Browsing by Author "Mahyuddin Syam"
Now showing 1 - 7 of 7
Results Per Page
Sort Options
- ItemKontroversi System of Rice Intensification (SRI) di Indonesia(Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2006) Mahyuddin SyamSystem of Rice Intensification (SRI) yang dikembangkan di Madagaskar sekitar 20 tahun yang lalu telah menyebar di banyak negara termasuk Indonesia. Paket rekomendasi SRI yang berlaku secara umum adalah: (1) tanam bibit muda ber- umur 8-15 hari, satu batang per rumpun, (2) tanam pindah dengan akar horizontal dan kedalaman 1-2 cm, (3) jarak tanam 25 cm x 25 cm atau lebih lebar, (4) peng- airan berkala (intermitten), (5) penyiangan dengan landak 2-4 kali sebelum pri- mordia, dan (6) penggunaan bahan organik atau kompos sebanyak mungkin sebelum tanam. Hasil padi SRI dilaporkan mencapai 12-16 t/ha gabah kering panen (GKP), jauh lebih tinggi dari rata-rata hasil padi sawah nasional. Hal ini telah mendorong berbagai pihak di dalam dan luar negeri untuk menguji SRI dengan membandingkannya dengan cara budi daya yang diterapkan petani dewasa ini. Untuk mendapatkan gambaran terkini, Yayasan Padi Indonesia (YAPADI) melakukan survei di Ciamis dan Garut, Jawa Barat, dua di antara beberapa daerah yang menerapkan SRI di Indonesia. Hasil kegiatan YAPADI menunjukkan bahwa SRI tidak diterapkan secara luas oleh petani di kedua kabupaten itu. Hal ini berkaitan dengan tidak menonjolnya hasil panen yang diperoleh, banyaknya curahan tenaga kerja yang diperlukan, sukarnya mendapat pupuk kandang, dan harga produk yang tidak sesuai dengan harapan petani. Oleh karena itu, apabila tujuan pengembangan tanaman padi adalah untuk meningkatkan produktivitas, maka SRI kurang tepat untuk dianjurkan secara luas. Terlepas dari hal itu, pendekatan penyuluhan dalam kegiatan SRI dapat dipakai sebagai acuan sistem penyuluhan yang akan datang. Dalam hal ini petani didudukkan sebagai mitra dan didorong untuk mandiri melalui kontak yang cukup intens dan praktek lapang. Penggunaan bahan organik dan pemakaian air secara efisien melalui pengairan berselang (intermitten) sudah lama dianjurkan peneliti dan perlu dikembangkan lebih luas. Penggunaan bibit muda satu batang per rumpun mengurangi penggunaan benih sehingga menguntungkan petani meski tanaman cukup rentan terhadap hama keong emas atau tersapu hujan lebat.
- ItemPadi toleran rendaman(Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2009-12-06) Aris Hairmansis; Diah Wurjandari; Mahyuddin SyamPerubahan iklim telah menjadi kenyataan yang tak dapat dihindari. Kondisi yang lebih panas dan kering sudah dapat dirasakan dewasa ini sebagaimana halnya juga dengan kondisi yang lebih basah sehingga menimbulkan banjir. Tanpa adanya upaya khusus, kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap produksi padi yang senantiasa dituntut untuk terus meningkat, sejalan dengan peningkatan konsumsi akibat pertambahan penduduk. Puslitbang Tanaman Pangan bekerjasama dengan IRRI (International Rice Research Institute) dengan dukungan Pemerintah Jepang telah melakukan serangkaian penelitian dan pengujian berbagai varietas yang toleran terhadap rendaman akibat banjir. Pengujian di berbagai lokasi banjir di Indonesia telah menghasilkan tiga galur atau calon varietas yang toleran terhadap rendaman. Satu di antaranya telah dilepas dengan nama Inpara 3 sedangkan dua galur lainnya sedang dalam proses pengusulan untuk dilepas secara resmi sehingga dapat digunakan petani secara luas. Saya berharap buklet ini dapat dipakai sebagai rujukan bagi aparat Dinas Pertanian di daerah, pengkaji, dan penyuluh sehingga kerugian yang diderita petani akibat genangan banjir di lahan sawahnya dapat ditekan. Sementara benih Inpara 3 dapat diperoleh melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, benih Swarna-Sub1 (diusulkan untuk dilepas dengan nama Inpara 4) dan IR64-Sub1 (diusulkan dilepas sebagai Inpara 5) juga diharapkan bisa diperoleh petani dari Balai Besar itu setelah galur tersebut dilepas secara resmi. Saya sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada penyusun dan semoga publikasi ini bermanfaat bagi pengguna.
