Browsing by Author "Muhammad Alwi"
Now showing 1 - 5 of 5
Results Per Page
Sort Options
- ItemAMELIORASI DAN PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI DI LAHAN RAWA PASANG SURUT(Balai Pengunjian Standar Instrumen Pertanian Lahan Rawa, 2014) Khairil Anwar; Muhammad AlwiPada lahan rawa pasang surut kedelai banyak ditanam pada lahan potensial. lahan sulfat masam potensial dan lahan gambut dengan tipe luapan B, C, dan D. Umumnya tanah pada tipologi lahan tersebut bersifat sangat masam dan kahat hara sehingga memerlukan pemberian bahan amelioran dan pupuk. Pada lahan sulfat masam potensial dengan pH < 4,0 perlu diberikan kapur sebesar 2-3 t/ha, tetapi apabila pH >4.0 maka cukup diberikan I tha. Pada lahan sulfat masam (pH > 4,0) dan belum pernah ditanami kedelai perlu diberikan rhizobium dan nitrogen sebanyak 22,5 kg N/ha. Pada lahan sulfat masam pH < 4,0 efektifitas rhizobium menurun sehingga diperlukan 45 kg N/ ha. Pada lahan tipe luapan C diperlukan 180 kg P,O/ha dan pada lahan tipe luapan B diperlukan 135 PO/ha. Efek residu P sampai pada musim tanam kelima. Pupuk P dapat diberikan dalam bentuk TSP SP36 atau fosfat alam, dengan cara larik, tugal atau sebar. Pada lahan dengan pH 24,0 diperlukan sebesar 30 kg K,O/ha, dan apabila pH < 4.0 diperlukan 60 kg K,O. Pada lahan gambut tanaman kedelai memerlukan kapur 1 ton CaO/ha, yang belum pernah ditanami kedelai perlu diberi rhizobium dan 11,25 kg N/ha, apabila tanpa rhizobium diperlukan 23 kg N/ha. Pupuk P diberikan 22,5-45.0 kg PO/ha dengan cara disebar, dan dalam bentuk SP26, SP36 atau fosfat alam Pemberian pupuk mikroba biofosfat dapat mengurangi kebutuhan pupuk P setara 45 kg P,O/ha. Pupuk K diperlukan 30 kg K,0/ha dengan cara sebar! tugal tetapi 60 kg K,O /ha apabila dengan cara larik.
- ItemPELINDIAN TANAH SULFAT MASAM DAN PERANAN PURUN TIKUS (ELEOCHARIS DULCIS) SERTA BULU BABI (ELEOCHARIS RETROFLAXA) UNTUK MEMPERBAIKI KUALITAS AIR LINDIAN(Balai Pengunjian Standar Instrumen Pertanian Lahan Rawa, 2019) Muhammad Alwi; Yanti RinaPengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut semakin penting dan strategis dalam kaitannya dengan perkembangan penduduk, industri, dan berkurangnya lahan subur karena berbagai penggunaan non pertanian. Potensi lahan pasang surut di Indonesia sekitar 8,35 juta hektar, dari luasan tersebut yang berpotensi untuk dijadikan areal pertanian sekitar 7,00 juta hektar, yang sudah direklamasi sampai tahun 2000 baru sekitar 4,18 juta hektar, sisanya masih merupakan lahan yang belum dimanfaatkan. Reklamasi lahan rawa pasang surut untuk dijadikan lahan pertanian dimulai dari pembuatan saluran air dalam skala besar Keadaan ini menyebabkan terjadinya proses oksidasi dan reduksi pada tanah sulfat masam karena adanya pergantian pasang surut air dan musim. Proses ini akan menghasilkan ion-ion Fe (besi) dan SO2 (sulfat) yang larut bersama dengan air drainase yang pada konsentrasi tinggi dapat mengganggu pertumbuhan dan hasil tanaman. Tanah sulfat masam adalah tanah yang mengandung mineral besi sulfida (bahan sulfidik) atau senyawa- senyawa hasil transformasi mineral sulfida. Tanah ini merupakan endapan marin yang dicirikan oleh kandungan bahan sulfidik, memiliki horison sulfurik, terdapat bercak jarosit dan mengandung bahan penetral berupa karbonat atau basa tukar lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan besi dan sulfur yang cukup tinggi dari beberapa gulma rawa. yaitu purun tikus (Eleocharis dulcis), bulu babi (Eleocharis retroflaxa), teratai (Nymphoides indica), ganggang (Hydrilla verticillita), rumput air (Hydrotrophus echinospermus), dan benta (Leersia hexandra Sw.). Berdasarkan daya adaptasi gulma tersebut di lapang, maka purun tikus dan bulu babi dapat dijadikan sebagai biofilter, karena daya adaptasi dan kemampuannya menyerap Fe dan SO2 tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan purun tikus dan bulu babi sebagai biofilter dalam menekan kelarutan Fe2+ dan SO2 pada air lindian di lahan rawa pasang surut perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan perbaikan kualitas air dan lingkungan sekitarnya
