Browsing by Author "Sutrisno"
Now showing 1 - 13 of 13
Results Per Page
Sort Options
- ItemDeskripsi Konstruk Gen Dalam Vektor Transformasi Tanaman Hasil Penelitian BB Biogen Periode 2006-2013(IAARD Press, 2015) Santoso, Tri Joko; Trijatmiko, Kurniawan Rudi; Apriana, Aniversari; Sisharmini, Atmitri; Enggarini, Wening; Polosoro, Aqwin; Sutrisno; Mulya, KardenPenamaan konstruk gen yang telah berhasil dirakit oleh BB Biogen selama periode 2006–2013 menggunakan nama Biogen diikuti oleh nomor konstruk gen yang merupakan urutan waktu dalam perakitannya, yaitu pBIOGEN-001 sampai pBIOGEN-017. Berdasarkan deskripsi konstruk gen yang telah disusun diharapkan akan mempermudah di dalam pemanfaatan konstruk gen tersebut untuk penelitian rekayasa genetik dengan tujuan yang diinginkan. Rekayasa genetik untuk menghasilkan tanaman tomat transgenik untuk ketahanan terhadap virus keriting daun dapat menggunakan konstruk gen seperti pBIOGEN-004. Sementara untuk perakitan tanaman transgenik agar mempunyai toleransi terhadap cekaman abiotik seperti kekeringan dapat menggunakan konstruk gen pBIOGEN-002. Untuk perakitan tanaman transgenik dengan konstruk gen untuk tujuan yang lain dapat melihat secara lengkap informasi deskripsi konstruk gen yang dijelaskan dalam buku ini.
- ItemThe Development of Insect-resistant Plants through Biotechnology(Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, 2001) Sutrisno; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianPembentukan Tanaman Tahan Serangga Hama melalui Bioteknologi. Sutrisno. Sejumlah tanaman tahan serangga hama telah ditanam di seluruh dunia sejak beberapa waktu yang lalu. Pembentukan tanaman tahan serangga hama akan terus berlanjut untuk mengantisipasi timbulnya serangga hama biotipe baru dan pergeseran status serangga hama utama. Bioteknologi menawarkan alat ampuh untuk digunakan dalam pembuatan tanaman tahan serangga hama secara komplemeter dengan metode konvensional. Alat bioteknologi itu ialah kultur anter, fusi protoplas, kultur embrio, variasi somaklonal, seleksi dibantu. markah, dan transformasi genetik. Pilihan tiap alat itu dapat didasarkan pada banyak alasan antara lain efisiensi, kecepatan, kepastian, dan asal gen-gen ketahanan. Tanaman tahan serangga hama dihasilkan dari pendekatan konvensional atau bioteknologi mungkin menyebabkan efek serupa daiam pembentukan serangga hama biotipe baru.
- ItemKarakterisasi Virulensi dan Molekuler Wereng Batang Coklat (Nilaparvata Lugens [Stål])(Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2015-10) Chaerani; Yuriyah, Siti; Dadang, Ahmad; Damayanti, Diani; Kusumanegara, Kusumawaty; Trisnaningsih; Bahagiawati; Sutrisno; Balai Besar Penelitian Tanaman PadiWereng batang coklat (WBC) mudah beradaptasi pada varietas padi yang mengandung gen ketahanan tunggal terhadap WBC. Ketersediaan marka molekuler yang dapat menentukan virulensi WBC yang berkembang di lapang akan berguna untuk perancangan strategi pelepasan varietas tahan. Penelitian ini bertujuan mempelajari keragaan virulensi dan genetik populasi WBC lapang dan biotipe WBC untuk mengidentifi kasi marka molekuler yang berasosiasi dengan virulensi WBC. Sepuluh populasi WBC asal Provinsi Banten (T2), Jawa Barat (S1), Kalimantan Selatan (B1-B4), dan Sulawesi Selatan (X1, X3-X5); serta terduga ‘biotipe 1’ dan ‘biotipe 2’ diuji virulensinya pada empat