- ItemPadi Unggul(Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 1995-12-16) Z. Harahap; Suwarmo; Erwina Lubis; Susanto Tw.; Mahyuddin Syam; HermantoDalam lima tahun terakhir sudah dua kali terjadi kemarau panjang. Akibatnya, ratusan ribu hektar tanaman padi mengalami kekeringan, bahkan sebagian puso. Mengingat kekeringan dapat mengancam pertumbuhan tanaman, termasuk padi, maka perlu diupayakan teknologi yang tepat sehingga kendala produksi ini dapat diantisipasi dan ditekan seminimal mungkin. Penggunaan varietas unggul yang toleran terhadap keke- ringan dan berumur pendek (genjah) merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan tanaman padi dari ancaman tersebut. Pusat Penelitian dan Pengem- bangan Tanaman Pangan telah berhasil menyaring dua varietas padi gogo yang toleran kekeringan dan berumur sangat genjah. Selain itu diperoleh pula dua varietas padi gogo yang toleran terhadap keracunan aluminium dan besi, berpotensi hasil tinggi, toleran terhadap naungan, dan tahan penyakit blas. Pengembangan empat varietas padi gogo ini yang telah dilėpas oleh Menteri Pertanian akhir September 1994 lalu, diharapkan dapat mendukung upaya pelestarian swasembada beras dan keterjaminan pangan. Dalam publikasi ini diinformasikan keunggulan masing-masing varietas dan kemungkinan arah pengembangannya.
- ItemRevolusi Hijau Peran dan Dinamika Lembaga Riset(Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009-12-19) Achmad M. Fagi; C.P. Mamaril dan; Mahyuddin SyamRevolusi Hijau yang digulirkan pada tahun 1960an telah berhasil meningkatkan produksi pádi nasional secara nyata. Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai importir beras terbesar dunia secara menakjubkan bangkit dan bahkan mampu berswasembada beras pada tahun 1984. Meski kemudian impor beras kembali terjadi akibat jumlah penduduk yang terus bertambah dibarengi oleh tingkat konsumsi yang masih relatif tinggi serta cekaman biotik dan abiotik, swasembada kembali dapat diraih pada tahun 2008. Tentu banyak faktor yang mendukung keberhasilan ini seperti kerja keras petani, kondisi iklim yang bersahabat, tersedianya teknologi budi daya, serta relatif kecilnya gangguan hama dan penyakit tanaman. Walaupun keberhasilan yang diraih melalui Revolusi Hijau sulit dibantah, di baliknya tersimpan pula pembelajaran yang patut dicermati. Ketergantungan petani akan masukan dari luar dalam bentuk pupuk kimia dan pestisida, ancaman hilangnya varietas lokal/ tradisional, dorongan penggunaan masukan secara tidak tepat dan dalam takaran berlebihan yang mengganggu kelestarian lingkungan adalah beberapa dampak negatif dari Revolusi Hijau yang sering dikumandangkan. Publikasi ini memuat proses panjang program peningkatan produksi padi nasional dengan segala lika-likunya. Perlunya Revolusi Hijau yang lebih memperhatikan keberlanjutan sistem produksi yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan atau Revolusi Hijau Lestari (the Evergreen Revolution) diulas juga oleh penulis sebagaimana halnya dengan awal munculnya pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu).
