Browsing by Author "Poermadjaja, Bagoes"
Now showing 1 - 20 of 20
Results Per Page
Sort Options
- ItemAnalisa Ekonomi Veteriner Pemeliharaan Ayam Petelur Spesific Antibody Negatif (SAN) Sebagai Penyedia TAB di IKHP BBVet Wates(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Untari, Heni Dwi; Suryanto, Basuki Rochmat; Suprihatin; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanInstalasi Kandang Hewan Percobaan (IKHP) Balai Besar Veteriner Wates memelihara ayam petelur dengan tujuan utama memproduksi telur ayam bertunas (TAB) untuk media isolasi virus di laboratorium Virologi. Ayam dipelihara tanpa pemberian vaksin untuk mendapatkan produk telur ayam bertunas Spesific Antibody Negatif (SAN). Penelitian ini bertujuan untuk menilai biaya dan manfaat pemeliharaan ayam petelur di IKHP dibandingkan dengan pengadaan TAB dari pembelian. Variabel yang digunakan adalah input (biaya produksi) dan output (hasil produksi). Variabel operasional dari penelitian ini mencakup analisa produksi, ekonomi veteriner, dari pemeliharaan ayam petelur SAN. Metode yang digunakan adalah metode analisa deskriptif melalui survei dan observasi. Dari hasil kajian ini diketahui bahwa pemeliharaan ayam SAN di BBVet Wates mengalami peningkatan jumlah populasi, tahun 2018 sejumlah 125 ekor dan tahun 2019 menjadi 170 ekor, produksi telur utuh yang dihasilkan rata-rata 1000 butir perbulan. Kesimpulan dari kajian ini bahwa pemeliharaan ayam petelur SAN di IKHP BBVet Wates didapatkan data bahwa angka Break Even Point (BEP) harga telur adalah Rp 13.743.98,- perbutir, nilai ini lebih hemat dan efisien dibandingkan pengadaan telur dari pemasok luar yang berkisar dari Rp 15.000,- untuk telur SAN atau clean egg dan Rp 35.000,- sampai dengan Rp 100.000,- per butir untuk telur SPF (Specific Pathogen Free). Angka R/C Return Cost Ratio didapatkan nilai 1,16 sehingga disarankan pemeliharaan ayam petelur SAN di IKHP BBVet Wates layak untuk tetap dilanjutkan. Pemanfaatan telur SAN dipertimbangkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan laboratorium Virologi BBVet Wates melainkan laboratorium dari instansi lain.
- ItemCemaran Timbal pada Ternak di TPA Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Susilaningrum, Siwi; Sutopo; Wibawa, Hendra; Arif, Didik; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanSesuai dengan Undang-Undang No.18/2008 tentang pengelolaan sampah yaitu sistem sanitary landfill yaitu perataan, pemadatan, dan penutupan lapisan sampah memerlukan kondisi yang kondusif yaitu salah satunya bebas dari gangguan ternak. Tempat Pembuangan Ahkir (TPA) sampah berisiko tinggi terhadap pencemaran berbagai polutan. Ternak yang digembalakan dan mengkonsumsi limbah atau sampah di TPA akan sangat berbahaya bila ternak tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai sumber pangan manusia. Dilakukan Investigasi dengan tujuan mengetahui ada dan tidaknya logam berat Pb pada sapi yang dipelihara di area TPA Piyungan yang bersifat observasional dengan metode pengambilan sampel darah sapi secara acak, pengisian kuisener dan pengujian laboratorium dengan metode Atomic Absorption Spectrofotometric (AAS). Hasil pengujian 19 sampel darah sapi diperoleh hasil 6 sampel tidak terdeteksi Pb dan 13 sampel terdeteksi Pb (rata-rata 2,69 mg/kg). Selanjutnya dilakukan pemilahan ternak sapi jantan-betina, muda dewasa dan kebebasan dalam memilih pakan. Hasil pengujian kadar Pb dalam darah 14 betina rerata 1,14 mg/kg dan 5 jantan rerata 1,71 mg/kg. Sapi muda (2 bulan - < 2,5 tahun) 5 sampel rerata 2,97 mg/kg dan dewasa (2,5 tahun - 10 tahun) 10 sampel 0,686 mg/kg. Terakhir, 8 sampel dari kelompok sapi yang pakannya diambilkan dari TPA rerata 1,67 mg/kg dan 11 sampel dari kelompok sapi yang digembalakan di TPA rerata 1,013 mg/kg. Hasil investigasi menunjukkan bahwa sapi-sapi yang memakan sampah terdeteksi kandungan Pb melebihi standart Maksimum Residu Limit (MRL) WHO 0,10 mg/kg dan standart MRL Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) 1,0 mg/kg. Perlu penelitian lebih lanjut tentang distribusi logam berat Pb dalam berbagai jaringan tubuh ternak yang digembalakan di TPA dan dilakukan penyuluhan kepada warga yang bertempat tinggal di area TPA tentang bahaya logam berat bagi kesehatan dan perlu dilakukan bimbingan teknis pemeliharaan sapi yang lebih baik.
- ItemDeteksi Deoxyribonucleic Acid (DNA) Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) dengan Teknik Realtime Polymerase Chain Reaction (PCR) pada Sampel Semen Sapi dan Embrio Tahun 2019(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Famia, Zaza; Lestari; Nurbintara, Muhammad Ridwan; Wibawa, Hendra; Pramastuti, Ira; Yuanita, Vika; Mulyawan, Herdiyanto; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanPenyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) disebabkan oleh infeksi virus bovine herpes virus 1 (BHV-1). Virus ini masuk dalam famili Herpesviridae yang memiliki untai dasar double stranded deoxyribonucleic acid (DNA) dan memiliki glikoprotein utama (glikoprotein B (gB), gC dan gD). Tujuan penelitian ini untuk mendeteksi DNA virus IBR pada sampel semen sapi dan embrio sapi sebagai upaya pengamanan dan pengendalian penyakit hewan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perbibitan sehingga dapat diperoleh benih dan bibit ternak yang berkualitas dan bebas dari penyakit IBR. Jenis sampel terdiri dari 256 sampel semen dari UPT BIB Singosari, dan BIBD Pakem Kabupaten Sleman, dan 37 sampel embrio dari BET Cipelang Kabupaten Bogor hasil surveilans aktif tahun 2019. Pengujian dilakukan dengan teknik realtime polymerase chain reaction (PCR) menggunakan gen glikoprotein B (gB). Teknik ini lebih cepat dan mudah sehingga akan mampu mendeteksi keberadaan virus IBR yang bersifat laten secara dini. Hasil uji realtime PCR IBR pada 256 sampel semen dan 37 embrio diperoleh 5 sampel semen (1,95%) positif IBR, sedangkan sampel embrio semua hasil negatif IBR. Kesimpulan yang didapat bahwa sampel semen terdeteksi BHV-1 dengan teknik realtime PCR IBR dan sampel embrio tidak terdeteksi BHV-1. Saran yang bisa diberikan yaitu UPT Perbibitan hendaknya melakukan pemeriksaan rutin dilakukan untuk sampel semen dan embrio untuk memonitoring dan mencegah penularan penyakit IBR dan sapiāsapi yang ada di UPT Perbibitan hendaknya dihindarkan dari faktor-faktor yang menyebabkan latensi.
