Browsing by Author "Rumbarar, Merlin K."
Now showing 1 - 7 of 7
Results Per Page
Sort Options
- ItemEffect of sucker weight and seedling site on the growth of sago seedlings (Metroxylon sago Rottb.) in Papua(IOP Publishing, 2021-01-01) Soplanit, Alberth; Rumbarar, Merlin K.; Beding, Petrus; IOPThis study aims to obtain sucker weight and appropriate seedling site as a source of sago seeds by using seedling techniques in polybags to improve seed quality on sago cultivation. The experiment used a factorial design arranged in a randomized block design with three replications. Factor A, namely sucker weight, consisted of <999 g, 1000-1499 g, 15001999 g and > 2000 g. Factor B is the seedling site, consisting of laying seeds in the field, greenhouse and paranet of 60%. The results of the study showed that there was no interaction between the sucker weight combined with the seedling site, but the sucker weight had a significant effect on the number of rachis and the number of primary roots per plant and the percentage of life seedlings. Higher rachis growth was 3.8 obtained from medium-sized sucker weights (1000-1499 g and 1500-1999 g) and the highest number of primary roots was 41.3. It is obtained at sucker weights of 1000-1499 g. Meanwhile, the higher percentage of seedling survival was obtained at medium to large sucker weights of 66.3-71.0%. Thus, multiplication of sago seeds using medium-sized sucker on polybag media is highly suggested
- ItemGrowth, yield and radiation energy conversion of sweet potato (Ipomoea batatas (L.) lam.) plant under different stake angles and various mulch type in the Papua highlands(IOP Publishing, 2021-01-01) Alberth, Soplanit; Rumbarar, Merlin K.; Suminarti, Nur E.; IOPThe aim of this study was to obtain the right type of reflector in sweet potato plant cultivation combined with a stake technique to increase the efficient use of solar radiation energy and plant productivity. The experiment was arranged in a Split Plot Design with three replications. The main plot consisted of Cangkuang variety with 90° stake and Cangkuang variety with 60° stake. The subplots consisted of without mulch, straw mulch, white sand mulch, clear plastic mulch and silver black plastic mulch. The results show that the total dry weight continues to increase but then slows down when the crop growth rate decreases especially at the tuber development phase. The total dry weight at the silver black plastic mulch treatment with a 60° stake angle increased by 70.13% at the age of 70 to 100 days after planting and only increased by 17.50 % at the age of 100 to 130 days after planting. The conversion efficiency of radiation energy increases for all mulch uses as a reflector, especially for 60° stake angles of 32.03% at the highest tuber yields 34.15 t/ha while for 90° stake angles of 27.35% at the highest tuber yields 29.72 t/ha. The highest energy conversion efficiency value was obtained in the combination of black and silver mulch with a 60° stake angle at 2.81%
- ItemThe integration model of sweet potato-pigs in the Papua highlands(IOP Publishing, 2021-01-01) Soplanit, Alberth; Tirajoh, Siska; Tiro, Batseba MW; Dominanto, Ghalih P.; Rumbarar, Merlin K.; IOPSweet potato-pigs integration system (hipere-wam) is a model that farmer can apply to maintain production in highland area. The aim of this study is to produce a specific location model of sweet potato-pigs integration technology in the sweet potato center area. The results of the study show that sweet potato production during the four months of the assessment with the wet tuber weight for Musan cultivar was 0.90 kg/ plant or 21.67 t/ha and Cangkuang cultivar was 1.06 kg/plant or 25.47 t/ha, respectively. Biomass production was 0.84 kg/plant or 20.24 t/ha for Musan cultivar and 0.76 kg/plant or 18.31 t/ha for Cangkuang cultivar, respectively. The increase in the body weight of introduced pigs was 157 g/head/day, compared to the farmer's which was of 50 g/head/day. Based on the calculation of the level of consumption of pigs during the assessment, it shows that the average feed requirement from sweet potato was 1.5 kg /head/day or 180 kg /head /4 months or 2.880 kg/16 heads/4 months. The calculation of organic fertilizer from wet livestock manure for four months of maintenance was 480 kg or 30.0 kg/head or 0.30 kg/head/day. If it is assumed that 0.065-0.066 hectare land contains 1.733-1.760 plants, the contribution of organic fertilizer from pig manure to sweet potato plants is 130 - 140 g/plant/4 months.