- ItemPEMBUKAAN DAN PENYIAPAN LAHAN UNTUK BUDI DAYA KEDELAI DI LAHAN RAWA PASANG SURUT(Balai Pengunjian Standar Instrumen Pertanian Lahan Rawa, 2014) R. Smith Simatupang; Muhammad Alwiembukaan lahan pada kawasan lahan rawa pasang surut selalu diikut dengan reklamasi lahan. Reklamasi dilakukan dengan membangun saluran saluran, yakni saluran primer, sekunder, dan tersier oleh Kementerian PU dengan beberapa sistem yakni sistem handil, anjir, garpu, dan siir Pengelolaan air dibagi dalam skala makro dan skala mikro. Pada sistem pertanian, kegiatan paling awal adalah pembersihan lahan (land clearing dilanjutkan dengan kegiatan penyiapan lahan (land preparation). Pembukaan lahan gambut/bergambut, potensial dan sulfat masam pada prinsipnya hampir sama yakni melakukan penebangan hutan kayu, pembersihan lahan dan pembuatan saluran. Hanya saja pada lahan gambut karena sifatnya rapuh dan rentan terhadap kebakaran maka perlu kehati-hatian agar lahan tidak mengalami degradasi. Hal yang sama juga untuk tanah sulfat masam karena adanya lapisan pirit (FeS) pada bagian lapisan bawah. Pembuka lahan harus dilakukan mengacu kepada konservasi sumber daya lahan untuk menghindari degradasi lahan. Tereksposenya pirit ke permukaan tanah akan mengakibatkan oksidasi pirit yang menghasilkan senyawa racun dan memasamkan tanah sehingga produktivitas lahan menjadi turun. Penyiapan lahan pada lahan bukaan baru maupun lahan yang telah lama dimanfaatkan harus mengacu kepada konservasi tanah. Hal ini bertujuan untuk menjamin keberlanjutan sistem budi daya yang dikembangkan pada kawasan tersebut Pada lahan gambut/bergambut, penerapan sistem olah tanah konservasi dapat mengendalikan subsidensi dan menunjukkan kinerja lebih baik dibanding dengan sistem olah tanah intensif (OTI). Pada lahan mineral khususnya lahan sulfat masam, sistem penyiapan lahan harus memperhatikan keberadaan pintu di dalam tanah. Olah tanah intensif bisa dilakukan tetapi kedalamannya tidak lebih dari 20 cm. Penerapan sistem olah tanah konservasi, yakni olah tanah minimum (OTM), olah tanah bermulsa (OTB) dan tanpa olah tanah (TOT) dengan menggunakan herbisida merupakan inovasi teknologi yang bisa dikembangkan dalam menyiapkan lahan untuk tanaman kedelai
- ItemPENGEMBANGAN KELOMPOK P3A MENDUKUNG PRODUKSI PADI LAHAN RAWA PASANG SURUT(Balai Pengunjian Standar Instrumen Pertanian Lahan Rawa, 2019) Yanti Rina D.; Muhammad AlwiPengelolaan air merupakan kunci sukses berhasilnya usahatani padi di lahan rawa pasang surut. Semakin baik kondisi tata air semakin mudah pengembangan usahatani. Tidak berfungsinya jaringan tata air menyebabkan tidak terdistribusinya air dengan baik, hal ini disebabkan peran kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) belum berfungsi optimal. Pembentukan P3A pada awalnya untuk merespons proyek bantuan pemerintah sehingga belum didasari atas kebutuhan petani. Kelembagaan P3A yang mandiri dapat mengelola air dengan baik sehingga produksi dapat meningkat. Strategi pengembangan kelompok P3A di lahan rawa pasang surut, antara lain (a) mengidentifikasi para pelaku yang terlibat dalam pengembangan kelompok, (b) melakukan dialog dengan para pelaku tentang format kelembagaan P3A yang akan dibentuk, (c) mendorong para pelaku untuk membentuk kelembagaan P3A yang sesuai dengan format yang sudah disepakati, (d) melakukan peningkatan kapasitas para pengurus kelembagaan kelompok P3A untuk menyusun dan menetapkan rencana kerja, (e) melakukan peningkatan dukungan penyuluhan oleh PPL dan Juru Air, (f) meningkatkan kapasitas anggota kelompok P3A, (g) meningkatkan partisipasi anggota kelompok P3A dalam kelompok, dan (h) meningkatkan keterlibatan kelompok P3A dengan pihak luar
- ItemPROSPEK PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN PANGAN DI LAHAN RAWA PASANG SURUT(Balai Pengujian Standar Instrumen Pertanian Lahan Rawa, 2022) Izhar Khairullah; Muhammad AlwiLahan rawa pasang surut saat ini dan yang akan datang akan menjadi salah satu sumber pertumbuhan produksi padi, selain lahan irigasi dan tadah hujan. Potensi luasan lahan rawa pasang surut di Indonesia ditaksir sekitar 8,92 juta hektare yang sebagian berpotensi untuk pengembangan pertanian guna mendukung upaya peningkatan produksi pangan nasional pada masa mendatang (Ritung, et al., 2015; BBSDLP, 2018). Produktivitas lahan rawa termasuk rawa pasang surut sangat rendah sehingga kontribusi lahan rawa pasang surut terhadap produksi pangan nasional masih sangat rendah (diperkirakan hanya 5%) dibandingkan dengan tipologi lahan lainnya. Apabila dikelola secara baik, benar, tepat, dan holistik lahan rawa pasang surut dapat berkontribusi nyata terhadap upaya peningkatan produksi pangan nasional. Hampir 90% (1,05 juta hektare) dari total luas lahan rawa pasang surut yang menerapkan sistem budi daya dengan indeks pertanaman (IP) 100 di mana produktivitasnya sekitar 4-5 ton GKG/ha sehingga dapat menyumbang terhadap produksi padi nasional sekitar 4-5 juta ton GKG/tahun (Subagio, et.al., 2016; Noor dan Maftu'ah, 2020)