- ItemDeteksi Virus Pada Level Family Menggunakan Protokol Predict(Balai Besar Veteriner Maros, 2015) Muflihanah; Fitrahadiyani; Said, Sitti Hartati; Poermadjaja, Bagoes; Wibawa, Hendra; Andhesfas, Ernes; Hartaningsih, Nining; Pamungkas, Joko; Saepuloh, Uus; Idris, Syafrison; RamlanDalam upaya respon cepat dan identifikasi penyakit menular baru yang bisa meniadi ancaman bagi kesehatan manusia maka diperlukan suatu protokol. PREDICT merupakan bagian program Emerging Pandemic Threats (EPD melakukan penelitian yang berfokus pada satwa liar yang paling mungkin membawa penyakit zoonosis. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendeteksi secara dini emerging and re-emerging diseases yang disebabkan oleh virus melalui beberapa target family dan genus pada unggas serta mamalia serta mempelajari kemungkinan adanya interface penularan penyakit dari safwa liar ke temak. Lima belas sampel unggas dan tiga puluh delapan sampel mamalia koleksi Balai Besar Veteriner Maros dideteksi terhadap family Orthomlncovirus (virus Influenza A), Paramixovirus, Coronavirus, Herpesvirus dan Picornavirus (Encephalomyocarditis virus) dengan menggunakan teknik PCR dilanjutkan sekuensing berdasarkan protokol PREDICT. Hasil menunjukkan swab itik Kab.Pinrang (MU9) positif terhadap family orthomlncovirzs virus Influenza A. Deteksi Paramycoviras menunjukkan semua sampel unggas negatif. Sampel mamalia negatif terhadap strain Human Coronavirus dan Bat Coronovirus. Swab hidung babi dari Jayapura Papua (MM5) dan Kab. Maros (MMl3), darah kambing dari Takalar (MM 27) positif terhadap Herpesvirus. Deteksi Picornavirus spesifik Encephalomyocarditis virus ditemukan positif pada swab babi dari Kab.Maros (MM14) dan Kota Manado Sulawesi Utara (MM l8) serta swab sapi Bali dari Bombana Sulawesi Tenggara (MM 22). Hasil sekuensing menunjukkan darah kambing dari Kab.Takalar Sulawesi Selatan memiliki kesamaaan genetik 98-99% dengan virus Caprine herpesvirus tipe 2. Swab nasal babi dari Maros Sulawesi Selatan, Manado Sulawesi Utara serta swab nasal sapi dari Bombana Sulawesi Tenggara didapatkan kesamaan genetik 97% dengan Encephalomyocarditis virus isolat Sing-M105-02. Swab itik dari Pinrang Sulawesi Selatan didapatkan kesamaan genetik 94-98 % Influenza A Virus isolatA/duck/victoria/0305-2/2012 (H5N3 ). Terdeteksinya partial gene penyakit emerging dan re-emerging virus pada sampel ternak yaitu virus Caprine Herpesvirus 2 pada kambing akan mengakibatkan implikasi klinis penyakit Malignant Catarrhal Fever (MCF). Virus Encephalomyocarditis yang ditemukan pada babi dan sapi mengakibatkan implikasi peradangan jantung dan gangguan reproduksi pada babi
- ItemGambaran Situasi HPAI pada Beberapa Kompartemen Breeding Farm Unggas di Wilayah Kerja BBVet Wates Periode 2017 sampai dengan 2019(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Lubis, Elly Puspasari; Pramestuti, Ira; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanAvian Influenza merupakan penyakit unggas yang sangat menular, bersifat zoonotik, dan menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi. Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh kematian dan pemusnahan unggas sehingga untuk mencapai keamanan dan kualitas unggas dan produk unggas harus diterapkan cara budidaya ternak yang baik. Untuk meningkatkan status kesehatan hewan dalam breeding farm unggas perlu dilakukan penataan kompartemen (kompartementalisasi) dan penataan zona (zonafikasi) untuk menghasilkan unggas dan produk unggas yang aman dan berkualitas. Tujuan dilakukan kegiatan ini adalah untuk mendeteksi penyakit HPAI pada breeding farm di Wilayah kerja BBVet Wates. Pengambilan sampel menggunakan multi stage random sampling ditujukan untuk pemeriksaan Realtime PCR. Sampel dikoleksi dari swab trachea/kloaka dari beberapa breeding farm dalam periode 2017 ā 2019 dengan tingkat kepercayaan 95% dengan asumsi prevalensi 2%. Sampel swab trachea/kloaka dikumpulkan (dipool) sebanyak 5 sampel per tabung. Besaran sampel yang didapat sebanyak 2.980 (596 pool). Hasil pengujian didapatkan bahwa sebesar 20 pool (3,35%) terdeteksi influenza tipe A dan sebesar 100% tidak terdeteksi Avian Influenza subtipe H5 dan H7. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak bersirkulasinya virus HPAI di breeding farm di wilayah kerja BBVet Wates, tetapi ditemukannya positif influenza tipe A menunjukkan kemungkinan bersirkulasinya virus yang bukan HPAI.
