Browsing by Author "Berek, Hilda Susiyanti Debora"
Now showing 1 - 2 of 2
Results Per Page
Sort Options
- ItemPemeriksaan dan Identifikasi Parasit Gastrointestinal pada Sapi Bali di Nusa Tenggara Timur Tahun 2017(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Berek, Hilda Susiyanti DeboraParasit gastrointestinal merupakan parasit yang dapat menginfeksi saluran gastrointestinal baik manusia maupun hewan. Parasit tersebut dapat hidup di seluruh bagian tubuh, tetapi kebanyakan siklus hidupnya berada di usus. Infestasi parasit bila dalam jumlah besar dapat menyebabkan kerusakan usus dan mengakibatkan penebalan pada dinding-dinding usus, lebih lanjut ternak yang terinfestasi cacing akan diare yang mengakibatkan kehilangan cairan tubuh dan akan berakhir dengan kematian. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melihat sejauh mana tingkat infestasi dan penyebaran cacing parasit gastrointestinal pada sapi Bali di wilayah NTT. Selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 1.145 sampel dari 22 kabupaten/kota dalam wilayah NTT. Sampel yang diambil berupa feses sapi segar dan dilakukan pemeriksaan dan perhitungan telur cacing/ookista koksidia per gram feses (EPG) dengan menggunakan metode uji apung dan uji sedimentasi di Laboratorium Pengujian dan Penyidikan Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT. Hasil pengujian menunjukkan prevalensi parasit gastrointestinal pada Sapi Bali di Provinsi NTT mencapai 9,96%, dimana dari 1.145 ternak sapi yang diambil fesesnya sebanyak 114 ekor sapi positif terinfeksi parasit gastrointestinal. Dari 114 sampel yang positif, didapatkan telur cacing yang berasal dari 3 kelompok cacing parasit usus yaitu Kelas Nematoda terdiri atas Strongylus sp (54,54 %) ; Kelas Trematoda terdiri atas Fasciola sp (15,15 %), Paramphistomum sp (11,11 %) ; dan Kelas Cestoda terdiri atas Moniezia sp (1,01 %) ; serta dari Kelas Protozoa ditemukan Eimeria sp (18,18 %). Infestasi parasit gastrointestinal pada Sapi Bali di wilayah NTT tergolong dalam 2 kategori yaitu untuk telur cacing Moniezia sp termasuk dalam infeksi sedang karena telur yang dihasilkan sampai 640 butir per gram feses sapi, sedangkan untuk telur cacing lainnya masih tergolong dalam infeksi ringan karena telur yang dihasilkan < 500 butir telur per gram feses sapi.
- ItemSerosurveilans Rabies di Nusa Tenggara Timur Tahun 2016(Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) Berek, Hilda Susiyanti DeboraRabies sejak pertama kali dilaporkan pada November 1997 di Kabupaten Flores Timur, masih menjadi topik permasalahan yang belum mampu diselesaikan di Nusa Tenggara Timur khususnya di daratan Flores.Tahun 2015 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) di NTT sebanyak 7.386 kasus, yang merupakan kasus terbanyak kedua setelah Propinsi Sulawesi Utara. Hingga tahun 2016 tercatat lebih dari 200 orang meninggal di NTT karena rabies, terutama di Pulau Flores dan Lembata. Pemberantasan Rabies di NTT sampai sekarang belum memberikan hasil yang memuaskan. Penanganan penyakit rabies perlu dilakukan secara tepat sasaran dengan memprioritaskan perhatian pada faktor-faktor pemeliharaan yang berkaitan dengan vaksinasi dan titer antibodi protektif. Surveilans untuk mengetahui prevalensi status kekebalan pada anjing post vaksinasi Rabies di NTT, telah dilakukan pengambilan sampel di 9 Kabupaten Daratan Flores dan Lembata pada bulan April sampai dengan Desember 2016. Selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 2.079 sampel serum darah. Pengujian laboratorik dilakukan pada Laboratorium Pengujian dan Penyidikan Veteriner UPT Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT dengan metode Indirect ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Hasil surveilans post vaksinasi Rabies menunjukkan bahwa anjing-anjing di daratan Flores dan Lembata Nusa Tenggara Timur yang memiliki titer antibodi protektif terhadap rabies 49,49% (1.029/2.079) dan yang tidak protektif 50,51% (1.050/2.079). Cakupan vaksinasi pada anjinganjing di daratan Flores diatas 70%, namun efektifitas vaksinasi hanya sebesar 50,25%. Beberapa hal kemungkinan menjadi penyebabnya adalah status kesehatan hewan saat divaksin, umur, dan perbedaan bangsa anjing/breed. Kemungkinan yang lain mutu vaksin, cara penanganan vaksin di lapangan kurang tepat, dan frekuensi vaksinasi. Kurangnya perhatian petugas vaksinator tentang pentingnya rantai dingin (cold chain) di lapangan merupakan faktor penyebab potensi vaksin anti rabies yang digunakan menurun.