Browsing by Author "Rochmadiyanto"
Now showing 1 - 4 of 4
Results Per Page
Sort Options
- ItemKomparasi Uji Serologis untuk Deteksi Infeksi Trypanosoma Evansi pada Kerbau(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Rochmadiyanto; Khajadatun; Dewi, Ari Puspita; Imran, KoeswariSalah satu penyakit parasiter endemis pada kerbau di Indonesia adalah surra yang disebabkan oleh infeksi protozoa T.evansi. Kunci keberhasilan penanggulangan infeksi T. evansi pada kerbau adalah ketepatan dan kecepatan diagnosis. Kerbau yang terinfeksi T. evansi tidak selalu menunjukkan gejala patognomonik dan perubahan patologis, sehingga diagnosa laboratorium yang cepat, tepat, akurat, murah, dan efisien sangat dibutuhkan. Card agglutination test (CATT/T.evansi) mempunyai sensitifitas 78% dan speisifitas 100% tetapi mengalami kesulitan untuk pemesanan kit. ELISA antibodi mempunyai sensitifitas 89% dan spesifitas 94%, obyektif, dapat untuk surveilen skala luas dan metode dapat di standardisasi dengan presisi yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah menghitung nilai kesesuaian metode Surelisa-Te IgG dan IgM terhadap uji CATT untuk mendeteksi infeksi T. evansi pada kerbau. Sebanyak 129 ekor kerbau dilakukan pengambilan serum pada vena jugularis. Setelah darah beku dipisahkan serum disimpan dalam suhu -20º C. Serum dilakukan pengujian CATT, Surelisa-Te IgG dan Surelisa-Te IgM. Hasil penelitian menunjukkan nilai Kappa Surelisa-Te IgG terhadap CATT, Surelisa-Te IgM terhadap CATT dan Surelisa IgM terhadap Surelisa IgG masing-masing 0,26, -0,63 dan 0,11. Nilai kesesuaian yang rendah disebabkan karena masingmasing metode uji mempunyai kharakteristik berbeda sesuai fase infeksi dalam mendeteksi T. evansi. Diagnosa surra secara serologis untuk surveilen sebaiknya menggunakan beberapa metode diagnosa baik serologis maupun parasitologis karena status infeksi kerbau tidak diketahui.
- ItemPendekatan One Health dalam Mendukung Investigasi dan Identifikasi Faktor Resiko Kejadian Leptospirosis di Wilayah Kerja BBVet Wates(Direktorat Kesehatan Hewan, 2019) Rochmadiyanto; Padyastuti, Sri; Handayani, Tri; Wibawa, HendraLeptospirosis adalah salah satu penyakit yang sering tidak terdiagnosis dan tidak dilaporkan di negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia. Salah satu daerah endemis Leptospirosis di Indonesia adalah di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Pada tahun 2018 di kabupaten ini terjadi leptospirosis pada manusia sebanyak 92 kasus 24 diantaranya berakibat fatal. Dalam kurun JanuariFebruari 2019 kembali dilaporkan 18 kasus leptospirosis dan 5 orang diantaranya meninggal dunia.. Keberadaan ternak ruminansia sering dikaitkan dengan kejadian leptospirosis pada manusia. Oleh karena itu dilakukan investigasi dengan tujuan untuk mengetahui peranan ternak ruminansia dalam penularan leptospirosis pada manusia, serta menganalisis faktor risiko lingkungan dan perilaku yang mempengaruhi kejadian leptospirosis. Penelitian ini menggunakan desain studi observasional kasus kontrol (case-control study) dengan menggunakan unit epidemiologi individu/orang dan kasus didefi nisikan sebagai individu yang menunjukkan tanda klinis penyakit dan hasil uji laboratorium positip leptospirosis. Dari defi nisi ini, terpetakan 9 individu kasus dan 37 individu kontrol.. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan pengukuran dilanjutkan analisis diskriptif dan analitik. Hasil investigasi menunjukkan 39% penderita tinggal di daerah yang sering banjir/tergenang air jika hujan; 43% penderita mempunyai ternak ruminansia, 71% penderita beraktifi tas sehari-hari di sungai dan 50% penderita kontak dengan tanah yang tercemar urin ruminansia. Kepemilikan ternak tidak terkait dengan leptospirosis (Odds Ratio/OR: 0.3, 95%CI: 0.1-4.3, p value=0.369). Dengan analisi univariat, beberapa faktor resiko memiliki keterkaitan yang signifi kan dengan leptospirosis pada manusia, antara lain: Lingkungan yang mengalami banjir/terendam air setelah hujan (OR: 8,3 [95%; CI:0,88-19,6; p value=0,018]), aktifi tas harian di sungai (OR= 21.87 9[5%; CI:3.14-152.05; p value=0,001]) dan kontak dengan tanah yang tercemar urin ruminansia merupakan faktor resiko leptospira (OR:10,3 [95%; CI:0,5911,5; p value=0,05]) dan ternak yang terdeteksi positif leptospirosis (OR:10.2 [95%CI 0.81-129.5;p=0.09]) Selanjutnya analisis multivariat menunjukkan bahwa risiko tinggi tertular leptospirosis bagi individu yang memiliki riwayat kontak dengan tanah yang tercemar urin ruminansia (OR=9.66; [95%, CI: 1.6656.17; p=0,001]) dan risiko semakin meningkat jika ternak positif leptospirosis (OR:47.32 [95%CI: 1.701315.43]). Resiko penularan dapat dikurangi jika individu menggunakan alat pelindung kerja (univariat OR: 0.3; [95% CI: 0.7-1.4]) dan multivariat OR: 0.5; [95% CI: 0.7-3.4]). Kepemilikan ternak ruminansia bukan merupakan faktor resiko penularan leptospira, tetapi resiko akan meningkat apabila ternak terinfeksi leptospitosis dan pemilik ternak pemilik ternak lalai dalam penggunaan alat pelindung diri saat berinteraksi dengan ternak atau saat membersihkan tanah dan kotoran ternak yang tercemar. Dibutuhkan upaya yang besar dan serius secara komprehensif untuk menurunkan kejadian leptospirosis melibatkan antar sektor yaitu kesehatan, veteriner/peternakan dan sosial.