- ItemHasil Investigasi Kasus Kematian dan Penurunan Produksi Telur pada Sentra Peternakan Unggas Komersial di Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta Tahun 2018(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Wibawa, Hendra; Apriliana, Ully Indah; Dharmawan, Rama; Pratamasari, Dewi; Suryanto, Basuki Rochmat; Susanta, Dwi Hari; Farhani, Nur Rohmi; Suhardi; Sari, Desi Puspita; Kumorowati, Enggar; Poermadjaja, BagoesBerbagai permasalahan pernyakit unggas terjadi pada tahun 2017. Walaupun virus Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) H9N2 berhasil diisolasi dari outbreak penyakit penurunan produksi telur pada peternakan layer di awal 2017, terdapat keraguan apakah kasus ini diakibatkan infeksi tunggal virus H9N2 atau ko-infeksi dengan agen lainnya serta dipengaruhi masalah manajemen peternakan. Selain itu, dilaporkan adanya peningkatan kasus kematian pada broiler sejak pertengahan 2017. Investigasi kasus dilakukan Balai Besar Veteriner Wates dengan tujuan untuk mengetahui distribusi kasus di lapangan, penyebab penyakit, dan faktor resiko yang berkaitan dengan penurunan produksi telur dan kematian pada sentra peternakan unggas komersial di Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Metodologi investigasi meliputi pemilihan daerah berdasarkan laporan kasus dan resiko penyakit di daerah populasi tinggi unggas komersial layer, broiler, dan ayam jawa super di 10 kabupaten (Kendal, Semarang, Karanganyar, Sleman, Bojonegoro, Lamongan, Tulungagung, Blitar, Kediri, dan Malang), pengambilan sampel, wawancara dengan peternak, dan uji laboratorium untuk diagnosis dan deteksi agen penyakit, serta identifikasi faktor resiko dengan pendekatan case-control study. Jumlah peternakan yang disurvei sebanyak 58 peternakan komersial Sektor-3, terdiri dari: 35 peternakan layer (550 ekor), 20 broiler (340 ekor), dan 3 jawa super (45 ekor). Definisi kasus ditetapkan berdasarkan tanda klinis: pada layer adalah penurunan produksi telur > 40% dengan atau tanpa disertai kematian; pada broiler dan jawa super adalah gangguan pernafasan, pencernaan, motorik, atau pertumbuhan diikuti kematian > 10%. Teridentifikasi 27 peternakan kasus (case) dan 31 peternakan non-kasus (control). Kasus pada layer terjadi sejak Maret 2017; kematian sporadik pada broiler terjadi pada Juli, September, Desember 2017 dan Januari 2018; dan kematian pada Jawa super terjadi pada November-Desember 2017. Kasus penurunan produksi telur > 40% ditemukan di semua kabupaten, dimana 14 dari 19 kasus pada layer (73.7%) memiliki tanda klinis gangguan pernafasan dan penurunan produksi. Pada broiler dan jawa super, 6 dari 8 kasus penyakit (75.0%) memiliki tanda klinis berak putih, stunting, kesusahan berjalan, dan kematian. Lebih dari 69% unggas layer menunjukkan respon antibodi tinggi (titer HI > 16) terhadap virus ND, AI subtipe H5 (AI-H5), dan AI subtipe H9 (AI-H9). Sebaliknya, proporsi antibodi tinggi terhadap ND, AI-H5, AIH9 pada unggas broiler dan jawa super bervariasi dari 7-51%. Virus AI-H9 tidak terdeteksi di semua peternakan, tetapi virus AI-H5, virus ND, bakteri Mycoplasma gallisepticum, parasit Eimeria sp., perubahan histopatologis inclusion body hepatitis (IBH), kadar protein kasar yang rendah (<18%), dan kandungan aflatoxin yang tinggi (>50 Āµg/Kg) berhasil dideteksi dari beberapa peternakan dengan tanda-tanda klinis di atas. Hasil ini mengindikasikan bahwa kasus penyakit pada unggas komersial tidak hanya disebabkan oleh infeksi tunggal agen, tetapi lebih bersifat multifaktor, melibatkan beberapa agen dan dipengaruhi kondisi lingkungan/manajemen peternakan. Investigasi lanjutan diperlukan untuk mengetahui apakah antibodi tinggi terhadap H9 disebabkan kekebalan vaksinasi atau akibat paparan infeksi virus AI H9 lapang. Biosekuriti dan manajemen, termasuk perbaikan mutu pakan dan peningkatan kekebalan unggas melalui vaksinasi, perlu ditingkatkan untuk mencegah kasus serupa di masa mendatang.
- ItemIdentifikasi dan Karakterisasi Genetik Virus Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) Subtipe H7N1 dan H10N2 pada Itik dengan Teknik Next Generation Sequencing (NGS)(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Lestari; Wibawa, Hendra; Lubis, Elly Puspasari; Rahayu, Rina Astuti; Pramastuti, Ira; Famia, Zaza; Yuanita, Vika; Mulyawan, Herdiyanto; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanVirus avian influenza (AI) dikategorikan menjadi beberapa subtipe berdasarkan determinan antigen yang terdapat pada protein permukaan hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) yang dimilikinya. Itik termasuk salah satu unggas air yang merupakan reservoir alami virus AI. Semua subtipe virus AI pernah diisolasi dari unggas air tersebut. Namun, penelitian tentang subtipe selain H5N1 dan H9N2 pada itik di Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengarakterisasi secara genetik subtipe virus avian influenza yang diisolasi dari itik yang terdeteksi positif influenza tipe A namun negatif subtipe H5N1 dan H9N2. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel/isolat virus AI asal unggas itik yang telah terdeteksi positif virus influenza tipe A (positif gen matrik) dan negatif subtipe H5 dan H9 dengan pengujian realtime RT-PCR. Multi-segmen konvensional RT-PCR digunakan untuk mengamplifikasi genom virus AI kemudian dilanjutkan sequensing genom utuh virus dengan teknik Next Generation Sequencing (NGS). Analisis hasil sequensing dilakukan dengan software CLC Genomic Workbench. Analisis genetik dan filogenetik menggunakan konstruksi neighbor-joining tree dengan nilai replikasi bootstrap sebanyak 1000 kali menggunakan software Mega v7. Berdasarkan analisis molekuler menunjukkan bahwa gen HA dan NA virus-virus dalam penelitian ini termasuk dalam subtipe H7N1 dan H10N2. Karakterisasi genetik menunjukkan bahwa semua virus memiliki residu asam amino single basic pada HA cleavage site yang mengindikasikan low pathogenic avian influenza (LPAI). Analisis gen internal PB2 menunjukkan bahwa semua virus tidak memiliki substitusi asam amino E pada posisi 627 menjadi K (E237K) mengindikasikan tingkat virulensi yang rendah pada mamalia. Analisis terhadap resistensi obat-obatan antiviral pada gen NA menunjukkan asam-asam amino E119 dan H275 serta pada gen M2 menunjukkan asam-asam amino L26, V27 dan S31 mengindikasikan bahwa virus-virus tersebut sensitif terhadap obat-obatan antiviral. Desain primer-primer baru dalam pengujian PCR untuk mendeteksi virus AI subtype selain H5NI dan H9N2 perlu dikembangkan dan karakterisasi genetik rutin sebaiknya terus dilakukan guna mendeteksi dini semua subtype virus-virus avian influenza yang bersirkulasi di lapangan.