varietas diferensial mengandung gen ketahanan yang berbeda terhadap WBC (TN-1 [tanpa gen ketahanan], Mudgo [Bph1], ASD7 [bph2], dan Rathu Heenathi [Bph3]). Hasil pengujian menunjukkan bahwa virulensi B1-B4, X1, dan X3 sudah melebihi biotipe 4; virulensi X4 menyamai biotipe 4; virulensi T2 dan X5 seperti biotipe 3; sedangkan virulensi S1 paling rendah, yakni seperti biotipe 2. Virulensi WBC yang selama ini dipelihara sebagai ‘biotipe 1’ dan ‘biotipe 2’ ternyata telah bergeser, berturut-turut menjadi biotipe 4 dan lebih virulen daripada biotipe 4. Karakterisasi WBC menggunakan 38 primer expressed sequence tag-simple sequence repeat (EST-SSR) polimorfi k terhadap 5 ekor per populasi mendapatkan rata-rata keragaan alelik yang moderat pada koleksi WBC dengan jumlah alel 30 dan nilai polymorphic information content (PIC) sebesar 0,47. Jumlah alel SSR dan nilai PIC yang terdeteksi pada S1 nyata paling rendah (berturut-turut 18 dan 0,38) dibandingkan dengan yang terdeteksi pada populasi lainnya yang lebih virulen (berturut-turut 21–40 dan 0,42–0,52). Plot principal coordinate analysis (PCoA) tidak memperlihatkan adanya korespondensi antara genotipe SSR dengan fenotipe virulensi WBC, sehingga marka molekular yang dapat menentukan virulensi WBC belum diperoleh. Evaluasi marka EST-SSR dan jumlah individu WBC yang lebih banyak serta tersedianya WBC biotipe 1 murni diharapkan dapat meningkatkan peluang ditemukannya marka yang berasosiasi dengan virulensi WBC.
- ItemPedoman penerapan sistem jaminan mutu mangga(Direktorat Budidaya Tanaman Buah, 2002) Sutrisno; Direktorat Budidaya Tanaman Buah
- ItemPengaruh Kapasitas Kerja Terhadap Biaya Pengeringan Gabah Menggunakan Box Dryer(Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2007) Raharjo, Budi; Sutrisno; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian MalukuPada kegiatan pengeringan gabah terdapat kecenderungan bahwa semakin besar kapasitas kerja, maka biaya pengeringan akan semakin menurun. Dengan demikian maka hal tersebut akan berdampak terhadap perolehan keuntungan yang lebih besar. Semakin menurunnya biaya pengeringan tersebut dapat terjadi selain akibat dari semakin optimalnya penggunaan energi termal yang dihasilkan, juga dari biaya tetap yang dapat dimanfaatkan secara efisien. Dari hasil iji coba pengeringan gabah dengan menggunakan box dryer bahan bakar sekam (BBS) di berbagai lokasiu di BB Padi (2003), Batu Rimpang, NTB (2004, 2005), Binong, Jawa Barat (2004, 2006), Upang, Sumatera Selatan (2005), dan Banten (2006) menunjukkan bahwa semakin besar kapasitas kerja, maka penggunaan bahan bakar sekam semakin efisien. Untuk kapasitas kerja sama dengan kapasitas kerja maksimum dari box dryer yaitu sebesar 3 t GKP, 1 kg sekam dapat mengeringkan sekitar 19 kg gabah, namun pada kapasitas kerja yang lebih rendah yaitu sekitar 1.228 kg, maka 1 kg sekam hanya dapat mengeringkan gabah sekitar 7,5 kg. Akibatnya biya pengeringan juga akan mengalami peningkatan. Apabila kapasitas kerja alat sesuai dengan kapasitas kerja maksimum, yaitu sebesar 3 t GKP, maka biaya pengeringan sekitar Rp. 23,07/kg GKP (biaya penjemuran rata-rata dari berbagai lokasi sekitar Rp. 30,00/kg GKP); untuk kapasitas kerja alat sebesar 1.228 kg maka biaya pengeringan gabah akan meningkat menjadi Rp. 60,74/kg GKP. Hal ini akan berpengaruh terhadap besarnya keuntungan yang diperoleh.
