Browsing by Author "Wulanningtyas, Heppy Suci"
Now showing 1 - 5 of 5
Results Per Page
Sort Options
- ItemEKSPLORASI DAN IDENTIFIKASI TANAMAN LOKAL SEBAGAI SUMBER PLASMA NUTFAH DI KABUPATEN BIAK NUMFOR, PROVINSI PAPUA(Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, 2020-09-01) Wulanningtyas, Heppy Suci; Wulandari, Septi; Rumsarwir, Yuliana; Ondikeleuw, Mariana; Lestari, Martina Sri; Kementrian PertanianBiak Numfor merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua berupa pulau yang terpisah dari daratan Papua. Secara umum termasuk wilayah dataran rendah dengan didominasi relief bergelombang-berbukit. Biak Numfor kaya aneka flora dengan plasma nutfah beragam. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui berbagai jenis tanaman lokal spesifik sebagai bagian dari pengelolaan dan pelestarian sumberdaya genetik di Biak Numfor, Papua. Metode yang digunakan adalah survei, kuesioner dan wawancara. Survei dilakukan pada pekarangan-kebun di tiga puluh rumah tangga yang tersebar di lima distrik di Kabupaten Biak Numfor yang diduga menjadi lokasi tumbuh tanaman yakni Distrik Samofa, Biak Kota, Biak Utara, Yendidori dan Warsa. Kuesioner dan wawancara dilakukan pada masyarakat setempat untuk mendapat informasi mengenai pemanfaatan dan nama lokal tanaman. Diperoleh 24 aksesi tanaman buah, 22 aksesi tanaman sayur, 29 aksesi tanaman hias, 6 aksesi umbi-umbian, dan 14 aksesi tanaman obat dari hasil eksplorasi. Dari data tersebut, beberapa merupakan tanaman lokal Biak Numfor dan sebagian hanya diketahui nama lokalnya yaitu alpukat hutan, sukun hutan, kuker, pisang jarum, gedi batang merah, anggrek tanah, talas merah, daun gatal, daun masnasem dan pohon kayu perahu.
- ItemKESESUAIAN LAHAN UNTUK PADI SAWAH DI KABUPATEN JAYAPURAPROVINSI PAPUA(BB Pengkajian Teknologi Pertanian, 2016-05-31) Wulanningtyas, Heppy Suci; Malik, Afrizal; BS, Busyra; BPTP JambiTujuan kegiatan ini adalah mengetahui lahan yang sesuai dan potensial untuk tanaman padi sawah di Kabupaten Jayapura berdasarkan peta AEZ (Agro Ecological Zone) skala 1:50.000. AEZ merupakan pengelompokan wilayah kedalam zona-zona yang mempunyai kesamaan/keseragaman karakteristik sumber daya lahan (biofisik). Penyusunan peta kesesuaian lahan melalui tahapan metodologi yaitu inventarisasi sumber daya lahan dan evaluasi kesesuaian lahan. Dari hasil evaluasi kesesuaian lahan, pengembangan padi sawah dapat dilakukan di lahan basah, seluas 268.433 ha (18,89%) yang terdiri dari lahan cukup sesuai (S2) seluas 254.299 ha (17,89%) dan lahan sesuai marjinal (S3) seluas 14.134 ha (0,99%). Setelah melalui tahapan evaluasi, selanjutnya dilakukan pewilayahan komoditas pertanian untuk mendapatkan zonasi yang paling sesuai dengan tanaman padi yang bebas dari status kawasan hutan. Sistem budidaya pertanian lahan basah untuk padi sawah termasuk dalam zona IV seluas 109.721 ha (7,72%). Peningkatan produktivitas lahan bisa dicapai dengan menyusun pola tanam yang tepat, jadwal tanam yang mempertimbangkan resiko kegagalan panen, dan pemberian kebutuhan pupuk berimbang.