- ItemIdentifikasi Penyebab Kasus Gangguan Reproduksi pada Sapi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2015 dan 2017(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Sudarsono, Indarto; Poermadjaja, Bagoes; Ikaratri, RosmitaKegiatan Penanggulangan Gangguan Reproduksi telah digulirkan oleh pemerintah melalui GBIB tahun 2015 dan UPSUS SIWAB tahun 2017, tujuan dari kegiatan tersebut untuk meningkatkan produksi daging sapi menuju swasembada daging sapi. Balai Besar Veteriner Wates mendapat alokasi sejumlah anggaran untuk melaksanakan kegiatan Penanggulangan Gangguan Reproduksi di wilayah D.I Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hasil kegiatan menunjukkan perbedaan prosentase diagnosa gangguan reproduksi. Beberapa kasus gangguan reproduksi ada yang mengalami penurunan, sedangkan yang lainnya justru mengalami kenaikan.Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penurunan dan kenaikan kasus gangguan reproduksi beberapa penyebab perubahan hasil diagnosa gangguan reproduksi pada tahun 2015 dan 2017. Materi dan metode yang digunakan dengan mengumpulkan data hasil diagnosa gangguan reproduksi tahun 2015 dan 2017, membandingkan hasil diagnosanya, melihat faktor-faktor yang berisiko mempengaruhi perubahan hasil diagnosa gangguan reproduksi pada 2 tahun tersebut, kemudian menganalisis penyebab-penyebabnya. Hasil dan pembahasan, dari hasil kajian diagnosa gangguan reproduksi tahun 2015 dan 2017 menunjukkan penurunan kasus Hypofungsi dari 38,5% menjadi 31,8%, sedangkan kasus endometritis mengalami kenaikan dari 2,5% menjadi 7,0%. Berbagai penyebab yang bisa menurunkan kasus hypofungsi salah satunya adalah treatment premiks, sedangkan peningkatan kasus metritis juga bisa disebabkan berbagai hal, salah satunya akibat kurang aseptisnya pelayanan reproduksi.
- ItemIdentifikasi Virus Reassortant H5N1 Clade 2.3.2.1C dari Outbreak Highly Pathogenic Avian Influenza pada Unggas di Indonesia Tahun 2015-2016(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Wibawa, Hendra; Dharmawan, Rama; Mulyawan, Herdiyanto; Mahawan, Trian; Srihanto, Eko A; Miswati, Yuli; Hutagaol, Nensy M; Riyadi, Arif; Hartawan, Dinar H.W.; Hendrawati, Ferra; Deswarni; Zenal, Farida C; Hartaningsih, Nining; Poermadjaja, BagoesSalah satu sifat virus avian influenza (AI), termasuk virus dari kelompok ganas atau highly pathogenic AI (HPAI) subtipe H5N1, adalah kemampuan untuk terus berubah melalui mekanisme mutasi (mutation) dan persilangan/reasorsi (reassortment) genetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengkharakterisasi virus-virus H5N1 terkini dengan pendekatan whole genome sequencing dan analisis bioinformatika virus AI. Teknik Next Generation Sequncing (NGS) digunakan untuk sekuensing sampel-sampel yang dikoleksi oleh Balai Besar Veteriner/Balai Veteriner di seluruh Indoesia dari kasus kematian unggas yang meningkat dari Desember 2015-April 2016. Hasil sekuens penuh (full-length) genom virus AI (terdiri dari 8 segmen: PB2, PB1, PA, HA, NP, NA, MP, NS) diblast dalam database genom influenza di Genbank, dilanjutkan analisa filogenetik, dan kharakterisasi asam-asam amino yang berperan dalam patogenesis virus HPAI. Hasil studi menunjukkan bahwa reassorsi genetik teridentifikasi pada beberapa segmen gen internal (PB2, M dan NS) dari virus H5N1 yang saat ini dominan ditemukan pada unggas di Indonesia (clade 2.3.2.1) dengan virus H5N1 yang dideteksi sebelumya (clade 2.1.3.2). Selain itu juga terdeteksi adanya virus-virus reassortant HPAI H5N1 Clade 2.3.2.1 yang memiliki segmen gen internal PB2 yang diduga berasal dari virus low pathogenic AI (LPAI). Hasil ini mengindikasikan adanya sirkulasi bersama beberapa virus AI dari jenis clade dan subtipe yang berbeda-beda sebelum terjadi peningkatan outbreak HPAI pada awal 2016, yang berdampak terjadinya infeksi campuran (co-infection) pada satu spesies inang sehingga menghasilkan virus-virus reassortant. Surveilans pada aras molekuler sangat dibutuhkan untuk terus memonitor perkembangan evolusi virus AI di Indonesia
- ItemInvestigasi Kematian Ternak Ruminansia Akibat Antraks di Kecamatan Ponjong Gunungkidul Januari 2020(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Ruhiat, Endang; Susanta, Dwi Hari; Wibawa, Hendra; Poermadjaja, Bagoes; Handoko, Anton; Ludiro, Agung; Triana, Nanik; Nugraha, Devi Ardi; Direktorat Kesehatan HewanTelah terjadi kematian sapi dan kambing pada tanggal 16 sampai dengan akhir Desember 2019 di Dusun Ngrejek Wetan dan Ngrejek Kulon, Desa Gombang, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul. Kematian ternak tersebut terjadi secara beruntun dalam waktu yang berdekatan. Investigasi dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Wates (BBVet) dan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul pada tanggal 3 dan 4 Januari 2020. Investigasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab kematian ternak, mengetahui pola penyebaran penyakit dan identifikasi faktor risiko yang berperan dalam menimbulkan kejadian penyakit tersebut. Desain studi yang digunakan yaitu kasus kontrol. Definis kasus yang ditetapkan yaitu sapi dan kambing dengan gejala klinis kejang-kejang, ambruk dan dipotong paksa dengan hasil uji laboratorium terhadap sampel tanah dari lokasi penyembelihan positif Bacillus anthracis. Sedangkan unit epidemiologinya yaitu peternak. Metode uji laboratorium yang dilakukan yaitu uji āgold standardā yaitu dengan metode kultur pada media agar darah dan pewarnaan polychrome petheylen blue sedangkan analisa data dilakukan secara deskriptif dan analitik. Jumlah ternak yang mati sebanyak 3 ekor sapi dan 6 ekor kambing. Sampel yang diuji berupa sampel tanah yang diperoleh dari lokasi pemotongan dan penguburan ternak. Mortalitas ternak sebesar 4,5% (level dusun). Hasil perhitungan odds ratio (OR) faktor risiko jenis ternak, jenis pakan, pengetahuan, perlakuan terhadap ternak sakit yang dipotong dan jika ternak mati dilaporkan tidak memiliki hubungan bermakana dan signifikan terhadap terjadinya kasus antraks. Kematian ternak disebabkan agen penyakit bakteri B. anthracis. Sumber infeksi berasal dari ternak baru (kambing) yang dibeli di pasar hewan tanpa dilakukan tindakan karantina terlebih dahulu dan faktor risiko penyebaran antraks terbatas disebabkan adanya aktivitas peternak/masyarakat yang melakukan penyebelihan ternak sakit dan mati mendadak tanpa pengawasan petugas berwenang (dokter hewan).