- ItemPenyebaran Penyakit Parasit Darah pada Sapi dan Kerbau di Wilayah Kerja BBVet Wates Tahun 2017(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Dewi, Ari Puspita; Khadjadatun; Rochmadiyanto; Imran, KoeswariPenyakit akibat parasit darah, seperti anaplasmosis, babesiosis, theileriosis dan trypanosomiasis mempunyai arti yang penting bagi usaha peternakan sapi dan kerbau di Indonesia. Penyakit tersebut dapat bersifat perakut, akut maupun kronis, yang ditularkan secara mekanik oleh vektor dari agen penyebab penyakit tersebut. Dampak dari penyakit tersebut dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu, penurunan kualitas daging atau kulit atau jeroan, penurunan produktivitas ternak sebagai tenaga kerja, dan bahkan dapat menyebabkan kematian ternak. Kajian penyakit parasit darah ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran penyakit anaplasmosis, babesiosis, theilleriosis dan trypanosomiasis pada sapi dan kerbau di wilayah kerja BBVet Wates tahun 2017 dan untuk memberikan rekomendasi pengobatan yang sesuai dengan agen penyebab penyakit darah tersebut. Sebanyak 5.681 sampel darah sapi dan 830 sampel darah kerbau yang diperoleh dari wilayah kerja BBVet Wates baik berupa sampel pelayanan aktif maupun pelayanan pasif yang diduga terinfeksi parasit darah diperiksa dengan menggunakan metode konvensional yaitu preparat ulas darah tipis dengan pewarnaan Giemsa dan Haematocrit Centrifugation Technique (HCT) khusus untuk trypanosomiasis. Dari hasil pemeriksaan darah sapi tersebut diperoleh hasil bahwa sebanyak 12 sampel (0,21%) menunjukkan hasil positif Anaplasma sp, 264 sampel (4,65%) positif Theileria sp, 18 sampel (0,32%) positif Babesia sp dan 21 sampel (0,37%) positif Trypanosoma sp, sedangkan pemeriksaan darah kerbau menunjukkan hasil bahwa sebanyak 7 sampel (0,84%) menunjukkan hasil positif Anaplasma sp, 57 sampel (6,87%) positif Theileria sp dan 68 sampel (8,19%) positif Trypanosoma sp. Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa kejadian anaplasmosis, theilleriosis dan trypanosomiasis pada sapi dan kerbau ditemukan di wilayah kerja BBVet wates, sedangkan babesiosis ditemukan hanya pada sapi saja. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut disarankan untuk dilakukan pengobatan sesuai dengan agen penyebab parasit darah tersebut, agar penanganan penyakit lebih optimal.
- ItemProfiling Peternakan Babi yang Berisiko Tertular Penyakit African Swine Fever di Wilayah Kerja Balai Besar Veteriner Wates(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Irianingsih, Sri Handayani; Wibawa, Hendra; Rochmadiyanto; Suryanto, Basuki Rochmat; Direktorat Kesehatan HewanKejadian penyakit African swine fever sejak akhir tahun 2019 di Provinsi Sumatera Utara menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Aspek biosekuriti dan manajemen pemeliharaan ternak merupakan hal penting dalam pemantauan penyakit di daerah berisiko. Tujuan profiling adalah untuk mengetahui profil peternakan babi yang mempunyai risiko tertular penyakit ASF. Profiling peternakan babi telah dilakukan pada 151 peternak babi di 11 kabupaten di 3 provinsi wilayah kerja BBVet Wates pada bulan Januari 2020. Metoda yang digunakan adalah mengisi kuisioner melalui wawancara peternak dan menganalisis data secara deskriptif. Hasil analisis menunjukkan bahwa 57% peternak memiliki populasi kurang dari 50 ekor sedangkan populasi lebih dari 1000 ekor hanya 9%. Sebesar 67% peternakan babi di wilayah kerja BBVet Wates menggunakan pakan sisa, dengan 7% merupakan produk babi dan 85% pakan sisa tidak dimasak. Hampir semua peternak menjaga kebersihan kandang, minimal 1 kali sehari sebesar 90%. Sebagian besar peternak belum melakukan penyemprotan kandang menggunakan desinfektan (81%). Sebesar 49% peternak melakukan pembelian bibit ternak dari luar farm, dan 24% yang mempunyai pedagang mensuplai bibit secara rutin. Rerata penjualan babi meningkat pada bulan Desember – Januari dengan daerah pemasaran kota-kota besar. Profil peternakan babi di wilayah kerja BBVet Wates yang menggunakan pakan sisa dan implementasi biosekuriti dalam manajemen pemeliharaan rendah mempunyai risiko tertular penyakit ASF.