- ItemSorgum Inovasi teknologi dan pengembangan(IAARD Press, 2013-12) Sumarno; Djoko Said Damardjati; Mahyuddin Syam; HermantoSorgum merupakan tanaman pangan yang sudah lama dikenal dan diusahakan oleh sebagian petani di Jawa dan Nusatenggara. Pengelolaan secara tradisional yang tercermin dari penggunaan benih dan pupuk seadanya menyebabkan hasil panen hanya 1-2 ton per hektar. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan pertanaman sorgum yang terdapat di beberapa negara lain seperti India dan Thailand yang juga memberikan hasil panen yang rendah. Penggunaannya sebagai pemenuhan pangan keluarga bagi petani subsisten menyebabkan kurangnya dorongan untuk mendapatkan hasil panen yang lebih tinggi. Sebaliknya, di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara Eropa, tanaman sorgum telah dikelola secara modern menggunakan teknologi maju seperti benih hibrida berkualitas dan pemupukan yang disesuaikan dengan kesuburan tanah dan kebutuhan tanaman. Penggunaannya pun beragam, untuk pangan, pakan, industri, dan bioenergi. Rendahnya areal panen sorgum dibandingkan komoditas lain, dalam dekade terakhir hanya sekitar 25 ribu hektar per tahun, menyebabkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap upaya pengembangan tanaman ini. Hal serupa terjadi di beberapa negara lain seperti Thailand yang areal panennya menurun cukup tajam dari sekitar 400 ribu hektar pada tahun 1980an menjadi hanya tinggal sekitar 50 ribu hektar dalam beberapa tahun terakhir. India yang dikenal mempunyai areal pertanaman sorgum terluas di dunia, ternyata juga mengalami penurunan areal panen dari 14 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 6 juta hektar pada tahun 2012. Meski termasuk tanaman minor, sorgum sebenarnya mempunyai beberapa kelebihan dari tanaman pangan lain seperti lebih toleran terhadap kekurangan dan kelebihan air, tidak memerlukan masukan tinggi, dapat tumbuh baik di lahan marginal, dan relatif lebih sedikit terserang organisme pengganggu tanaman (OPT). Penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian maupun instansi lain seperti perguruan tinggi dan BATAN menunjukkan bahwa melalui pengelolaan yang baik serta penggunaan varietas unggul, tanaman sorgum mampu memberi hasil tinggi. Kajian lapang yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang (kini Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi) pada tahun 1980-1990an membuktikan bahwa dengan waktu tanam dan pengelolaan yang tepat, hasil panen sorgum dapat mencapai 5-7 t/ha. Selain melepas beberapa varietas unggul sorgum, Badan Litbang Pertanian pun telah menginisiasi penelitian sorgum hibrida pada tahun 1990an melalui kerja sama dengan lembaga internasional ICRISAT (International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics). Di sisi lain pengembangan sorgum juga dihadapkan kepada masalah keunggulan komparatif dan kompetitif dengan tanaman lainnya seperti padi dan jagung. Ketidaktersediaan pasar menyebabkan harga sorgum relatif rendah dibandingkan komoditas lain. Kemajuan teknologi yang menghasilkan jagung hibrida dengan hasil di atas 8 t/ha menyebabkan petani semakin enggan menanam sorgum. Sementara itu, selain mudah terserang hama gudang pada waktu penyimpanan, biji sorgum juga mengandung tanin yang memerlukan pengolahan untuk menghilangkannya sebelum dikonsumsi. Melonjaknya harga minyak dunia yang dibarengi oleh terus meningkatnya kebutuhan akan pangan dan pakan telah mendorong berbagai kalangan untuk mengembangkan sorgum sebagai sumber energi terbarukan. Filipina, misalnya, telah mencanangkan pengembangan sorgum manis untuk bioetanol dan pakan. Bioetanol dari sorgum manis diharapkan dapat mensubstitusi sebagian bahan bakar negara lain yang sepenuhnya tergantung dari impor. India juga mempunyai rencana yang serupa dengan menjalin kerjasama dengan ICRISAT. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan telah melakukan Demfarm Sorgum di beberapa provinsi dalam beberapa tahun terakhir sementara Kementerian BUMN juga melakukan pengembangan sorgum di beberapa lokasi di NTB dan NTT. Suatu kajian yang komprehensif tampaknya perlu dilakukan apakah sorgum memang bermanfaat untuk dikembangkan lebih lanjut dan bagaimana strategi pengembangannya. Beberapa pertanyaan yang memerlukan jawaban termasuk apakah sorgum yang akan dikembangkan adalah sorgum biji untuk mendukung ketahanan pangan dan pakan atau sorgum manis untuk bioetanol, pakan, dan industri atau keduanya. Wilayah pengembangan dan petaninya perlu pula diidentifikasi secara tepat melalui kerjasama berbagai pihak: Pemerintah Pusat dan Daerah, swasta, kelompok tani dan lembaga terkait lainnya. Dukungan penelitian diharapkan mampu menyediakan teknologi yang diperlukan sebagaimana halnya peralatan panen dan pascapanen serta jaminan harga yang layak.