- ItemInvestigasi Outbreak Keracunan Pestisida di Gresik Tahun 2019 : Studi Case Control(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Suryanto, Basuki Rohmat; Herman; Poermadjaja, Bagoes; Zunarto, Sugeng; Direktorat Kesehatan HewanInvestigasi ini dilakukan terhadap laporan kematian mendadak pada domba, kambing dan sapi dengan gejala klinis kejang dan gangguan syaraf di desa Sukorejo Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik. Studi dan penyidikan dilakukan dengan Studi Case Control. Kelompok kasus didefinisikan sebagai ternak yang mengalami kematian dan kelompok kontrol sebagai ternak yang tidak mengalami kematian. Unit epidemiologi ditetapakan menggunakan satuan ternak. Pengujian contoh berupa kultur Anthrax dari tanah , darah, rumput dan sisa pakan serta pengujian residu pestisida . Penelusuran terhadap faktor risiko ditemukan bahwa ada perlakuan baru yaitu pemberian kangkung kering giling pada 64,3% peternak. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara , data faktor berpengaruh diolah dengan Tabel 2x2 .Data waktu kejadian divisualisasikan dengan kerangka waktuyang menunjukkan urutan kejadian outbreak kematian ternak. Hasil analisa didapatkan bahwa faktor pemberian pakan tambahan kangkung giling memiliki Odd Ratio 5 kali faktor kematian. Pemeriksaan di laboratorium Kesmavet Balai Besar Veteriner Wates menggunakan alat Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GCMS-QP2010) ditemukannya agen penyebab berupa senyawa arsenous acid pada sample kangkung, isi rumen serta bahan pestisida. Dari hasil kajian investigasi yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terjadinya kematian ternak di Desa Sukorejo, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik tahun 2019 disebabkan oleh keracunan senyawa arsenous acid yang terdapat dalam pakan tambahan kangkung dan rumput. Berdasarkan temuan di lapangan tentang penggunaan pestisida pada proses pengeringan pakan ternak (kangkung) perlu dilakukan sosialisasi dan pengawasan dari dinas terkait untuk mengurangi/menghilangkan dampak buruk pestisida bagi kelangsungan makhluk hidup khususnya hewan dan manusia.
- ItemKasus Kematian pada Kambing Senduro Akibat Goiter di Kabupaten Malang Jawa Timur(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Pratamasari, Dewi; Kumorowati, Enggar; Wibawa, Hendra; Sutopo; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanPada bulan Juli tahun 2019, Balai Besar Veteriner Wates menerima rujukan sampel dari laboratorium Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Malang berupa organ fetus anak kambing Senduro. Sejarah penyakit yang ditemukan antara lain abortus pada usia kebuntingan 2 - 3 bulan, kematian fetus dan anak kambing sampai 20 ekor selama kurun waktu kurang lebih 4 bulan dengan tanda klinis hipertrofi kelenjar tiroid. Populasi keseluruhan kambing yang dipelihara adalah 154 ekor. Kasus tersebut telah terjadi dalam dua periode waktu yaitu pada tahun 2014 dan tahun 2019. Komposisi pakan pada tahun 2014 adalah biji kangkung, bekatul, pollard, bungkil kelapa sawit, tepung ketela pohon, ampas kecap. Komposisi pakan pada tahun 2019 adalah pollard, bungkil kopra, bungkil kedelai, empok jagung, DDGS/Gluten, mineral. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui diagnosa penyebab kematian pada anak kambing Senduro melalui pengujian histopatologi di Balai Besar Veteriner Wates. Hasil pemeriksaan histopatologi pada organ anak kambing betina menunjukkan deskuamasi sel epitel kelenjar tiroid. Pada organ anak kambing jantan menunjukkan hasil serupa yaitu deskuamasi sel epitel tiroid dan deplesi koloid folikel. Sedangkan pada organ lain yaitu esofagus, intestinum, trakhea, jantung, paru, ginjal dan hepar normal. Dari hasil pemeriksaan ini dapat didiagnosa bahwa telah terjadi Hyperplasia Thyroid atau sering disebut Goiter pada anak-anak kambing yang diperiksa. Jenis bahan pakan yang dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia tiroid adalah pakan yang mengandung thiosianat, antara lain adalah kembang kol, biji rami, lobak, dan kangkung. Pemberian biji kangkung dalam komposisi konsentrat pakan kambing yang diperiksa dapat menjadi predisposisi terjadinya defisiensi yodium sehingga mengakibatkan hiperplasia tiroid pada anak kambing yang dilahirkan. Faktor faktor lain seperti stress pada kehamilan dan menyusui juga dapat menyebabkan hiperplasia tiroid. Sebagai pencegahannya bisa dilakukan dengan pemberian kalium iodida pada induk betina yang bunting dan perbaikan komposisi pakannya.
