Browsing by Author "Bahagiawati"
Now showing 1 - 4 of 4
Results Per Page
Sort Options
- ItemBioetika: Konservasi Serangga dan Tanaman Transgenik Tahan Hama(BB Biogen, 2009-12) Bahagiawati; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianBioetika: Konservasi Serangga dan Tanaman Transgenik Tahan Hama. Asosiasi Bioetika Asia menyatakan bahwa bioetika merupakan kajian multidisiplin dari isu filosofi, etika, sosial, hukum, ekonomi, kedokteran, agama, lingkungan, dan isu terkait lainnya yang muncul dari penerapan ilmu biologi dalam kehidupan manusia dan biosfirnya. Empat prinsip dalam bioetika adalah doing good, doing no harm, independency, dan justice. Penerapan ilmu biologi, khususnya di bidang pertanian, termasuk entomologi dan bioteknologi, hendaknya tidak menyalahi keempat prinsip tersebut. Kenaikan jumlah penduduk yang tidak diimbangi oleh kenaikan produksi pangan. Jumlah populasi dunia pada tahun 2002 mencapai 6.137 juta jiwa, 4.944 juta hidup di negara-negara berkembang. Rata-rata kenaikan jumlah penduduk dunia adalah 1.3%, sekitar 75 juta per tahun. Peningkatan produksi pertanian perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat. Pada dekade ini banyak dicanangkan paradigma baru dalam ilmu pertanian dimana faktor lingkungan menjadi fokus utama, termasuk konservasi serangga. Serangga sangat penting dalam rantai makanan di alam dan merupakan spesies yang terbesar jumlahnya. Banyak sekali serangga yang berguna, seperti lebah madu, penyerbuk, ulat sutera, dan musuh alami hama, sehingga layak mendapat perhatian. Prinsip kehati-hatian perlu diperhatikan dalam pengembangan paradigma konservasi serangga. Konservasi serangga tidak dapat diterapkan begitu saja, tetapi harus berdasarkan konsep tertentu, misalnya diterapkan di lokasi tertentu, seperti cagar alam atau taman nasional. Tidak semua sistem pertanian dapat begitu saja diterapkan dengan konservasi serangga. Misalnya, pelestarian dan pemanfaatan serangga berguna dapat dilakukan dengan membudidayakannya, seperti budidaya lebah madu, ulat sutera, dan musuh alami hama tanaman. Salah satu upaya yang mendekati konservasi serangga adalah sistem pertanian yang menerapkan pengendalian hama terpadu dengan komponen utama varietas tahan dan musuh alami. Namun, penyediaan tanaman tahan hama sangat terbatas, karena keterbatasan plasma nutfah tahan hama. Demikian pula dengan musuh alami; tidak semua musuh alami dapat diperbanyak dengan mudah dan tersedia tepat waktu dan jumlah yang cukup ketika diperlukan. Pada saat ini di Indonesia, hama masih menjadi faktor utama pembatas peningkatan produksi bahan pangan. Saat ini dunia juga sedang mengalami krisis pangan. Bagaimana peran bioteknologi dalam meningkatkan harkat hidup manusia? Apakah bioteknologi melanggar prinsip bioetika? Hal ini masih dalam perdebatan. Pengalaman selama 12 tahun menunjukkan bahwa bioteknologi ikut berperan dalam meningkatkan ketahanan pangan melalui sistim pertanian berkesinambungan yang dapat mengkonservasi lingkungan dan berpotensi mereduksi kemiskinan dan kelaparan. Apakah produk bioteknologi berupa tanaman transgenik tahan hama menyalahi bioetika? Data menunjukkan bahwa tanaman transgenik tahan hama dapat dipadukan dengan sistim pengendalian hama terpadu, sehingga peran musuh alami dapat ditingkatkan, karena penggunaan tanaman transgenik diharapkan dapat menurunkan penggunaan pestisida. Tanaman transgenik terbukti telah dapat meningkatkan harkat hidup petani di India, Cina, dan Filipina. Tanaman transgenik tahan hama cenderung disenangi petani, karena memberikan keuntungan lebih besar dan dapat melestarikan lingkungan dibandingkan dengan teknologi pertanian yang yang lebih mengutamakan pestisida.
