Browsing by Author "U.G. Kartasasmita"
Now showing 1 - 2 of 2
Results Per Page
Sort Options
- ItemPemahaman dan Kesiapan Petani Mengadopsi Padi Hibrida(Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2008-12-16) Sumarno; J. Wargiono; U.G. Kartasasmita; Inu G. Ismail; J. SoejitnoPadi hibrida dianjurkan sebagai komponen teknologi dalam Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) sejak MT 2006/2007. Untuk mengetahui tingkat pemahaman dan kesiapan petani dalam mengadopsi padi hibrida, dilakukan penelitian di enam kabupaten sentra produksi padi, masing-masing dua kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Penelitian menggunakan metode Pemahaman Pedesaan Partisipatif (Participatory Rural Appraisal), dengan responden kelompok tani padi, dua kelompok tani per kecamatan, dua kecamatan per kabupaten. Petani padi umumnya belum memahami berbagai aspek teknis varietas hibrida. Hibrida sebagai salah satu bentuk varietas, oleh petani diposisikan sejajar dengan nama varietas, sehingga semua varietas hibrida dinilai sama, dan nama varietas hibrida tidak dipentingkan. Petani belum memahami cara produksi benih padi hibrida, dan tidak mengerti alasan harga benih padi hibrida yang sangat mahal. Oleh sebagian petani, harga benih padi hibrida yang tinggi dianggap sebagai jaminan produktivitas yang tinggi. Harapan petani terhadap produktivitas padi hibrida sangat tinggi 20-60% di atas produksi varietas inbrida. Teknik budi daya padi hibrida yang tepat juga belum diketahui oleh petani. Dibandingkan dengan tanaman yang dikawal oleh peneliti-penyuluh, tanaman padi hibrida petani menunjukkan stabilitas hasil yang lebih rendah. Adopsi padi varietas hibrida pada tahun 2008-2009 diperkirakan masih rendah, karena harga benih yang dinilai mahal. Demo area padi hibrida skala luas diperlukan, 100-500 ha pada sentra produksi padi guna menyakinkan petani akan keunggulan padi hibrida. Untuk menyiapkan petani agar mengadopsi varietas hibrida disarankan hal-hal berikut: (1) lokakarya dan pelatihan padi hibrida bagi pejabat dinas pertanian dan penyuluh, (2) pelatihan dan penyuluhan padi hibrida diintensifkan, (3) penyediaan teknologi budi daya yang bersifat spesifik agroekologi, (4) sekolah lapang teknik budi daya padi hibrida pada areal demo 100-500 ha/ hamparan, (5) pemberian subsidi harga benih, (6) pelepasan varietas hibrida perlu persyaratan heterosis minimal 20% dan bersifat stabil, (7) guna menanggapi kekhawatiran masyarakat bahwa petani kehilangan kemandiriannya dalam penguasaan peyediaan benih, padi hibrida dianjurkan ditanam petani yang mengelola lahan seluas minimal 1 ha. Pilihan varietas yang paling tepat menurut petani merupakan penentu produktivitas yang terpenting, sehingga apabila varietas hibrida yang adaptif, berproduktivitas tinggi dan stabil telah teridentifikasi, maka adopsi varietas hibrida diperkirakan berjalan lebih cepat.
- ItemPengelolaan Lahan Sawah dan Reorientasi Target Alih Teknologi Usahatani Padi di Jawa(Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2010-12-16) Sumarno; U.G. Kartasasmita; Lukman HakimPemilik lahan tidak selalu harus melakukan pengelolaan usahatani padi sendiri, apabila memiliki kesempatan usaha di luar pertanian. Untuk memperoleh informasi perubahan status penguasaan lahan dan pengelolaan usahatani padi sawah di sentra produksi padi di Jawa dilakukan penelitian di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, pada tahun 2009, masing-masing mengambil sampel dua kabupaten sentra produksi padi sawah, di ketiga provinsi tersebut, yakni Karawang dan Subang di Jawa Barat, Klaten dan Boyolali di Jawa Tengah, dan Ngawi dan Pasuruan di Jawa Timur. Setiap kabupaten diwakili oleh dua kecamatan, dan di setiap kecamatan diwawancarai minimal dua kelompok tani responden. Luas pemilikan lahan sawah dari 70% petani responden di tiga provinsi tersebut berkisar antara 0,2-0,4 ha/RTP (rumah tangga petani), yang mengindikasikan kecilnya skala usahatani sebagian besar petani padi di Jawa. Sebanyak 45% petani pemilik lahan menyakapkan lahan sawahnya, dan 55% pemilik lahan berfungsi sebagai petani operator. Tingkat penyakapan lebih dari 50% pemilik lahan terdapat di Klaten dan Boyolali, tetapi hanya 15% di Subang. Di Karawang, Ngawi, dan Pasuruan, penyakapan lahan mencapai 40-48%. Alasan utama pemilik lahan menyakapkan lahan adalah kecilnya pendapatan usahatani padi yang diperoleh dari lahan sempit, sehingga petani pemilik lahan memilih usaha di bidang nonpertanian. Penyakap adalah petani penggarap tanpa lahan, yang memperoleh bagian 25-35% dari hasil panen bersih. Penguasaan teknologi oleh petani penyakap pada umumnya masih rendah, rata-rata 63%. Intensitas kontak antara petani penyakap dengan penyuluh pertanian pada umumnya rendah, informasi teknologi lebih sering diperoleh dari petugas sales atau petani tetangga. Oleh karena itu, penyuluhan perlu lebih memprioritaskan kepada petani penyakap dan petani yang memiliki lahan sempit, kurang dari 0,34 ha/RTP, yang merupakan bagian terbesar dari pelaku usahatani padi di Jawa. Masih rendahnya penguasaan teknologi oleh petani memberikan implikasi perlunya peningkatan penguasaan teknologi oleh penyuluh pertanian, dengan meningkatkan hubungan kerja fungsional yang lebih intensif antara penyuluh dengan peneliti. Penyakapan diperkirakan akan terus meningkat porsinya karena banyaknya petani yang tidak mempunyai lahan. Diperlukan ketentuan baku pembagian hasil panen yang saling menguntungkan antara pemilik lahan dan petani penyakap, dan secara keseluruhan perlu dibangun sistem insentif ekonomi bagi petani padi dalam sistem produksi pangan nasional.