- ItemResponse of sweet potato yield components to stakes angle and mulch type: Sweet potato cultivation in the Papua highlands(IOP Publishing, 2021-01-01) Soplanit, Alberth; Rumbarar, Merlin K.; IOPThis study aims to improve the ability of sweet potato plants to obtain photosynthetic active radiation through a combination of stake angle with mulch as a reflector. The experiments were arranged in a separate plot design with three replications. The main plot consisted of Cangkuang variety with 90° stakes and Cangkuang varieties with 60° stakes. The subplots consisted of no mulch, straw mulch, white sand mulch, clear plastic mulch, and black silver plastic mulch. The results showed that the use of mulch as a reflector on both stake angle was able to increase photosynthesis active radiation by 27.84% to 34.63% compared to without mulch at 16.82%, and the optimum leaf area index at the age of 100 DAP was 3.74 to 4.45 at stake angle of 90° and 3.23 to 4.10 at stake angle of 60°. The number of tubers per plant increased and reached the highest of 3.17 and 4.50 in straw mulch, the number of marketable tubers from 51.90% to 59.23% compared to without mulch of 41.97% for stakes angle of 90° and 44.67% to 65.83% compared without mulch of 32.47% for stakes angle of 60
- ItemSumber Daya Genetik Tanaman Papua(BPTP Papua, 2016-01-01) Ondikeleuw, Mariana; Garuda, Sitti Raodah; Wulanningtyas, Heppy Suci; Rumbarar, Merlin K.; Rumsarwir, Yuliana H.; Felle, Herlina; Wihyawari, Silwanus; Kementrian PertanianIndonesia merupakan negara mega biodiversitas (biodiversity), karena memiliki kawasan hutan tropika basah dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia (Warta Plasma Nutfah Indonesia, 2011). Papua merupakan salah satu provinsi yang mempunyai sumber daya hayati tumbuhan maupun hewan yang sangat beranekaragam dan belum banyak diketahui manfaatnya. Beberapa tanaman yang saat ini dikembangkan secara nasional tetuanya berasal dari Papua seperti tebu. Hingga saat ini masyarakat lokal di beberapa kabupaten memelihara sumber daya genetik (SDG) beberapa tanaman yang bersifat endemik di Papua seperti tebu, sagu, matoa, buah merah, ubi jalar, pokem (juwawut), gembili, talas dan keladi, namun belum dikembangkan sebagai SDG. SDG tersebut merupakan kekayaan sumber daya hayati yang perlu dieksplorasi untuk memperkaya keragaman plasma nutfah. SDG merupakan sumber genetik dan modal utama dalam pembentukan varietas unggul baru (VUB) yang sangat diperlukan karena memiliki keanekaragaman genetik yang luas. Sumber genetik ini berguna untuk mengatasi permasalahan cekaman biotik (hama, penyakit) dan abiotik (kekeringan, serangan salinitas dan suhu tinggi). Saat ini erosi genetik terus berlangsung sebagai akibat gangguan alam dan ulah manusia berupa penebangan liar yang tidak bertanggung jawab (Rifai, 1983). Semakin meningkatnya kebutuhan manusia telah mengarahkan ketidakpedulian mereka terhadap lingkungan yang semakin terbatas dan akan mendorong terjadinya perambahan dan perusakan hutan. Salah satu bentuk perlindungan terhadap keanekaragaman hayati adalah dengan melaksanakan konservasi secara in situ maupun ex situ. Menurut Mac Kinnon dalam Alikodra (2000), sistem konservasi dapat dicapai melalui cara berikut (1) menjaga proses dan menopang kehidupan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan, (2) melestarikan keanekaragaman plasma nutfah yang penting bagi program pemuliaan, dan (3) menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh manusia yang mendukung kehidupan jutaan penduduk pedesaan serta dapat menopang sejumlah besar industri. Dalam pemenuhan kebutuhan akan pangan, sebetulnya kita tidak perlu bergantung kepada ketersediaan bahan pangan dari negara lain. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan SDG, di samping sebagai sumber pangan, juga menjadi bahan baku industri untuk sandang, papan, dan obatobatan. Dengan kata lain, yang harus segera dikembangkan adalah teknologi-teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah sumber daya tersebut, sekaligus diikuti dengan upaya pelestariannya (Balitbangtan, 2002). Tahap awal program pemuliaan adalah menyediakan keragaman yang luas (Poehlman, 1991). Keragaman genetik dapat diketahui melalui arakterisasi varietas-varietas unggul modern yang dibentuk melalui program pemuliaan. Varietas pada dasarnya merupakan rakitan SDG dengan menggunakan benih yang ada. Oleh karena itu, SDG perlu dipelihara dan dilestarikan agar dapat dimanfaatkan pada saat diperlukan. Gengen yang pada saat ini belum berguna mungkin pada masa yang akan datang sangat diperlukan sebagai sumber tetua dalam perakitan VUB (Tickoo et al.,1987). Sumarno (1996) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan sumber daya genetik, adalah: 1) menyusun konsep kebijakan pengelolaan SDG secara nasional, 2) mengkoordinasikan pengelolaan SDG yang terdapat di semua institusi pemerintah (Puslit, Balit), 3) membina dan meningkatkan kemampuan teknis pengelolaan SDG bagi tenaga pengelola, 4) melakukan kerjasama internasional dalam pengelolaan SDG, 5) mengelola SDG secara profesional oleh peneliti yang berdedikasi.
- ItemTeknik Penggunaan Ajir pada Beberapa Varietas Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) di Dataran Tinggi Papua(Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, 2020-06-24) Soplanit, Alberth; Rumbarar, Merlin K.; Tirajoh, Siska; Suminarti, Nur E.; Kementrian PertanianPenelitian ini bertujuan untuk mendapatkan efisiensi penggunaan energi radiasi matahari yang tinggi dengan mengkombinasikan varietas dan kemiringan (sudut terhadap horizontal) ajir pada budidaya tanaman ubi jalar di dataran tinggi Papua. Penelitian berlangsung pada tanah entisol, ketinggian 1560 m di atas permukaan laut dari bulan April - September 2016. Rancangan lingkungan adalah faktorial yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan. Faktor A (varietas) terdiri dari tiga varietas, yakni Siate (lokal), Papua Sollosa dan Cangkuang; faktor B (sudut kemiringan ajir) terdiri dari empat sudut yakni tanpa ajir, kemiringan ajir 45°, 60°, dan 90°. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas daun spesifik (LDS) menurun mengikuti peningkatan kemiringan ajir pada semua varietas, dengan bobot kering umbi tertinggi 248,7 g per tanaman dihasilkan oleh varietas Cangkuang pada kemiringan ajir 90°. Hasil umbi tertinggi secara berturut-turut diperoleh oleh varietas Cangkuang pada kemiringan ajir 90° dan 60° masingmasing 31,53 ton per ha dan 28,86 ton per ha. Pada kondisi cekaman abiotik akibat tingkat keawanan tinggi di dataran tinggi Papua, dianjurkan untuk menanam varietas ubi jalar Cangkuang atau varietas dengan karakter berdaun lebar dikombinasikan dengan penggunaan ajir dengan kemiringan 90° dan 60°.
- ItemTeknologi Peningkatan Produksi Kedelai di Papua(BPTP Papua, 2022-10-06) Garuda, Sitti Raodah; Lestari, Martina Sri; Rumsarwir, Yuliana H.; Rumbarar, Merlin K.; Jayanti, Edita Dwi; Kementrian PertanianKedelai merupakan salah satu tanaman kacang- cangan andalan nasional yang menunjang program versifikasi pangan dan mendukung ketahanan pangan ional. Kedelai sebagai bahan baku olahan makanan upun pakan ternak serta merupakan tanaman palawija ng kaya akan protein, yang memiliki arti penting sebagai umber protein nabati untuk peningkatan gizi dan mengatasi nyakit kurang gizi seperti busung lapar. Kedelai menempati peringkat ketiga tanaman pangan penting di Indonesia setelah padi dan jagung. Selain itu meningkatnya konsumsi penduduk terhadap produk olahan kedelai juga ikut meningkatkan permintaan bahan baku kedelai.