- ItemKarakterisasi Virulensi dan Molekuler Wereng Batang Coklat (Nilaparvata Lugens [Stål])(Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2015-10) Chaerani; Yuriyah, Siti; Dadang, Ahmad; Damayanti, Diani; Kusumanegara, Kusumawaty; Trisnaningsih; Bahagiawati; Sutrisno; Balai Besar Penelitian Tanaman PadiWereng batang coklat (WBC) mudah beradaptasi pada varietas padi yang mengandung gen ketahanan tunggal terhadap WBC. Ketersediaan marka molekuler yang dapat menentukan virulensi WBC yang berkembang di lapang akan berguna untuk perancangan strategi pelepasan varietas tahan. Penelitian ini bertujuan mempelajari keragaan virulensi dan genetik populasi WBC lapang dan biotipe WBC untuk mengidentifi kasi marka molekuler yang berasosiasi dengan virulensi WBC. Sepuluh populasi WBC asal Provinsi Banten (T2), Jawa Barat (S1), Kalimantan Selatan (B1-B4), dan Sulawesi Selatan (X1, X3-X5); serta terduga ‘biotipe 1’ dan ‘biotipe 2’ diuji virulensinya pada empat varietas diferensial mengandung gen ketahanan yang berbeda terhadap WBC (TN-1 [tanpa gen ketahanan], Mudgo [Bph1], ASD7 [bph2], dan Rathu Heenathi [Bph3]). Hasil pengujian menunjukkan bahwa virulensi B1-B4, X1, dan X3 sudah melebihi biotipe 4; virulensi X4 menyamai biotipe 4; virulensi T2 dan X5 seperti biotipe 3; sedangkan virulensi S1 paling rendah, yakni seperti biotipe 2. Virulensi WBC yang selama ini dipelihara sebagai ‘biotipe 1’ dan ‘biotipe 2’ ternyata telah bergeser, berturut-turut menjadi biotipe 4 dan lebih virulen daripada biotipe 4. Karakterisasi WBC menggunakan 38 primer expressed sequence tag-simple sequence repeat (EST-SSR) polimorfi k terhadap 5 ekor per populasi mendapatkan rata-rata keragaan alelik yang moderat pada koleksi WBC dengan jumlah alel 30 dan nilai polymorphic information content (PIC) sebesar 0,47. Jumlah alel SSR dan nilai PIC yang terdeteksi pada S1 nyata paling rendah (berturut-turut 18 dan 0,38) dibandingkan dengan yang terdeteksi pada populasi lainnya yang lebih virulen (berturut-turut 21–40 dan 0,42–0,52). Plot principal coordinate analysis (PCoA) tidak memperlihatkan adanya korespondensi antara genotipe SSR dengan fenotipe virulensi WBC, sehingga marka molekular yang dapat menentukan virulensi WBC belum diperoleh. Evaluasi marka EST-SSR dan jumlah individu WBC yang lebih banyak serta tersedianya WBC biotipe 1 murni diharapkan dapat meningkatkan peluang ditemukannya marka yang berasosiasi dengan virulensi WBC.
- ItemManajemen Resistensi Serangga Hama pada Pertanaman Tanaman Transgenik Bt(Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, 2001) Bahagiawati; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianManagement of Insect Pest Resistance of Transgenic Plant. Bahagiawati. Genetic engineering with Bt genes is a powerful technology for protecting crops against insect pests. Crop cultivars carrying Bt genes, however, have some weaknesses, as many other insect control technologies, i.e. insect can evolve resistance to the genes, thereby eliminating their effectiveness. Insect pests have evolved resistance to all classes of widely used insecticides, including Bt products that were applied as sprays and to numerous crop varieties produced through conventional breeding program. The insect adaptation to resistant cultivars results in substantial costs to society, such as crop failures, environmental damages, and loss of useful products. For these reasons, there is a need to develop technologies that can manage problems on the insect pest resistances. This paper presents some cases where insect pests adapted to pesticides, resistant cultivars, and Bt-sprays. In addition, the mechanism of resistance and the inheritance of resistant genes in the insects are discussed. Some research strategies and implementation programs are also proposed and discussed in this paper.
- ItemSeleksi Biotipe Wereng Batang Coklat (Nilaparvata Lugens Stål)(Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB PADI), 2017) Chaerani; Fatimah; Damayanti, Diani; Dadang, Ahmad; Sutrisno; Bahagiawati; Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB PADI)Wereng batang coklat (WBC) memiliki variasi virulensi yang dikenal sebagai ‘biotipe’. Biotipe WBC murni bermanfaat untuk pengujian ketahanan calon varietas atau galur padi isogenik, dan studi genetik virulensi WBC. Akan tetapi, biotipe WBC yang ada sudah terkontaminasi. Penelitian ini bertujuan membuat biotipe WBC dengan jalan menyeleksi virulensi pada varietas diferensial yang sesuai berdasarkan berat ekskreta embun madu. Tiga sampai empat tahap seleksi virulensi pada varietas Mudgo (mengandung gen ketahanan Bph1) atau ASD7 (bph2), mendapatkan biotipe 1, 2, 3, dan 4 tentatif(t). Konfirmasi virulensi biotipe 1 (t) menggunakan teknik skrining massal dan uji preferensi inang menunjukkan bahwa biotipe1 murni belum diperoleh karena selain TN1 (tidak mengandung gen Bph), varietas Mudgo dan ASD7 ternyata juga diserang dan jumlah nimfa yang menginfestasi ketiga varietas tidak berbeda nyata. Seleksi lanjutan pada varietas penyeleksi yang sesuai akan dilakukan hingga diperoleh biotipe murni.