Gambaran Kegiatan Penanggulangan Gangguan Reproduksi pada Sapi di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2017 - 2019

No Thumbnail Available
Date
2020
Journal Title
Journal ISSN
Volume Title
Publisher
Direktorat Kesehatan Hewan
Abstract
Gangguan reproduksi masih sering ditemukan pada sektor peternakan yang ditandai dengan rendahnya fertilitas induk dan berdampak terhadap penurunan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet, sehingga mempengaruhi penurunan populasi ternak dan pasokan penyediaan daging secara nasional. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran kejadian gangguan reproduksi pada ternak sapi di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2017 – 2019. Data pelaksanaan kegiatan penanggulangan reproduksi yang dilakukan oleh petugas teknis reproduksi, diunduh melalui web Isikhnas. Data tersebut berupa diagnosa hasil pemeriksaan, pengobatan, perkembangan kasus (PK), tingkat kesembuhan, pelaksanaan inseminasi buatan (IB) dan pemeriksaan kebuntingan (PKB). Data diolah dengan Ms. Excel dan di analisa secara deskriptif. Hasil kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi di Provinsi Sumatera Barat selama 3 (tiga) tahun dari tahun 2017, 2018 dan 2019 secara berturut-turut menunjukkan bahwa ternak yang diperiksa sebanyak 8665 ekor; 3352 ekor, dan 4037 ekor, dengan diagnosa berupa hipofungsi (64%; 49,16%; 50,61%), silent heat (11,13%; 18,26%; 17,02%), dan endometritis (9,04%; 11,81%; 9,17%), tingkat kesembuhan adalah 46,14%; 48,30%; dan 49,15%, waktu yang dibutuhkan untuk sembuh setelah dilakukan pengobatan masing-masing adalah 94 hari, 94 hari dan 77 hari, jumlah ternak yang di IB setelah sembuh sebanyak 33,8%; 40,9%; 27,6%, sedangkan jumlah ternak yang bunting setelah di IB sebesar 13,5%; 14,6% dan 6,2%. Disimpulkan bahwa hipofungsi ovari, silent heat dan endometritis merupakan kasus paling tinggi selama 3 (tiga) tahun di Provinsi Sumatera Barat, ternak yang sembuh setelah dilakukan pengobatan yaitu 48%, dengan rata-rata kesembuhan terjadi pada hari ke 86, jumlah ternak yang di IB setelah sembuh sebanyak 34%, sedangkan ternak yang bunting sebesar 33%. Realisasi tersebut masih rendah, sehingga perlu adanya peningkatan pelayanan oleh petugas reproduksi, terutama laporan perkembangan kasus. Disamping itu juga perlu perbaikan manajemen pemeliharaan dan perbaikan kualitas dan kuantitas pakan supaya dapat meningkatkan status kesehatan dan status reproduksi ternak.
Description
Keywords
Gangguan Reproduksi, Upsus Siwab, Sumatera Barat
Citation