- ItemPengelolaan tanaman baru mangga(Direktorat Budidaya Tanaman Buah, 2003) Sutrisno; Direktorat Budidaya Tanaman Buah
- ItemPENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS BAWANG MERAH TERPADU(Direktorat Tanaman Sayuran,Hias dan Aneka Tanaman, 2003) Sutrisno; Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura
- ItemPengeringan Gabah Varietas Muncul (Bentuk Butir Bulat) untuk Mendapatkan Rendemen dan Mutu Beras Giling Tinggi(Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2007) Sutrisno; Raharjo, Budi; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian MalukuPenelitian dilaksanakan di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) di Sukamandi pada bulan Juli 2006. Bahan yang digunakan yaitu gabah varietas Muncul hasil panen di petani daerah Compreng, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada musim panen MK 2006. Gabah kering panen (GKP) sebanyak 800 kg dengan kadar air awal 27,11 % dikeringkan dengan 2 cara yaitu menggunakan mesin pengering box dryer BBM dan penjemuran, masing-masing menggunakan gabah sebanyak 400 kg. Pengeringan dengan mesin menggunakan suhu pengeringan rata-rata 40 °C, kecepatan aliran udara pengering menembus tumpukan gabah sebesar 7,00 m/menit; berlangsung selama 12 jam untuk menurunkan kadar air gabah dari 27,11 % menjadai 12,55 %. Penelitian pengeringan menggunakan metoda pengeringan biji-bijian lapisan tipis; Parameter pengeringan gabah yang diukur antara lain : suhu udara lingkungan meliputi suhu bola kering (Tbk) dan suhu bola basah (Tbb), suhu udara di dalam plenum (Tpl), suhu gabah per lapis, meliputi lapis bawah (TB), lapis tengah (TT), lapis atas (TA); suhu exhaust (Te); kadar air gabah per lapis meliputi gabah lapis bawah (MB), lapis tengah (MT), dan lapis atas (MA). Pengukuran parameter pengeringan tersebut dilakukan setiap jam selama proses pengeringan berlangsung. Untuk penjemuran, menggunakan alas terbuat dari semen, tebal gabah 2-3 cm, dan pembalikan gabah dilakukan setiap 2 jam selama penjemuran berlangsung. Parameter yang diukur yaitu suhu dan kadar air gabah. Proses penjemuran berlangsung selama 10 jam, dengan suhu rata-rata 37,79 °C untuk menurunkan kadar air gabah dari 27,11 % menjadi 13,40 %.Test penggilingan dilakukan setelah gabah kering diistirahatkan selama minimal 12 jam terhitung dari saat pengeringan dihentikan. Test penggilingan menggunakan Rice Milling Unit (RMU) skala komersial, tipe double-pass, milik petani setempat dengan komposisi : Husker-Separator-Polisher. Hasil penelitian menunjukkan bahwa padi varietas Muncul (bentuk butir bulat) mempunyai potensi yang lebih baik terhadap rendemen dan mutu beras giling pada kadar air giling yang lebih tinggi. Pada kadar air giling 13,40 %, rendemen dan mutu beras giling yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan pada kadar air giling yang lebih rendah yaitu 12,55 %. Rendemen dan persentase beras kepala yang dihasilkan pada kadar air giling 13,40 % yaitu berturut-turut 68,47 % dan 65,55 %; sedangkan pada kadar air giling 12,55 % berturut-turut 67,01 % dan 56,74 %.
