Prosiding Seminar Nasional Bioetika Pertanian
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Prosiding Seminar Nasional Bioetika Pertanian by Author "Ashari"
Now showing 1 - 2 of 2
Results Per Page
Sort Options
- ItemBioetika Menunjang Pembangunan Berkelanjutan(BB Biogen, 2009-12) Ashari; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianBioetika Menunjang Pembangunan Berkelanjutan. Bioetika lahir sejak keberadaan manusia di muka bumi ini dengan terbangunnya hubungan interaksi antar manusia dan dengan lingkungannya. Hubungan itu pada hakekatnya merupakan pernyataan pengakuan bahwa di tempat manusia berpijak ada berbagai ciptaan Tuhan, baik yang berupa makhluk hidup lain (biotik) maupun yang tidak hidup (abiotik), dalam kerangka mewujudkan terciptanya hubungan yang serasi yang sifatnya spesifik menurut lokasi dan kepercayaan maupun bersifat umum lintas lokasi dan kepercayaan. Budaya Jawa membagi hubungan interaksi tersebut, sebagai bentuk tata krama atau etika manusia terhadap penciptanya dan antar ciptaan Tuhan, menjadi tiga, yaitu (1) tata krama hubungan manusia dengan Tuhannya yang disebut moral, (2) tata krama hubungan manusia sebagai perorangan dengan negara disebut hukum, dan (3) tata krama manusia sebagai perorangan dengan sesama manusia dan dengan makhluk hidup lain serta lingkungan hidupnya disebut sopan santun. Sopan santun terdiri atas tiga pilar norma, yaitu unggah ungguh, empan papan, dan angon tinon, yang dalam budaya Bali disebut desa, kala, patra. Bioetika pertanian pada dasarnya merupakan hubungan manusia dengan sumber daya hayati di sekitarnya atau ekosistemnya guna memanfaatkan sumber daya tersebut untuk kebutuhan hidupnya. Nilai-nilai tersebut dijumpai dalam setiap agama yang berbeda dalam bentuk dan isinya. Agama yang sangat lekat dalam intensitas hubungan tersebut adalah Budha yang lebih pada “pernyataan” tidak membunuh sesama makhluk hidup, baik yang berpotensi sebagai sumber pangan maupun sebagai “musuh” alami, untuk tidak saling mengganggu. Dalam Islam, penyembelihan hewan tidak boleh terlalu membebani rasa sakit, sehingga ada persayratan untuk memotong ternak. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri untuk memenuhi kebutuhan manusia serta dalam perkembangan kesadaran masyarakat maju, perkembangan bioetika sebagai norma semakin menjadi tuntutan hidup. Tuntutan tersebut tetap dalam ruang lingkup hukum, moral, dan sopan santun, dengan muatan-muatan perkembangan ilmu dan teknologi, khususnya bioteknologi dengan etika bisnisnya. Dinamika transaksi materi-materi biologik baik yang alami maupun hasil rekayasa genetik serta proses rekayasa genetik itu sendiri dituntut tetap dalam lingkup tata krama yang menunjang kesejahteraan serta kenyamanan hidup manusia dan lingkungannya. Berdasarkan telaah ruang lingkup, pengertian, dan perkembangan bioteknologi dapat disimpulkan bahwa: (1) bioetika berkembang dalam kehidupan sehari-hari baik dalam agama, budaya lokal, tradisional maupun dalam tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hasanah hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesama dan lingkungannya dan (2) bioetika dalam tuntutan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan merupakan cabang ilmu yang perlu digali dan dikembangkan agar menjadi rambu-rambu bagi umat manusia dalam memanfaatkan sumber daya hayati umumnya dan sumber daya pertanian khususnya, guna menunjang pembangunan pertanian secara berkelanjutan.
