KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN DI KALIMANTAN

Abstract
Description
Luas lahan gambut di Indonesia merupakan 87% dari seluruh luas gambut di Asia Tenggara atau 52,4% dari seluruh lahan gambut di daerah tropik. Lahan gambut di Indonesia tersebar di Sumatera (41,1 %), Kalimantan (33,8%), Papua (23,0%), Sulawesi (1,6%), Halmahera dan Seram (0,5%). Oi Kalimantan, lahan gambut terdapat di wilayah pantai Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan serta sebaqian kedl pantai Kalimantan Timur (Komarudin, 1998). Lahan gambut dianggap sebagai lahan bermasalah karena mempunyai sifat marginal dan dihadapkan dalam beberapa kendala apabila dikembangkan sebagai lahan pertanian, antara lain 1) daya dukung bebannya (bearing capacity) yang rendah sehingga menyukarkan tanaman dalam menjangkarkan akarnya secara kokoh, 2) daya hantar hidrolik secara horizontal sangat besar tetapi secara vertikal sangat kedl sehingga menyulitkan mobilitas ketersediaan air dan hara tanaman, 3) bersifat mengkerut tak balik (irreversible) sehingga menurunkan daya retensi air dan peka terhadap erosi yang mengakibatkan mudahnya hara tanaman tercuci dan 4) terjadinya penurunan permukaan tanah setelah dilakukan pengeringan atau dimanfaatkan untuk budidaya tanaman. Oleh karena itu, pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian memerlukan pengetahuan dan teknologi khusus karena sifatnya yang khas dan berbeda dengan lahan-Iahan lain sebagaimana lahan alluvial pada umumnya (Noar et al., 1991). Kebakaran lahan gambut hampir terjadi setiap tahun, dengan penyebab dari kondisi yang rawan kebakaran yang erat kaitannya dengan agrofisik lahan dan lingkungan termasuk pranata hidrologi dan aspek sosial ekonomi yang terkait dengan pemilikan lahan, kebijakan pemerintah, norma-norma sosial yang berkembang termasuk persepsi petani tentang lahan gambut. Oampaknya bervariasi tergantung intensitas kebakaran, kebakaran ringan hanya berakibat pada kenaikan biaya usahatani tetapi kebakaran berat menimbulkan dampak yang sangat luas seperti degradasi lahan, adanya lahan tidur, kerusakan pranata hidrologi, perubahan pola tanam, hilangnya mata pencaharian penduduk dan migrasi penduduk ke luar desa (Noorginayuwati dan Noar, 1999). Menurut Widjaja-Adhi et al. (1998) lahan gambut dalam sering dianggap lahan tidak layak huni, dimana menurut penqalsman pelaksanaan Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) petani transmigran sebagian besar meninggalkan lahannya bila tanahnya berupa gambut dalam. Namun petani di Riau dapat mendiami lahan gambut dalam dan menanaminya dengan kelapa. Mereka juga dapat memanfaatkan lahan gambut dangkal yang terluapi pasang untuk persawahan pasang surut. Menurut Noorsyamsi dan Hidayat dalam Noar et al. (1991)
Keywords
KEARIFAN LOKAL LAHAN GAMBUT KALIMANTAN
Citation
Collections