- ItemPerbedaan Tebal Tumpukan Gabah Terhadap Tingkat Keseragaman Kadar Air Pada Pengeringan Gabah Menggunakan Box Dryer(Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2007) Sutrisno; Raharjo, Budi; Hutapea, Yanter; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian MalukuMesin pengering padi “box Dryer” dikenal mempunyai konstruksi yang sederhana serta mudah dalam pengoperasiannya. Petani dapat membuatnya sendiri dengan bantuan bengkel setempat. Hal ini sangat berbeda dengan mesin pengering padi model lainnya yang umumnya berkonstruksi lebih rumit. Mengeringkan padi dengan menggunakan box driyer tidak memerlukan pembalikan jika tebal tumpukan ≤ 50 cm. Kelemahan utama dari box driyer adalah kadar air gabah yang dikeringkan tidak seragam antar lapisan bawah sampai atas. Namun demikian kelemahan ini dapat diatasi dengan jalan meningkatkan kecepatan aliran udara pengering menembus tumpukan gabah. Semakin cepat aliran udara pengering menembuas tumpukan gabah, maka variasi kadar air antara lapisan atas dan lapisan bawah mnejadi berkurang. Perbedaan kecepatan aliran udara pengering yang dimaksud untuk box dryer dengan blower digerakkan oleh motor listrik, diperoleh dengan cara pengoperasian pengeringan gabah dengan kapasitas kerja yang berbeda-beda atau ketebalan tumpukan gabah yang berbeda-beda. Penelitian dilakukan di bagian Prosessing Balai Besar padi pada bulan Maret 2004. Bahan yang digunakan adalah gabah kering panen (GKP) varietas Fatmawati hasil panen musim hujan 2003/2004. Pengeringan gabah dilakukan dengan tujuan untuk memproduksi benih. Kapasitas kerja mesin terdiri dari 3 macam yaitu 1,672 kg; 1,301 kg; dan 466,5 kg GKP. Mesin pengering yang digunakan adalah box dryer dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan blower digerakkan oleh motor listrik, sehingga kecepatan putarnya konstan. Bak pengering berukuran (p x l x t) 360 x 182 x 100 cm sehingga tebal tumpukan gabah dari ketiga macam kapasitas kerja diatas adalah berturut-turut 48 cm; 38 cm dan 12 cm. Hasil penelitian menunjukan bahwa kecepatan aliran udara pengering menembus tumpukan gabag pada akhir pengeringan adalah berturut-turut : 79 %; 88,3 % dan 91,4 %; pada level kadar air pengering benih berturut-turut : 10,93 % ; 10,43 %; waktu yang diperlukan untuk pengeringan adalah berturut-turut 12 jam; 10 jam dan 8 jam.
- ItemPetunjuk Teknis Budi Daya Porang(Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanain, 2021) Sasmita, priatna; Mastur; Syamsyuri, prayudi; Sundari, titik; Anggara, agus wahyana; Subekti, nuning Argo; Wardana,i putu; Patriyahwati, Nia Romania; Ramadhan, Rizky Prayoga; Radianto, Haryo; Herawaty, Heny; Tabunan, Ika Roosita; Nugrahaeni, Novita; Baliadi, yuliantoro; Utomo, joko Susilo; Koenjoro,Bambang Sri; Indriani, Febria Cahya; Trustinah; Yusnawan, eriyanto; Hapsari, Tri ratri; Amanah, Amri; Mutmaidah, siti; Sutrisno; Sukmaja, Deden; Supriyati, yanti; Purmaningsih, ragapadmi; kamsiati, elmi; Widowati, sri; Soemantri, Agus Supriatna; Usmiati, Sri; Haliza,Winda; Sunarmani; Suryana, Esty Asriyana
- ItemPetunjuk Teknis Budi Daya Porang : Teknologi Budi Daya, Produksi Benih, Perbanyakan Tanaman Secara Kultur Jaringan, dan Pascapanen(Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2021) Sasmita, Priatna; Mastur; Syamsuri, Prayudi; Sundari, Titik; Anggara, Agus Wahyana; Subekti, Nuning Argo; Wardana, I Putu; Patriyawaty, Nia Romania; Ramadhan, Rizky Prayogo; Radianto, Haryo; Herawaty, Heny; Tabunan, Ika Roostika; Nugrahaeni, Novita; Baliadi, Yuliantoro; Utomo, Joko Susilo; Indriani, Febria Cahya; Trustinah; Yusnawan, Eriyanto; Hapsari, Ratri Tri; Mutmaidah, Siti; Sutrisno; Sukmaja, Deden; Supriati, Yati; Purmaningsih, Ragapadmi; Kamsiati, Elmi; Widowati, Sri; Soemantri, Agus Supriatna; Usmiati, Sri; Haliza, Winda; Sunarmani; Suryana, Esty AsriyanaPorang (Amorphophallus muelleri Blume) merupakan komoditas pangan yang potensial dikembangkan di Indonesia karena nilai ekonomi yang dimiliki. Komoditas ini mengandung nutrisi yang bermanfaat bagi kesehatan sehingga prospektif dijadikan sebagai bahan baku industri pangan dan obat-obatan. Peluang ekspor dan pasar produk porang masih terbuka lebar dikaitkan dengan semakin meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan dan pangan fungsional. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan porang diantaranya belum tersedianya benih dalam jumlah memadai dan sebagian besar petani belum mengetahui manfaat dan teknologi budi daya dan pascapanen komoditas porang. Oleh karena itu perlu dukungan dari berbagai pihak, terutama pemerintah, untuk mengatasi permasalahan yang ada sekaligus sosialisasi pengembangan porang. Dari aspek teknis pengembangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah menghasilkan teknologi produksi benih, budi daya, panen, dan pascapanen porang melalui berbagai penelitian.
