Browsing by Author "Mariska ...[at al], Ika"
Now showing 1 - 4 of 4
Results Per Page
Sort Options
- ItemMikropropagasi Sukun (Artocarpus communis Forst), Tanaman Sumber Karbohidrat Alternatif(BB Biogen, 2005) Mariska ...[at al], Ika; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianSukun (Artocarpus communis Forst) merupakan tanaman buah tropis yang mengandung karbohidrat sangat tinggi. Ketika persediaan pangan terbatas, di beberapa wilayah tertentu tanaman ini sering menjadi bahan pangan utama sebagai sumber karbohidarat. Kandungan karbohidrat pada tanaman tersebut hampir sama dengan ubi jalar atau talas tetapi lebih banyak dan pada kentang. Kendala utama dalam pengembangan sukun adalah terbatasnya persediaan bibit. Teknik kultur jaringan telah diakui keunggulannya karena dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak, seragam dan relatif singkat. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Bogor, mulai Februari 2003 sampai dengan Desember 2004. Penelitian terdiri dari beberapa tahap percobaan dengan berbagai kombinasi media sebagai perlakuan. Tahap pertama adalah multiplikasi tunas pada media Sk-2 dengan media WPM + BA (0; 0,5; 1,0; 1,5; dan 2,0 mg/l) + thidiazuron (0, 0,4 mg/l); tahap kedua, yaitu pemanjangan tunas pada media WPM + kinetin (1, 2, dan 3 mg/l) + GA3 (0 dan 5 mg/l); dan tahap ketiga adalah inisiasi dan perkembangan perakaran dengan membandingkan media WPM + BA (0, 2, 4, dan 6 mg/l) + arang aktif (0; 0,5%) dan media WPM (1; ½) + IBA (0; 1,5; dan 5 mg/l) atau NAA (1, 2, dan 3 mg/l). Hasil penelitian menunjukkan bahwa subkultur ke-2 dari tunas yang berukuran 1-2 cm pada media WPM + BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,4 dapat meningkatkan multiplikasi tunas menjadi 4,87-5,0. Subkultur dengan frekuensi tinggi, yaitu sampai 3 kali dapat menghasilkan jumlah tunas tertinggi, yaitu 15,5. Untuk elongasi tunas maka media WPM + kinetin I mg/l + GA3 5 mg/l merupakan formula yang terbaik. Persentase perakaran paling tinggi, yaitu 60% dengan jumlah akar berkisar 6,5 berasal dari media WPM + IBA 3 mg/l. Hasi aklimatisasi di rumah kaca telah dilakukan dengan tingkat keberhasilan 70%.
- ItemPeningkatan Ketahanan Tanaman Abaka terhadap Penyakit Layu melalui Kultur In Vitro(Balai Penelitian Bioteknologi TanamanPangan, 2001) Mariska ...[at al], Ika; Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianTanaman abaka (Musa textilis) sangat potensial untuk dikembangkan karena dapat digunakan untuk berbagai macam kepentingan. Namun demikian, salah satu kendala dalam pengembangan tanaman abaka adalah adanya serangan penyakit layu yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum. Untuk mendapatkan genotipe baru yang lebih tahan maka dilakukan seleksi pada massa sel dengan menggunakan asam fusarat (0-75 ppm) dan F. oxysporum (0-50%) sebagai komponen seleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan regenerasi kalus semakin menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi asam fusa-rat (AF) atau filtrat. Enam minggu setelah tanam, jumlah tunas dari kontrol, fil-trat 10, 30, dan 50% masing-masing sebanyak 12, 18, 3, dan 2. Respon yang sama diperoleh dari massa sel yang diseleksi dengan AF. Semakin meningkat konsentrasi AF maka persentase kalus yang beregenerasi semakin rendah. Delapan minggu setelah tanam, tunas adventif yang terbentuk dari kontrol, AF 75 ppm, dan AF 45 ppm berturut-turut 8, 1, dan 3. Pada proses pemulihan (media MS + BA + thidiazuron), tunas yang berasal dari AF 60 dan 75 ppm mati, sedangkan yang berasal dari kontrol tunasnya dapat berploriferasi.