- ItemKasus Pertama Low Pathogenic Avian Influenza Subtipe H9N2 pada Peternakan Ayam Petelur di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan Indonesia(Balai Besar Veteriner Maros, 2017) Muflihanah; Andesfha, , Ernes; Wibawa, Hendra; Zenal, Farida Camallia; Hendrawati, Ferra; Siswani; Wahyuni; Kartini, Dina; Rahayuningtyas, Irma; Hadi, Sulaxono; Mukartini, Sri; Poermadjaja, Bagoes; Rasa, Fadjar Sumping Tjatur; RamlanLow pathogenic avian influenza subtiype H9N2 virus pertama kali didiagnosa pada peternakan ayam layer di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Indonesia pada Desember 2016 dengan gejala klinis berupa gangguan pada saluran pernafasan yang ditandai dengan muka bengkak, sesak nafas, discharge dari hidung, kurang nafsu makan dan feses berwarna kehijauan. Kejadian penyakit terjadi dalam kurun waktu 3 ā 14 hari dengan tingkat mortalitas rata-rata dibawah 5 % dan terjadi penurunan produksi telur sebanyak 50 - 80%. Dari hasil pengujian laboratorium dengan real time PCR menunjukkan positif Avian Influeza Type A, negatif subtype H5 dan H7 serta positif H9. Hasil isolasi virus pada Telur Embrio Bertunas (TAB) dengan uji rapid aglutinasi hasilnya tidak mengaglutinasi sel darah merah. Hasil histopatologi pada jaringan organ menunjukkan hasil suspect terhadap virus. Pengujian laboratorium dengan menggunakan teknik isolasi virus dan real time PCR. Dari isolasi virus setelah dilakukan penanaman di telur embrio, menunjukkan terjadi kematian embrio, seluruh organ embrio mengalami pendarahan, tetapi cairan allantois tidak mengaglutinasi sel darah merah ayam. Kemudian cairan allantois diambil untuk pengujian real time PCR menunjukkan hasil positif tipe A, negatif H5, negatif H7 dan positif H9. Hasil Sequencing terhadap tiga isolat A/Chicken/Sidrap/07161511-1/2016, A/Chicken/Sidrap/07161511-61/2016, A/Chicken/Sidrap/07170094-44OA/2017 memiliki kesamaan genetik 98% H9N2. Hasil pohon filogentik menunjukkan sampel yang diuji nampak dari kelompok atau lineage Asia Y280-H9N2
- ItemKasus Pertama Low Pathogenic Avian Influenza Subtipe H9N2 pada Peternakan Ayam Petelur di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan Indonesia(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Muflihanah; Andesfha, Ernes; Wibawa, Hendra; Zenal, Farida Camallia; Hendrawati, Ferra; Siswani; Wahyuni; Kartini, Dina; Rahayuningtyas, Irma; Hadi, Sulaxono; Mukartini, Sri; Poermadjaja, Bagoes; Rasa, Fadjar Sumping TjaturLow pathogenic avian influenza subtiype H9N2 virus pertama kali didiagnosa pada peternakan ayam layer di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Indonesia pada Desember 2016 dengan gejala klinis berupa gangguan pada saluran pernafasan yang ditandai dengan muka bengkak, sesak nafas, discharge dari hidung, kurang nafsu makan dan feses berwarna kehijauan. Kejadian penyakit terjadi dalam kurun waktu 3 ā 14 hari dengan tingkat mortalitas rata-rata dibawah 5 % dan terjadi penurunan produksi telur sebanyak 50 - 80%. Dari hasil pengujian laboratorium dengan real time PCR menunjukkan positif Avian Influeza Type A, negatif subtype H5 dan H7 serta positif H9. Hasil isolasi virus pada Telur Embrio Bertunas (TAB) dengan uji rapid aglutinasi hasilnya tidak mengaglutinasi sel darah merah. Hasil histopatologi pada jaringan organ menunjukkan hasil suspect terhadap virus. Pengujian laboratorium dengan menggunakan teknik isolasi virus dan real time PCR. Dari isolasi virus setelah dilakukan penanaman di telur embrio, menunjukkan terjadi kematian embrio, seluruh organ embrio mengalami pendarahan, tetapi cairan allantois tidak mengaglutinasi sel darah merah ayam. Kemudian cairan allantois diambil untuk pengujian real time PCR menunjukkan hasil positif tipe A, negatif H5, negatif H7 dan positif H9. Hasil Sequencing terhadap tiga isolat A/Chicken/Sidrap/07161511-1/2016, A/Chicken/ Sidrap/07161511-61/2016, A/Chicken/Sidrap/07170094-44OA/2017 memiliki kesamaan genetik 98% H9N2. Hasil pohon filogentik menunjukkan sampel yang diuji nampak dari kelompok atau lineage Asia Y280-H9N2.
- ItemPartial Budget Analysis Rekomendasi Pemberian Premiks pada Sapi Penderita Gangguan Reproduksi di Provinsi DI.Yogyakarta Pasca Program Upsus Siwab(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Suryanto, Basuki Rochmat; Ika, Caecilia; Widyaningsih, Tri; Poermadjaja, BagoesEkonomi dapat memberikan informasi yang akan membantu dalam pengambilan keputusan kesehatan hewan untuk mengalokasikan sumber daya secara efektif. Analisis ekonomi juga memberikan informasi tentang nilai sosial investasi dan memungkinkan diperolehnya informasi yang lebih baik untuk pengambilan keputusan ( Roshton, 2017). Partial Budget Analysis merupakan sebuah alat/ model analisis untuk mengukur berbagai perubahan dalam usaha. Kajian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang nilai manfaat dan beaya untuk intervensi berupa pemberian premiks dengan kandungan vitamin dan mineral lengkap, sebagai upaya pencegahan gangguan reproduksi pada sapi di wilayah D.I Yogyakarta. Penghitungan Partial Budget Analysis dilakukan dengan menginventarisir berbagai factor yang berkaitan dalam bidang finansial peternakan, antara lain : program pemberian premiks kepada aseptor program gangrep, pendapatan tambahan serta anggaran yang harus dikeluarkan. Parameter yang dinilai adalah Net Present Value ( NPV ), Benefit Cost Ratio ( BCR ) dan Internal Rate Of Return ( IRR ) sebagai nilai kelayakan terhadap intervensi dan investasi yang dilakukan. Pada kajian ini sebagai baseline Partial Budget Analysis adalah Program Penanggulangan Gangguan Reproduksi berupa pemberian premiks,vitamin, hormon dan obat cacing. Apabila program UPSUS SIWAB berhenti maka skenario intervensi dalam kajian ini adalah pemberian premiks sebagai program yang direkomendasikan untuk dilakukan pemerintah daerah. Hasil dari perhitungan dengan metode Partial Budget Analysis didapatkan NPV sebesar Rp 37.154.391.440. BCR sebesar 9.6 dan IRR sebesar 644.72% yang dapat dimaknai bahwa program pemberian premiks dengan kandungan vitamin dan mineral lengkap dapat digunakan sebagai program lanjutan secara mandiri oleh lembaga yang menangani peternakan, setelah program penanggulangan Gangguan Reproduksi berakhir.
