Browsing by Author "Agus Setyono"
Now showing 1 - 2 of 2
Results Per Page
Sort Options
- ItemEvaluasi Mutu Beras(BALAI PENELITIAN TANAMAN PADI, 2003-12-16) Suismono; Agus Setyono; S. Dewi Indrasari; Prihadi Wibowo; Irsal LasMenghadapi perdagangan bebas AFTA pada tahun 2003 dan meninjau kondisi perdagangan beras pada saat ini, pemerintah menghadapi masalah besar. Tantangan pemerintah tidak hanya meningkatkan produksi beras, namun aspek kualitas beras menjadi tuntutan konsumen dari dalam dan luar negeri di masa sekarang dan yang akan datang. Hal ini terbukti dengan masuknya beras impor yang berkualitas sama dengan beras dalam negeri, namun harganya lebih murah, sehingga persaingan bertambah ketat. Keragaman mutu beras di pasaran disebabkan kurangnya pengetahuan dan informasi tentang kualitas dan kemurnian beras, sehingga dimanfaatkan oleh pelaku pasar seperti penggilingan padi dan pedagang beras untuk melakukan manipulasi mutu beras, antara lain dengan melakukan pencampuran beberapa varietas, pencampuran beras dengan tingkat kualitas yang berbeda, atau informasi yang tidak sesuai antara kemasan dan isinya. Buku ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kualitas beras murni dan merupakan usaha pembinaan perbaikan mutu beras di pasaran, sehingga konsumen beras mendapatkan jaminan mutu beras seperti yang diharapkan. Buku ini menguraikan karakteristik mutu beras baik yang berasal dari varietas lokal, varietas introduksi maupun varietas hasil rakitan Balai Penelitian Tanaman Padi (BALITPA) yang dilepas sampai tahun 2002. Mudahmudahan informasi yang tersaji dalam buku ini bermanfaat bagi pengguna.
- ItemPadi Gogo(BALAI PENELITIAN TANAMAN PADI, 2005-12-16) Husin M. Toha; Agus Setyono; Aan Andang Daradjat; t Ooy LesmanaTantangan pengadaan pangan khususnya beras ke depan akan semakin sulit mengingat penduduk terus bertambah, tetapi dilain pihak luas sawah irigasi terutama di Pulau Jawa banyak yang terkonversi untuk kepentingan non pertanian. Hal lain yang menambah sulitnya pemenuhan kebutuhan beras adalah; tingkat produktivitas lahan sawah sudah mengalami kejenuhan dan cenderung menurun serta adanya perubahan pola makan penduduk pada beberapa daerah dari non beras ke beras. Kalau dalam waktu dekat tidak ada trobosan baru, untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk kedepan, kita akan tergantung beras impor, yang sudah barang tentu akan memerlukan devisa yang juga terus meningkat. Revolusi hijau pertama yang dimulai dengan ditemukannya padi ajaib (IR 5 dan IR 8) yang diteruskan dengan IR 36, Cisadane, IR 64 serta mencapai puncaknya ketika tercapainya Swa Sembada Beras pada tahun 1984. Program ini lebih terfokus pada lahan sawah irigasi dan hanya beroreantasi kepada produksi tinggi, dengan penggunaan input juga tinggi ternyata tidak stabil. Pada pihak lain kelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan kurang mendapat perhatian. Akibatnya terjadi kekurang lenturan sistem usahatani padi terhadap cekaman lingkungan. Peledakan serangan hama dan penyakit sering terjadi, penurunan tingkat produksi lahan juga terjadi, padahal pemupukam cenderung meningkat. Ketidakseimbangan suplai hara juga mengakibatkan kekahatan unsur hara tertentu dan muncul gejala lahan sakit. Belajar dari pengalaman revolusi hijau pertama, muncul gagasan revolusi hijau lestari yang lebih memperhatikan pengembangan lahan sub-optimal disamping tetap mempertahankan tingkat produktivitas lahan sawah irigasi. Lahan sub-optimal terdiri dari; lahan sawah tadah hujan (STH), lahan kering, lahan rawa pasang surut dan lahan rawa lebak cukup potensial untuk pengadaan pangan masa depan terutama padi. Potensi lahan kering pada ketinggian < 700 m dpl ada sekitar 52,83 juta ha, tetapi yang potensial untuk vii tanaman pangan ada 5,1 juta ha. Luas pertanaman padi gogo di Indonesia antara 1,0 1,2 juta ha dengan tingkat produksi 2,3 2,5 t/ha atau baru sekitar 50 % produktivitas padi sawah irigasi. Secara potensi, hasil penelitian padi gogo oleh IRRI pernah mencapai 7,2 t/ha dan beberapa hasil penelitian di Sumatera dan Jawa dapat mencapai di atas 5,0 t/ha. Pertanaman padi gogo umumnya ditemukan pada 3 sub ekosistem, yaitu : pada daerah datar termasuk hamparan sungai dan pekarangan, pada kawasan perbukitan daerah aliran sungai (DAS), dan sebagai tanaman tumpangsari tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda. Potensi padi gogo sebagai tanaman tumpangsari perkebunan dan HTI muda dapat mencapai lebih dari 2,0 juta ha. Bila dari luasan pertanaman padi gogo yang ada produksinya dapat ditingkatkan menjadi 3,0 t/ha atau meningkat 0,5 t/ha, maka akan ada tambahan produksi sekitar 1,5 juta ton/tahun dan dapat menambah cadangan beras dan dapat mengurangi impor. Buku tentang padi gogo dan pola pengembangannya diharapkan dapat menjadi acuan untuk pengembangan padi gogo di Indonesia ke depan. Buku ini disarikan dari beberapa hasil penelitian yang berlangsung cukup lama, tetapi belum membahas semua aspek yang kemungkinan ditemukan dilapangan. Saran untuk perbaikan buku ini masih sangat diharapkan, agar imformasi tentang padi gogo di Indonesia menjadi lebih lengkap.