- ItemBioetika Pertanian dalam Kearifan Lokal di Indonesia(BB Biogen, 2009-12) Ashari; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianBioetika Pertanian dalam Karifan Lokal di Indonesia. Indonesia memiliki 746 bahasa daerah yang menunjukkan keanekaragaman bahasa mencerminkan keanekaragaman budaya yang disertai keberadaan kearifan-kearifan lokal dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya hayati dengan ekosistemnya yang bermuatan konsep konservasi. Kearifan-kearifan tersebut merupakan normanorma sosial yang berlaku dan dihormati baik oleh suatu komunitas maupun lintas komunitas. Banyak kearifan lokal yang bernilai luhur sebagai konsep ideal, tetapi beberapa di antaranya bermuatan “negatif” bagi semangat pembangunan. Nilai-nilai luhur dalam perspektif pembangunan pertanian disebut bioetika pertanian tradisional. Berdasarkan pengalaman dari interaksi tentang bioetika pertanian dalam kehidupan sehari-hari pada dengan masyarakat pedesaan dari Sabang hingga Merauke, perkembangan ilmu dan teknologi dan kemajuan di bidang industri pada umumnya masih kurang mendapat perhatian. Sesungguhnya nilai bioetika merupakan kekuatan dasar dalam pengembangan dan pembangunan dalam masyarakat. Lunturnya bahasa daerah yang mengandung nilai-nilai luhur terjadi akibat kurang pedulinya masyarakat setempat, sehingga terjadi erosi bahasa daerah. Nilai-nilai luhur bioetika pertanian yang ada hingga saat ini belum mendapat sentuhan yang memadai, terutama berkaitan dengan pengembangan dan pembangunan. Suatu komunitas kecil suku Marin di Merauke yang terisolir dari kemajuan telah menerapkan koonservasi untuk memelihara tanaman sago sebagai sumber pangan. Di sebelah utara kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera barat, terdapat aturan tentang cara panen ikan yang hanya dilakukan pada bulanbulan tertentu. Tanah ulayat yang merupakan konsep tradisional untuk mengamankan aset komunitas, saat ini dianggap menghambat pembangunan daerah. Ladang berpindah yang telah dilakukan secara luas oleh petani setempat, sesungguhnya mengandung konsep konservasi untuk memelihara keamanan produksi pangan. Suku Badui Dalam dengan kesederhanaannya selalu menjaga lingkungan biotik pertanian (taaman dan hewan) berdasarkan kearifan lokal. Komunitas di Bali dengan Sistim Subak, suatu sistem pengelolaan padi sawah pada komunitas di Bali juga merupakan kearifan lokal yang memiliki nilai bioetika yang luhur dan menjadi bagian yang mendukung konsep pembangunan. Suku Toraja sangat menghormati leluhurnya untuk berhubungan dengan Penciptanya, tetapi kurang diimbangi dengan pemikiran tentang kebutuhan masa depan keturunannya. Berdasarkan kearifan lokal dapat dijadikan sebagai dasar bioetika pertanian tradisional, maka dapat disimpulkan dan disarankan bahwa: (1) Banyak kearifan lokal yang luhur memiliki nilai positif dan ideal untuk pembangunan daerah, tetapi ada juga yang bersifat negatif bagi pembangunan. Kearifan yang bermuatan negatif, masih dapat dimanfaatkan sebagai terobosan dalam pembangunan daerah, jika dapat menyiasatinya secara sosial dan berkomunikasi secara efektif bagi kepetingan umum, melalui kewenangan pemerintah daerah dan adat. Yang bermuatan positif dapat merupakan konsep ideal bagi pembangunan daerah; (2) Bioetika pertanian dalam kearifan lokal suku-suku minoritas di pedalaman yang terbelakang dan jauh dari sentuhan budaya maju dijumpai konsep-konsep pembangunan yang menjadi kekayaan budaya dan perlu digali, dipelajari serta dilestarikan, (3) Perlu lebih diperhatikan potensi sosial budaya lokal dengan bahasa dan muatan kearifan-kearifan dalam bioetika pertanian yang dianutnya serta maknanya bagi pembangunan pertanian.