- ItemPemeriksaan Status Kesehatan Banteng Sebelum Dilepasliarkan di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Susilaningrum, Siwi; Sutadi; Isnaini, Fauzan; Arif, Didik; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanDalam rangka mendukung proses pelepasliaran satwa untuk meningkatkan populasi banteng di Taman Nasional Baluran, Tim Balai Besar Veteriner Wates pada tanggal 24-26 Februari 2020 melakukan pengambilan sampel darah, serum, feses dan swab hidung dan dilanjutkan pengujian laboratorium untuk deteksi agen penyakit hewan menular (PHM) yaitu Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Viral Diarrhea (BVD), Paratubercullosis (ParaTB), Antraks, Septicaemia Epizootica (SE), parasit gastrointestinal dan parasit darah serta gambaran hematologi darah sebelum dilepasliarkan. Hasil pengujian terhadap penyakit hewan menular menunjukkan bahwa secara medis satwa banteng dalam kondisi sehat dan siap untuk dilepasliarkan namun perlu dilakukan pemberian suplemen ataupun vitamin untuk meningkatkan status kesehatan yang lebih baik. Pada periksaan hematologi nilai MCV dan N/L diatas normal akibat dari kekurangan faktor pembentukan darah dan stress. Pemeriksaan klinis secara rutin, penentuan asal satwa, habituasi satwa, penyiapan tempat pelepasan dan monitoring pasca pelepasan, hasil pengujian laboratorium dapat membantu pemulihan populasi banteng di Taman Nasional Baluran, Situbondo.
- ItemPeneguhan Diagnosa dengan Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sekuensing DNA terhadap Temuan Patologi Inclusion Body Hepatitis (IBH) pada Kasus Kematian Broiler di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta(2019) Famia, Zaza; Pratamasari, Dewi; Wibawa, Hendra; Sulistyorini, Dwi; Poermadjaja, BagoesPenyakit Inclusion Body Hepatitis (IBH) disebabkan oleh infeksi Fowl adenovirus (FAdVs). Virus ini masuk dalam kelompok Avian Adenovirus I (AAV-I) yang memiliki 12 serotype (1-11) dan 5 spesies group (A-E). Telah dilaporkan kasus kematian di atas 10% di salah satu peternakan unggas ayam pedaging (brioler) di Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta pada bulan April Tahun 2018. FAdVs diduga sebagai salah satu agen penyakit yang menyebabkan kasus kematian pada broiler disertai perubahan anatomi jaringan terutama pembesaran hati dan ciri patologis inclusion body hepatitis (IBH) sehingga sering disebut sebagai virus IBH. Dugaan ini berdasarkan keterangan peternak, pengamatan gejala klinis dan penilaian pola kematian oleh dokter hewan dinas, serta hasil pemeriksaan patologi anotomi dan histopatologi di Laboratorium Patologi, BBVet Wates. Namun, data dan hasil pengamatan/pemeriksaan ini perlu dikonļ¬ rmasi dengan pengujian yang lebih mendekati ketepatan diagnosa, salah satunya dengan uji biologi molekuler polymerase chain reaction (PCR). Teknik PCR dengan menggunakan primer-primer spesiļ¬ k yang digunakan untuk deteksi gen penyandi antigen permukaan (Hexon) dari FAdVs. Sampel yang diuji berasal dari kiriman petugas Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan) Galur dari Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kulon Progo. Sampel yang dikirim berupa organ/jaringan dari ayam broiler yang menderita sakit atau baru saja mati, antara lain organ: hati, proventriculus, gizzard, ginjal, dan usus yang diambil dari kasus kematian unggas broiler di Desa Banaran, Kecamatan Galur. Hasil pengujian PCR dari organ-organ tersebut menunjukkan produk ampliļ¬ kasi dari primer-primer Hexon yaitu pita/band DNA spesiļ¬ k dengan panjang kurang lebih 897-bp. Produk PCR berhasil disekuensing dan hasil blast analysis menunjukkan positif FAdV Group E Serotipe 8b. Hasil ini meneguhkan pemeriksaan sebelumnya yang telah mendiskripsikan perubahan anatomi dan histologi (patologi dan histopatologi) organ hati yang mencirikan penyakit IBH.
- ItemPenyidikan Kejadian Kematian Itik yang diduga disebabkan oleh Duck Hepatitis Virus di Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan(Perpustakaan Balai Besar Veteriner Maros, 2015-05) Mutisari, Dewi; Djatmikowati, Titis Furi; Wahyuni; Poermadjaja, Bagoes; Ratna; Pitriani; Balai Besar Veteriner MarosDuck hepatitis merupakan penyakit viral yang fatal pada itik muda yang disebabkan oleh Duck Hepatitis Virus (DHV). Penyakit ini dapat menyebabkan opisthotonus dan hepatitis, dan menyebar dengan cepat di dalam flok dengan mortalitas sampai 95% sejak gejala klinis muncul. Pada akhir Januari 2015 Balai Besar Veteriner Maros melaksanakan investigasi terhadap kematian itik di lingkungan Lembang Loe, kelurahan Balang, kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan dengan gejala klinis; itik lemah/lesu seperti mengantuk, gangguan pernafasan, tremor, paralisis sayap, tortikolis (leher terpuntir, kaki dan badan berputar-putar). Investigasi di lapangan tersebut bertujuan untuk melakukan penyidikan dan penelusuran kasus serta melakukan pengambilan spesimen. Investigasi dilakukan dengan pegumpulkan data epidemiologis, pengamatan gejala klinis, pengamatan perubahan patologi anatomi, pengambilan spesimen, dan pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan organ itik ditemukan perubahan berupa hemoragi pada berbagai organ dengan perubahan yang menciri pada hati yaitu hati membesar, kehijaun, infark, dan nodul putih kekuningan. Diagnosa sementara hasil lapangan adalah Very Virulent New Castle Disease (VVND) dan Avian Influenza (AI). Hasil uji laboratorium diperoleh bahwa isolasi AI dan ND negatif. Berdasarkan pemeriksaan mikroskopik histopatologi ditemukan perubahan berupa hemoragi multifokal pada berbagai organ, pada hati terjadi perubahan yaitu nekrotik multifokal, proliferasi ductus biliverus, infiltrasi limfositik dan peningkatan apoptosis sel. Peningkatan apoptosis sel merupakan gambaran patognomonis dari penyakit duck hepatitis. Konfirmasi laboratorium dengan PCR masih dalam proses. Dari hasil di atas disimpulkan bahwa; kematian itik di Kabupaten Jeneponto diduga disebabkan oleh penyakit duck hepatitis.