- ItemSeleksi In Vitro untuk Toleransi terhadap Faktor Abiotik pada Tanaman Padi dan Kedelai(BB Biogen, 2006-12) Mariska ...[at al], Ika; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianSalah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan padi dan kedelai nasional adalah dengan melakukan ekstensifikasi penanaman ke lahan marjinal (masam dan kering) yang tersedia cukup luas di Indonesia. Keragaman genetik varietas yang toleran lahan marjinal masih sangat sempit. Sumber ketahanan terhadap lahan masam dan kering masih terbatas. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dapat dilakukan melalui seleksi in vitro. Teknologi tersebut merupakan salah satu metode keragaman somaklonal namun lebih efektif dan efisien karena perubahan diarahkan kepada sifat yang diinginkan. Seleksi in vitro pada tanaman kedelai dilakukan pada kalus embriogenik yang diinduksi dari embrio zigotik muda varietas Slamet, Sindoro, dan Wilis kombinasi dengan radiasi sinar gamma 400 rad. Seleksi dilakukan dengan AlCl3.6H2O (0-500 ppm) dan pH media 4. Media MS dimodifikasikan untuk unsur NH4NO3, CaCl2.H2O, KH2PO4 dan Fe tidak dichelat oleh EDTA. Regenerasi dilakukan pada media seleksi melalui jalur embriogenesis somatik. Benih somatik hasil seleksi diuji dengan tanah masam di rumah kaca, dan selanjutnya untuk generasi ke-2 sampai dengan generasi ke-4 diuji di lahan masam di Gajrug (Banten) dan Jasinga (Kabupaten Bogor). Untuk tanaman padi, kalus embriogenik berasal dari embrio zigotik varietas IR64 kombinasi dengan radiasi sinar gamma (0-700 rad). Seleksi dilakukan dengan PEG (BM6000) = 0-20%. Regenerasi dilakukan pada media seleksi. Biji generasi kedua yang berasal dari somatik kemudian diuji kembali dengan PEG 20%, daya tembus akarnya dengan campuran parafin : vaselin = 60-40% dengan ketebalan 3 mm. Di samping itu diuji kandungan prolinnya serta produksinya dalam kondisi cekaman kekeringan (60% dari kapasitas lapang). Hasil penelitian pada tanaman kedelai menunjukkan adanya kemampuan penurunan daya regenerasi dengan semakin meningkatnya konsentrasi Al. Benih somatik varietas Slamet umumnya mempunyai struktur yang tidak sempurna. Setelah aklimatisasi padi varietas Sindoro dan Wilis diperoleh 39 nomor. Dari 39 nomor tersebut diperoleh 12 nomor dari varietas Sindoro (Al 1000 ppm + 100 rad) yang mampu berproduksi. Generasi ke-2 dari nomor tersebut kemudian diuji di lahan masam. Pengujian di empat lokasi pada empat generasi menunjukkan adanya potensi yang besar untuk mendapatkan galur-galur harapan kedelai yang toleran Al dan pH rendah (lahan masam). Hasil seleksi in vitro pada tanaman padi diperoleh bahwa tidak semua kalus embriogenik dapat beregenerasi membentuk tunas adventif. Setelah dilakukan pengujian di rumah kaca diperoleh 13 somaklon IR64 yang diduga tahan kekeringan berdasarkan uji PEG dan uji daya tembus akar serta kandungan prolin yang tinggi. Setelah diuji lanjut dengan mengevaluasi produksi bulirnya maka diperoleh 8 somaklon yang toleran kekeringan dan produksi bulirnya tinggi, sedangkan kontrolnya tidak dapat berproduksi pada kondisi diberi cekaman kekeringan. Terdapat korelasi antara 3 karakter yang diuji (PEG, daya tembus akar, prolin) dengan toleransi terhadap kekeringan.
- ItemSomatic Embryogenesis in Different Soybean Varieties(Central Research Institute for Food Crops, 2001-02) Mariska ...[at al], Ika; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianNational demand for soybean (Gfytine max L. Merrill) is higher that its production, so that Indonesia needs to import the commodity. The government has planned to extensity the crop to acid sort areas, which has not been managed at the maximum capacity. However, many problems faced in acid soil, particularly high content of aluminum and low pH, which inhibit the growth of plant Soybean variety tolerant to the condition is still limited. To improve the tolerance to aluminum, a study was conducted through in vitro selection. One of the problems needs to be accomplished is the method of cell regeneration, since no standard (repeatable) method has been established. Therefore, it is necessary to study the effect of genotypes (varieties), source of exptants, t^ne of subculturing/physiologycal condition of mother plant and other factors on the success of somatic embryogenesis The study was conducted in two steps. In the first step, 7 sources of explants respectively collected from 10 soybean varieties were tested for their response to callus induction on 18 formulation media and to embryo maturation on 25 formulation media, Callus induction media were Murashige and Skoog (MS) or Phillips and Collins (PC-L2) in the combination with 2.4-0 (0-40 mg/I), picloram (0-0.01 mg/f), 8A (0-0.5 mg/l), kinetin (0-0.1 mg/l), NAA (0-10 mg/l), and several amino acids. Meanwhile for somatic embryo maturation basal media MS or PC-L2 had been used in the combination with 2,4-0 (0-0 05 mg/l). BA (0-0 5 mg/l), NAA (0-0.3 mg/l), zeatm (0-1 mg/l). GA3 (0-0.1 mg/l), manitoi, and charcoal. The best explants from first expenment were then used in second experiment. Results showed that 5 varieties (Bromo, Tambora, Wills, Black Manchu, and Argomulyo) were responsive to the treatments. From 18 media formulations. 5 formulae gave good results for embryonic callus, which developed into embryosomatic structures. Culture in MS media with high concentration of auxin, NAA (10 mg/i) or 2,4-0 (40 mg/l) and amino acid, followed by subculture in the media with low concentration of 2,4-D produced embryonic callus which was able to develop to bipolar embryo. For maturation and germination, somatic embryo structures were tubcuKured on a media without euxtn. The best methods of somatic embryogenesis produced in this study were repeatable and relatively produced high regeneration ability.