- ItemTeknologi Padi dan Pemasanan Global(Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008-12-16) Mahyuddin Syam; Diah WurjandariKenaikan harga BBM yang demikian tajam telah memicu kenaikan harga beras dunia, apalagi dibarengi oleh menyusutnya stok beras di Asia, serta bencana alam di beberapa negara penghasil beras. Di sisi lain, peningkatan jumlah penduduk masih relatif tinggi dan lahan sawah yang subur terus menyusut untuk berbagai keperluan pembangunan. Sementara itu, perubahan iklim yang mengarah kepada pemanasan global diperkirakan akan sangat berpengaruh terhadap sistem produksi pertanian. Kondisi di atas menuntut perlunya diberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan penelitian. Badan Litbang Pertanian yang telah menjalin kerja sama dengan IRRI (International Rice Research Institute) sejak lebih dari tiga dekade yang lalu, telah turut berperan aktif dalam upaya peningkatan produksi beras nasioral. Hal itu tercermin dari berbagai varietas unggul padi yang dihasilkan dan diadopsi secara luas oleh petani. Berbagai teknologi lainnya seperti teknik budi daya tanaman, pola tanam/ sistem usahatani, penanganan panen dan pascapanen, serta alat dan mesin pertanian pun telah pula diadopsi oleh sebagian petani. Indonesia menduduki posisi strategis bagi IRRI karena varietas unggul padi yang dihasilkan sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari sumbangan salah satu tetuanya yang berasal dari Indonesia, yaitu varietas lokal Peta. Indonesia juga merupakan mitra kerja penting bagi IRRI sehingga pakar dari negara ini tetap mendapat tempat sebagai salah satu anggota Dewan Pembina (Board of Trustees) yang mengarahkan langkahlangkah strategis pimpinan IRRI. Saya berharap informasi yang dimuat dalam publikasi ini bermanfaat sebagai rujukan ringkas hasil kerja sama Indonesia melalui Badan Litbang Pertanian dengan IRRI sampai saat ini.
- ItemTeknologi Produksi Padi(Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1995-12-23) Mahyuddin Syam; HermantoDibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, laju pertumbuhan produksi padi dalam lima tahun terakhir relatif rendah. Bila dalam periode 1979-83 (Pelita III) laju pertumbuhan produksi komoditas pangan utama ini mencapai 7,7% per tahun, dalam periode 1984–88 (Pelita IV) turun menjadi 2,4% dan dalam periode 1989–93 (Pelita V) turun lagi menjadi 1,9%. Sementara itu, permintaan terhadap padi dari tahun ke tahun cenderung naik sejalan dengan laju peningkatan jumlah penduduk. Dalam lima tahun terakhir, laju pertumbuhan kebutuhan padi dilaporkan 3,6% per tahun, sementara laju pertumbuhan produksi hanya 1,9%. Hal ini mengisyaratkan bahwa produksi padi perlu lebih dipacu agar swasembada beras dapat dipertahankan. Kenyataan menunjukkan, kendala peningkatan produksi padi akhir-akhir ini makin beragam, baik kendala biotik maupun abiotik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan senantiasa berupaya memecahkan masalah tersebut melalui penelitian. Beberapа hasil penelitian yang dikemukakan dalam publikasi ini diharapkan dapat dijadikan alternatif bagi pemecahan masalah peningkatan produksi padi dalam kaitannya dengan upaya pelestarian swasembada beras dan peningkatan pendapatan petani..