic avian influenza (HPAI) subtipe H5N1 berdampak serius pada sektor perunggasan di Indonesia sejak tahun 2003. Virus ini memiliki kemampuan berubah secara cepat melalui mekanisme mutasi (mutation) dan persilangan/reasorsi (reassortment) untuk kelangsungan hidup di dalam tubuh hospesnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter dan persilangan genetik virus HPAI subtipe H5N1 yang diisolasi dari itik. Sampel dikoleksi dari hasil uji PCR positif terhadap virus influenza tipe A yang berasal dari program surveilans avian influenza (AI) pada itik di wilayah kerja Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates tahun 2017. Sampel-sampel yang terdeteksi positif subtipe H5 dari uji realtime reverse transcription PCR (qRT-PCR), dilanjutkan sequensing keseluruhan genom virus dengan teknik Next Generation Sequencing (NGS). Hasil sequencing di’BLAST’ ke dalam virus referensi yang ada di dalam database GenBank, kemudian disusun dan diekstrak secara whole genome didalam software CLC Genomic Workbench. Konstruksi pohon filogenetik dilakukan dengan menggunakan software Mega v7 untuk melihat ada tidaknya reasorsi genetik antar segmen virus (AI). Berdasarkan analisis molekuler pada gen hemagglutinin menunjukkan bahwa virus-virus dalam penelitian ini termasuk kategori HPAI dan memiliki kecenderungan untuk mengikat reseptor dari avian (avian binding receptor). Analisis filogenetik gen HA, NA dan hampir semua gen internal (PB2, PB1, PA, NP, dan NS) menunjukkan bahwa virus-virus yang diteliti termasuk dalam kelompok H5N1 clade 2.3.2.1c. Tetapi, terdapat salah satu virus dengan gen internal M (matrix) berasal dari virus H5N1 clade 2.1.3.2, sedangkan segmen gen yang lain masuk kelompok H5N1 clade 2.3.2.1c. Hal ini menunjukkan telah terjadi reasorsi genetik antara virus H5N1 clade 2.3.2.1c dan clade 2.1.3.2. Surveilans dan karakterisasi avian influenza secara rutin sebaiknya terus dilakukan untuk memonitor dinamika dan keanekaragaman virus yang beredar guna mendukung pengendalian penyakit avian influenza di Indonesia.