- ItemProporsi Penyakit Hewan Menular di Unit Pelayanan Teknis Perbibitan Wil.Ker BBVET Wates, Tahun 2015-2020(Direktorat Kesehatan Hewan, 2020) Susilaningrum, Siwi; Imran, Kuswari; Wibawa, Hendra; Parmini, Tri; Poermadjaja, Bagoes; Direktorat Kesehatan HewanSesuai dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, definisi bibit adalah hewan yang mempunyai sifat unggul dan mewariskan serta memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan. Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha perbibitan dan atau pembenihan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan/ atau bakalan. Selanjutnya, Menteri Pertanian menerbitkan Permentan Nomor 36/Permentan/OT.140/8/2006 tentang sistem perbibitan nasional yang menjamin tersedianya bibit ternak yang memenuhi kebutuhan dalam hal jumlah, standar mutu, syarat kesehatan, syarat keamanan hayati, serta terjaga keberlanjutan yang dapat menjamin terselenggara usaha budidaya peternakan. Dari hasil pengujian dari tahun 2015-2019 diperoleh rerata prevalensi brucellosis, anthraks, trichomonosis, Septicaemia Epizootica (SE) dan Camphylobacter sp. 0%, ParaTb 1,14%, IBR 59,64%, BVD 0.40%, nematoda 19,7%, coccidia 12,2%, Cestodosis 0,942%, fasciolosis 0,23%, anaplasmosis 1.72%, theleriosis 7.1%, mikrofilaria 0% dan babesiosis 0,0004%. Data kasus tertinggi penyakit IBR 71,14% (tahun 2019); ParaTB 1.82% (tahun 2017); BVD 0.90% (tahun 2019) ; parasit gastrointestinal nematodosis 32.30% (tahun 2016); coccidiosis 23,29% (tahun 2018); Cestodosis 2,28% (tahun 2018); Fasciolosis 0,68% (tahun 2018); parasit darah anaplasmosis 0,66% (tahun 2018) dan theileriosis 11,47% (tahun 2019). Sedangkan pada anthraks, trichomonosis, Septicaemia Epizootica (SE) dan Camphylobacter sp. masing-masing prevalensi 0%. UPT Perbibitan bekerja sama dengan Balai Veteriner untuk kegiatan surveilans pengamatan kesehatan hewan secara rutin dilakukan. Balai Besar Veteriner Wates selaku unit pelaksana teknis kesehatan hewan sudah melakukan surveilans pengamatan kesehatan hewan UPT Perbibitan di wilayah kerjanya dengan metode pengambilan sampel darah, serum, feses, swab nasal, preputium wash dan vagina wash, pengujian laboratorium terhadap sampel yang diperoleh dan pengumpulan data pengujian terhadap penyakit hewan menular
- ItemStudi Kasus-Kontrol pada Rumah Tangga Miskin Penerima Ayam Program Bedah Kemiskinan Rakyat Sejahtera (#Bekerja) di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purbalingga Tahun 2018(Direktorat Kesehatan Hewan, 2019) Pratamasari, Dewi; Wibawa, Hendra; Fatiyah, Eni; Shantiningsih, Melia Dwi; Susanta, Dwi Hari; Farhani, Nur Rohmi; Susilaningrum, TH. Siwi; Famia, Zaza; Kumorowati, Enggar; Delviana, Rizky Meityas; Kesumaningrum, Nining; Prayitno, Gugus Eka; Poermadjaja, BagoesDalam kegiatan #BEKERJA telah dilaporkan beberapa kasus kematian ayam dalam waktu 1-2 bulan setelah ayam diterima Rumah Tangga Miskin (RTM). Namun, jumlah kematian yang dilaporkan belum jelas penyebab dan faktor-faktor risikonya. Oleh karena itu, BBVet Wates melakukan monitoring menggunakan pendekatan studi kasus-kontrol (case-control study) di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purbalingga, dengan tujuan: a) mengetahui proporsi kematian ayam dengan atau tanpa disertai tanda klinis penyakit, b) mengetahui gambaran pemeliharaan ayam, c) mengetahui faktor-faktor risiko yang berperan terhadap terjadinya kasus penyakit unggas. RTM digunakan sebagai unit epidemiogi, sedangkan kasus dideļ¬ nisikan sebagai kematian ayam lebih dari 20% (>10 dari 50 ekor) pada RTM dan menunjukkan salah satu atau lebih dari tanda klinis penyakit (dijelaskan dalam tulisan). Hasil studi menunjukkan penyusutan ayam #Bekerja disebabkan kematian dan faktor lain (penjualan dan pemotongan ayam oleh RTM). Proporsi kematian ayam yang disertai tanda klinis penyakit mencapai 29.1% di Kabupaten Banyumas dan 27.6% di Kabupaten Purbalingga. Sebagian besar RTM berpendidikan SD/sederajat, tetapi sudah > 5 tahun berpengalaman memelihara ayam sehingga sebagian besar memiliki pengetahuan dasar beternak ayam. Kepala RTM umumnya yang memelihara langsung ayam sehari-hari, dan hanya sebagian kecil dikerjakan orang lain. Sebagian besar RTM menggunakan tipe kandang panggung dan memiliki penerangan di malam hari, tetapi jarang menggunakan alas kandang. Faktor risiko tertinggi terhadap terjadinya penyakit adalah kunjungan RTM ke RTM lain yang tengah atau sebelumnya terjadi kasus (OR=10.48, 95%CI=2.88-53.37, p<0.05). Hal ini dikuatkan dengan hasil analisa kuantitatif keluar-masuk pemilik/RTM ayam ke dalam kandang yang juga tinggi (OR=4.63, 95%CI=1.20-23.85, p<0.05). Ada kemungkinan bahwa pemilik/RTM yang bersangkutan menjadi agen penular terhadap ayamnya sendiri. Bimbingan teknis cara beternak ayam yang baik, peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang risiko penularan penyakit dan bimtek biosekuriti harian kepada RTM perlu ditingkatkan sehingga kasus penyakit dapat ditekan dan ayam akan menghasilkan output dan manfaat lebih kepada RTM.