KEARIFAN LOKAL DALAM PERSPEKTIF KESUBURAN TANAH DAN KONSERVASI AIR DI LAHAN GAMBUT
Loading...
Date
2007
Journal Title
Journal ISSN
Volume Title
Publisher
Balittra
Abstract
Description
Lahan rawa, yang sebagian merupakan lahan gambut dikenal sebagai lahan
piasan (margina~. Sejak lama para pakar tanah dan lingkungan, antara lain Mohr (1940)
menyatakan bahwa tanah-tanah di luar Jawa, termasuk tanah rawa dinilai kurang subur
untuk tanaman pangan dan lebih cocok untuk pengembangan tanaman perkebunan
seperti karet, kelapa, kelapa sawit, dan kopi. Berkenaan dengan upaya pemerintah
dalam reklamasi lahan rawa, pakar pertanian manca negara, terutama Belanda sempat
menyangsikan keberhasilan pemerintah dalam menjadikan lahan rawa menjadi lahan
pertanian yang produktif (Notohadiprawiro, 1984; Mass, 2003).
Kebijakan politik pemerintah pasca kemerdekaan menggariskan
pembangunan pertanian bertujuan untuk mencapai swasembada pangan (dalam hal ini
beras). Oleh karena itu, pengembangan rawa yang dimulai tahun 1970-an diprogramkan
untuk perluasan areal tanaman pangan. Pemerintah merencanakan pembukaan lahan
rawa di Sumatera dan Kalimantan seluas 5,25 juta hektar selama kurun waktu 15 tahun
(1968-1984) untuk persawahan pasang surut (Dir Pertanian Rakyat, 1968). Menurut
Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1995) jumlah lahan rawa yang
dimanfaatkan mencapai 4,18 juta hektar, yang terdiri atas 3,00 juta hektar dibuka oleh
masyarakat setempat (yang sebagian besar untuk sawah) dan 1,18 juta hektar dibuka
oleh pemerintah diantaranya untuk sawah 688,74 ribu hektar, tegalan 231,04 ribu
hektar, 261,09 ribu hektar untuk lain-lain, termasuk tambak. Apabila lahan Proyek PLG
Sejuta Hektar di Kalteng dimasukan sebagai lahan yang telah dibuka, maka luas lahan
rawa yang telah dibuka mencapai sekitar 5 juta hektar. Namun sayang, sumbangan
lahan rawa terhadap peningkatan produksi pertanian, khususnya pangan masih rendah.
Lahan gambut dikenal dan ditemukan pertama kali oleh Kyooker, seorang
pejabat Belanda pada tahun 1860an yang menyatakan bahwa 1/6 areal wilayah
Sumatra ditempati gambut (Notohadiprawiro, 1997). Istilah gambut sendiri pertama kali
muncul dan kemudian umum digunakan oleh di kalangan ilmiawan dan menjadi kosa
kata Indonesia sejak tahun 1970 an (Radjaguguk, 2001).
Tulisan ini dimaksudkan untuk menguraikan tentang kearifan lokal dalam
pemanfaatan lahan gambut dan kearifan lokal dalam persepektif kesuburan tanah dan
konservasi air di lahan gambut. Kearifan lokal yang dimaksudkan di~ini adalah upaya
masyarakat setempat berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang turun temurun
diwariskan dari generasi ke generasi dalam rnemantaaikan lahan ~gambut untuk
pengembangan pertanian. Boleh jadi cara-cara ini berbeda bahkan bertolak belakang
dengan apa yang diinginkan oleh pengetahuan modern. Hal ini boleh jadi karena
dilandasi oleh pandanga~ falsafah, misi atau tujuan yang berbeda .:
Keywords
KEARIFAN LOKAL PERSPEKTIF KESUBURAN TANAH KONSERVASI AIR LAHAN GAMBUT