Browsing by Author "Desmayanti, Liys"
Now showing 1 - 3 of 3
Results Per Page
Sort Options
- ItemAssessment Tool for Laboratories and Antimicrobial Resistance Surveillance System (ATLASS)-(Alat Penilaian untuk Laboratorium dan Sistem Surveilans Resistensi Antimikroba)(Direktorat Kesehatan Hewan, 2019) Desmayanti, LiysAntimicrobial Resistance (AMR) telah menjadi ancaman global, terutama untuk kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan yaitu potensi munculnya bakteri yang kebal terhadap antibiotik (superbug), karena penggunaan antibiotik yang tidak bertanggung jawab. FAO PBB telah mengembangkan Alat Penilaian untuk Laboratorium dan Sistem Surveilans Resistensi Antimikroba (ATLASS). Alat ini dirancang untuk mengidentifi kasi hambatan, memetakan kapasitas dan jaringan analisis laboratorium, dan menentukan faktor-faktor apa yang dapat ditingkatkan untuk memungkinkan laboratorium memiliki kemampuan analitis yang andal dalam pengujian AMR dan menjadi laboratorium referensi baik di tingkat nasional dan regional di sektor pertanian, lingkungan, dan produksi pangan. Misi ATLASS ini sudah dilakukan mulai tahun 2017 di 2 (dua) laboratorium UPT Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yaitu Balai Pengujian Mutu dan Sertifi kasi Produk Hewan (BPMSPH) dan Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifi kasi Obat Hewan (BBPMSOH). Selain itu, pada tahun 2018 juga dilakukan penilaian ATLASS di Balai Besar Veteriner Wates. Dalam penilaian ATLASS, aspek penilaian dibagi atas tata kelola laboratorium (governance), unit epidemiologi (epidemiology unit), jaringan laboratorium (laboratory Network), komunikasi (Communication), dan kegiatan yang berkeberlanjutan (Sustainability). Hasil penilaian diterjemahkan dalam Progressive Improvement Pathway yaitu alur peningkatan kapasitas laboratorium yang progresif, dimana kapasitas dibagi atas beberapa tingkatan yaitu tidak memiliki kapasitas (level 1/no capacity), kapasitas terbatas (level 2/limited capacity), kapasitas yang dikembangkan (level 3/developed capacity), kapasitas yang ditunjukkan (level 4/demonstrated capacity), dan kapasitas berkelanjutan (level 5/sustainable capacity). Dari hasil Penilaian ATLASS yang dilakukan di BPMSPH dan BBPMSOH menunjukan bahwa kapasitas kedua laboratorium tersebut dalam melakukan pengujian dan surveilans AMR berada di level 2 (limited capacity) dan sudah ada beberapa aspek dalam penilaian ATLASS yang sudah dapat ditingkatkan ke level 3 (developed capacity) yaitu peningkatan kapasitas peralatan laboratorium, teknik evaluasi hasil pengujian Antimicrobial Susceptibility Test (AST), dan perlu dilakukan uji profi siensi. Hasil penilaian ATLASS untuk BBVet Wates masih berada di Level 1 (No capacity), dimana aspek yang perlu ditingkatkan sehingga dapat meningkat ke level 2 (Limited Capacity) yaitu dengan meningkatkan dan memperbaiki mekanisme sampling, meningkatkan kapasitas peralatan laboratorium untuk pengujian AST, penggunaan panel bakteri sesuai dengan kelompok bakteri yang diuji, dan harus melakukan uji profesiensi.
- ItemIndeks Obat Hewan Indonesia (IOHI) Edisi IX 2014(Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014) Pudjiatmoho; Syahroni, Bahruddin; Salam, Caravonica; Polrianto, Dadang; Sholihah, Dewi; Fitriastuti, Erna Rahmawati; Agustin, Irlia Nur; Desmayanti, Liys; Fauzi, Mhd.; Margaretha; Erika R, HelmiData dan informasi yang cukup lengkap di bidang obat hewan akan sangat berguna dalam upaya perkembangan usaha peternakan dan kesehatan hewan secara luas. Untuk itu maka disusunlah buku Indeks Obat Hewan Indonesia (IOHI) yang dapat dipergunakan sebagai jembatan komunikasi antara pihak-pihak yang berkepentingan di bidang produsen, importer, eksportir, distributor, depo obat hewan dan toko obat hewan. Buku ini merupakan Edisi SEMBILAN sebagai penyempurnaan dari buku edisi ke delapan yang diterbitkan pada tahun 2012, dengan tambahan data informasi baru tentang obat hewan.
- ItemPedoman Umum Penggunaan Antibiotik di Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan(Direktorat Kesehatan Hewan, 2021) Nasrullah; Rasa, Fadjar Sumping Tjatur; Isriyanthi, Ni Made Ria; Ratnasari, Yurike Elisadewi; Fauzi, Muhammad; Utomo, Gunawan Budi; Asmara, Widya; Naipospos, Tri Satya Putri; Mukartini, Sri; Patriana, Unang; Rahminiwati, Min; Munawaroh, Muhammad; Teruli, Bonifasius Suli; Darusalam, Huda Shalahudin; Andriyanto; Mustika, Aulia Andi; Fitriana, Ida; Rahman, Abdul; Subiyanti, Wiwit; Mucharini, Hany; Ardini, Pravita Sari Purnama; Desmayanti, Liys; Fari, Irawati; Tinora, Forlin; Wijanarko, Andi; Kusumanagandi, Dedi; Kompudu, Alfred; Nugroho, Erianto; SunandarResistansi antimikroba atau yang dikenal dengan istilah antimirobial resistance (AMR) adalah kemampuan mikroba untuk melawan efek obat yang pernah berhasil / efektif dalam mengobati penyakit yang disebabkan oleh mikroba tersebut. Resistansi antibiotik merupakan bagian dari AMR untuk bakteri yang menjadi resistan terhadap antibiotik. Resistansi antimikroba merupakan ancaman global bagi kesehatan masyarakat serta kesehatan hewan. Potensi munculnya bakteri yang resistan terhadap antibiotik (bakteri super) erat kaitannya dengan penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan tidak bertanggung jawab di sektor kesehatan manusia, pertanian, termasuk peternakan dan kesehatan hewan, produksi tanaman, dan perikanan. Penggunaan antimikroba yang sama di manusia dan hewan produksi, diduga sebagai salah satu penyebab timbul dan menyebarnya bakteri resistan. Resistansi antimikroba umumnya terjadi akibat penggunaan antimikroba untuk pencegahan penyakit atau pengobatan penyakit yang tidak mengikuti petunjuk dokter hewan (pengobatan mandiri). Tingginya intensitas penggunaan antibiotik yang tidak tepat sasaran serta penerapan standar kewaspadaan (standard precaution) yang tidak benar di tingkat peternakan dan fasilitas pelayanan kesehatan hewan merupakan faktor pemicu terjadinya resistansi yang dapat berdampak pada manusia maupun hewan, dan keamanan produksi pangan.