- ItemPOTENSI PENGEMBANGAN PADI GOGO BERDASARKAN PEWILAYAHAN KOMODITAS PERTANIAN DI KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA(BB Pengkajian Teknologi Pertanian, 2016-05-31) Wulanningtyas, Heppy Suci; Malik, Afrizal; BS, Busyra; BPTP JambiTujuan kegiatan ini adalah menentukan dan memetakan lahan yang potensial untuk pengembangan tanaman padi gogo berdasarkan pewilayahan komoditas pertanian di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.Penentuan wilayah potensial untuk padi gogo melalui beberapa tahapan metodologi yaitu inventarisasi sumber daya lahan, evaluasi kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas pertanian.Dari hasil analisis, pengembangan padi gogo dapat dilakukan di lahan kering, seluas 86.677 ha (6,37 %) yang tersebar di beberapa distrik antara lain Bonggo, Sarmi, Sarmi Selatan,Sarmi Timur, Pantai Timur, Pantai Barat, Pantai Timur Barat, Apawer Hulu dan Tor Atas. Budidaya padi gogo dapat dikombinasikan dengan tanaman pangan lainnya, tanaman hortikultura maupun tanaman perkebunan.Peningkatan produktivitas lahan bisa dicapai dengan pemupukan dan usaha konservasi tanah dan air.
- ItemRESPON PETANI TERHADAP PENERAPAN TEKNOLOGI JAJAR LEGOWO SUPER DI KABUPATEN MERAUKE(Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, 2020-09-01) Wulandari, Septi; Wulanningtyas, Heppy Suci; Lestari, Martina Sri; Sujarwo; Kementrian PertanianPotensi luas lahan pertanian produktif Kabupaten Merauke sebagai salah satu peluang terwujudnya swasembada pangan. Kabupaten Merauke mempunyai luas lahan sawah dan lahan kering 64.000 ha dari luas wilayah mencapai 46.791,63 km. Produksi Kabupaten Merauke tahun 2016 mencapai 136.500 ton dengan luas panen 52.000 ha. Dalam rangka mempertahankan produksi beras sekaligus meningkatkan pendapatan petani, berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi, salah satunya Teknologi Jajar Legowo Super. Teknologi Jajar Legowo Super merupakan teknologi budidaya padi berbasis jajar legowo 2:1, penggunaan VUB, pemanfaatan dekomposer M-Dec dalam pengelolaan jerami, pemanfaatan pupuk hayati dalam seed treatment (agrimeth), pengendalian organisme pengganggu tanaman menggunakan pestisida nabati dan anorganik serta pemanfaatan alsintan khususnya untuk tanam dan panen. Tujuan pengkajian adalah mengetahui respon petani dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan teknologi jajar legowo super. Kajian dilakukan di Kampung Nggutibob, Distrik Tanah Miring Kabupaten Merauke pada bulan November 2016 - Februari 2017. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik survei menggunakan kuisioner. Pengambilan sampel petani secara purposif, yaitu 20 petani kooperator yang menerapkan jarwo super. Analisis data menggunakan regresi linear berganda untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi respon petani. Hasil kajian menunjukkan respon petani terhadap teknologi jajar legowo tergolong sedang (54,82%). Pemanfaatan biodekomposer, pupuk hayati, dan alsintan mendapat respon positif dari petani. Namun pemanfaatan agrimeth kurang diminati petani (36,67%) yang menyukai karena benih terlalu cepat berkecambah dan sulit untuk ditabur di pesemaian. Variabel umur, tingkat pendidikan, luas lahan garapan, upah penanaman, dan besarnya biaya produksi tidak mempengaruhi tinggi rendahnya respon petani dalam penerapan teknologi jajar legowo super.