- ItemSeleksi Biotipe Wereng Batang Coklat (Nilaparvata Lugens Stål)(Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB PADI), 2017) Chaerani; Fatimah; Damayanti, Diani; Dadang, Ahmad; Sutrisno; Bahagiawati; Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB PADI)Wereng batang coklat (WBC) memiliki variasi virulensi yang dikenal sebagai ‘biotipe’. Biotipe WBC murni bermanfaat untuk pengujian ketahanan calon varietas atau galur padi isogenik, dan studi genetik virulensi WBC. Akan tetapi, biotipe WBC yang ada sudah terkontaminasi. Penelitian ini bertujuan membuat biotipe WBC dengan jalan menyeleksi virulensi pada varietas diferensial yang sesuai berdasarkan berat ekskreta embun madu. Tiga sampai empat tahap seleksi virulensi pada varietas Mudgo (mengandung gen ketahanan Bph1) atau ASD7 (bph2), mendapatkan biotipe 1, 2, 3, dan 4 tentatif(t). Konfirmasi virulensi biotipe 1 (t) menggunakan teknik skrining massal dan uji preferensi inang menunjukkan bahwa biotipe1 murni belum diperoleh karena selain TN1 (tidak mengandung gen Bph), varietas Mudgo dan ASD7 ternyata juga diserang dan jumlah nimfa yang menginfestasi ketiga varietas tidak berbeda nyata. Seleksi lanjutan pada varietas penyeleksi yang sesuai akan dilakukan hingga diperoleh biotipe murni.
- ItemSubtitusi Tungku Sekam Tunggal Model "ABC" Pada Box Dryer Untuk Meningkatkan Efisiensi Pengeringan(BBP Mektan, 2003-07-10) SutrisnoSubstitusi tungku sekam tunggal model 'ABC" pada box dryer untuk meningkatkan efisiensi pengeringan. Proses introduksi mesin pengering bantuan pemerintah ke petani pada umumnya belum berjalan secara efektif. Penyebabnya adalah selain mefodenya harus diperbaiki, pengering yang menggunakan BBM tersebut biaya operasinya cukup mahal, terieblh dengan tens meningkatnya harga BBM. Berdasarkan hasfi survei di berbagai wilayah, misal Kabupaten Subang, Jawa Barat (Agustus 2003), Kabupaten Lombok Timur, NTB (November 2003), menunjukkan bahwa ban sebagian mesin pengering dimanfaatkan oleh petani, terutama pada panen padi musim hujan. Alasannya yaitu biaya operasi alat terialu mahal. Di Kabupaten Subang biaya penjemuran berkisar antara Rp.20,- - Rp.30,-/kg GKP sedangkan dengan menggunakan mesin pengering BBM mencapai Rp.60,-/kg GKP atau lebih. Untuk dapat menekan Maya pengeringan dengan mesin, telah dilakukan substitusi tungku tunggal model "ABC" ke dalam mesin pengering tersebut Penelitian ini dilakukan di Balitpa pada tahun 2003, dengan tujuan untuk mendapatkan teknologi pengeringan padi yang dapat menghasilkan mutu dan rendemen beras giling yang tinggi, serta biayanya murah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gabah varietas Ciherang, hash! panen MK 2003, sebanyak 2000 kg dari kadar air 20 % dikeringkan menjadi 12,37 % dalam waktu 9 jam. Proses pengeringan beriangsung pada suhu 43 °C, kecepatan aliran udara pengering dalam gabah 7,13 rn/menit, dengan laju pengeringan rata-rata 0,85 dam. Biaya pokok pengeringan gabah dengan menggunakan pengering tungku tunggal sebesar Rp.22,55/kg GKP. Mutu beras giling yang diperoleh (% beras kepala) 80,07 %, dan rendemen beras gilingnya 66,47 %. Dad penjemuran, % beras kepala 60,51 %, dan rendemen beras giling 64,27 %.