Gambaran Gangguan Reproduksi pada Ternak dalam Kegiatan Upsus Siwab di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2017
dc.contributor.author | Oktarianti, Eka | |
dc.date.accessioned | 2020-03-29T14:29:30Z | |
dc.date.available | 2020-03-29T14:29:30Z | |
dc.date.issued | 2019 | |
dc.description.abstract | Upsus Siwab bertujuan untuk mengoptimalkan potensi sapi indukan untuk menghasilkan pedet dan peningkatkan populasi. Penanggulangan gangguan reproduksi ikut menentukan keberhasilan program Upsus Siwab. Gangguan reproduksi menyebabkan kemajiran, sehingga memperlambat peningkatan populasi ternak dan rendahnya angka kelahiran. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kejadian gangguan reproduksi (prevalensi dan kesembuhan) pada sapi dalam kegiatan Upsus Siwab di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2017 serta mengidentifi kasi faktor-faktor risiko yang memengaruhi terjadinya gangguan reproduksi pada sapi. Data kejadian gangguan reproduksi diperoleh dari laporan ISIKHNAS no. 384 berupa diagnosa sementara, pengobatan, perkembangan kasus, tingkat kesembuhan, IB dan PKB hewan terkait yang dilakukan dalam kegiatan Upsus Siwab di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2017. Data diolah dengan Ms. Excel dan di analisa secara deskriptif untuk mengetahui gambaran diagnosa sementara kejadian gangguan reproduksi, pengobatan, perkembangan kasus, tingkat kesembuhan, hewan yang di inseminasi buatan (IB) dan ternak yang bunting setelah dilakukan pengobatan gangguan reproduksi. Identifi kasi faktor risiko dilakukan pada 100 ekor sapi di Kecamatan Situjuah Limo Nagari melalui wawancara dengan kuisioner dan pengamatan langsung, dan di analisa secara univariat dan bivariat (uji chi-square (χ2) dan odds ratio) menggunakan software Statistic for Windows Version 8. Hasil menunjukkan bahwa prevalensi kejadian gangguan reproduksi sebesar 11,4%, dengan diagnosa Hipofungsi sebesar 52,2% (786/1507), silent heat sebanyak 32% (482/1507), dan sebanyak 6,6% (99/1507) mengalami endometritis. Laporan perkembangan kasus (PK) sebesar 67,7% (1013/1507), dengan tingkat kesembuhan 36,5% (550/1507), sedangkan ternak yang diinseminasi buatan (IB) sebanyak 211 ekor (14%), dan sebanyak 53 ekor (3,5%) sapi bunting melalui pemeriksaan perektal (PKB). Lama waktu yang dibutuhkan seekor ternak untuk dapat sembuh dari gangguan reproduksi berbedabeda dan ditandai dengan munculnya gejala birahi, dilakukan inseminasi buatan (IB), dan pemeriksaan kebuntingan. Hasil kajian terhadap identifi kasi faktor risiko menunjukkan bahwa status laktasi, skor kondisi tubuh kurus, pengalaman beternak kurang dari 2 tahun, dan pengetahuan tentang waktu kawin yang tepat berasosiasi meningkatkan kejadian gangguan reproduksi pada ternak di Kecamatan Situjuah Limo Nagari. Disimpulkan bahwa hipofungsi adalah kasus gangguan reproduksi yang paling sering terjadi pada ternak dan disebabkan oleh multifaktor. | en_US |
dc.identifier.uri | https://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/9034 | |
dc.language.iso | id | en_US |
dc.publisher | Direktorat Kesehatan Hewan | en_US |
dc.subject | Gangguan reproduksi | en_US |
dc.subject | Upsus Siwab | en_US |
dc.subject | Prevalensi | en_US |
dc.subject | Faktor risiko | en_US |
dc.title | Gambaran Gangguan Reproduksi pada Ternak dalam Kegiatan Upsus Siwab di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2017 | en_US |
dc.type | Article | en_US |