- ItemSumber Daya Genetik Tanaman Papua(BPTP Papua, 2016-01-01) Ondikeleuw, Mariana; Garuda, Sitti Raodah; Wulanningtyas, Heppy Suci; Rumbarar, Merlin K.; Rumsarwir, Yuliana H.; Felle, Herlina; Wihyawari, Silwanus; Kementrian PertanianIndonesia merupakan negara mega biodiversitas (biodiversity), karena memiliki kawasan hutan tropika basah dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia (Warta Plasma Nutfah Indonesia, 2011). Papua merupakan salah satu provinsi yang mempunyai sumber daya hayati tumbuhan maupun hewan yang sangat beranekaragam dan belum banyak diketahui manfaatnya. Beberapa tanaman yang saat ini dikembangkan secara nasional tetuanya berasal dari Papua seperti tebu. Hingga saat ini masyarakat lokal di beberapa kabupaten memelihara sumber daya genetik (SDG) beberapa tanaman yang bersifat endemik di Papua seperti tebu, sagu, matoa, buah merah, ubi jalar, pokem (juwawut), gembili, talas dan keladi, namun belum dikembangkan sebagai SDG. SDG tersebut merupakan kekayaan sumber daya hayati yang perlu dieksplorasi untuk memperkaya keragaman plasma nutfah. SDG merupakan sumber genetik dan modal utama dalam pembentukan varietas unggul baru (VUB) yang sangat diperlukan karena memiliki keanekaragaman genetik yang luas. Sumber genetik ini berguna untuk mengatasi permasalahan cekaman biotik (hama, penyakit) dan abiotik (kekeringan, serangan salinitas dan suhu tinggi). Saat ini erosi genetik terus berlangsung sebagai akibat gangguan alam dan ulah manusia berupa penebangan liar yang tidak bertanggung jawab (Rifai, 1983). Semakin meningkatnya kebutuhan manusia telah mengarahkan ketidakpedulian mereka terhadap lingkungan yang semakin terbatas dan akan mendorong terjadinya perambahan dan perusakan hutan. Salah satu bentuk perlindungan terhadap keanekaragaman hayati adalah dengan melaksanakan konservasi secara in situ maupun ex situ. Menurut Mac Kinnon dalam Alikodra (2000), sistem konservasi dapat dicapai melalui cara berikut (1) menjaga proses dan menopang kehidupan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan, (2) melestarikan keanekaragaman plasma nutfah yang penting bagi program pemuliaan, dan (3) menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh manusia yang mendukung kehidupan jutaan penduduk pedesaan serta dapat menopang sejumlah besar industri. Dalam pemenuhan kebutuhan akan pangan, sebetulnya kita tidak perlu bergantung kepada ketersediaan bahan pangan dari negara lain. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan SDG, di samping sebagai sumber pangan, juga menjadi bahan baku industri untuk sandang, papan, dan obatobatan. Dengan kata lain, yang harus segera dikembangkan adalah teknologi-teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah sumber daya tersebut, sekaligus diikuti dengan upaya pelestariannya (Balitbangtan, 2002). Tahap awal program pemuliaan adalah menyediakan keragaman yang luas (Poehlman, 1991). Keragaman genetik dapat diketahui melalui arakterisasi varietas-varietas unggul modern yang dibentuk melalui program pemuliaan. Varietas pada dasarnya merupakan rakitan SDG dengan menggunakan benih yang ada. Oleh karena itu, SDG perlu dipelihara dan dilestarikan agar dapat dimanfaatkan pada saat diperlukan. Gengen yang pada saat ini belum berguna mungkin pada masa yang akan datang sangat diperlukan sebagai sumber tetua dalam perakitan VUB (Tickoo et al.,1987). Sumarno (1996) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan sumber daya genetik, adalah: 1) menyusun konsep kebijakan pengelolaan SDG secara nasional, 2) mengkoordinasikan pengelolaan SDG yang terdapat di semua institusi pemerintah (Puslit, Balit), 3) membina dan meningkatkan kemampuan teknis pengelolaan SDG bagi tenaga pengelola, 4) melakukan kerjasama internasional dalam pengelolaan SDG, 5) mengelola SDG secara profesional oleh peneliti yang berdedikasi.