Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia

Browse

Recent Submissions

Now showing 1 - 5 of 51
  • Item
    Pengaruh Hormon E-17(3 dan/atau FSH serta Lama Penyimpanan Ovarium terhadap Tingkat Maturasi dan Fertilisasi In Vitro Oosit Domba
    (Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Meriyana ...[at al], Ranny; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor
    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian hormon Estradiol-17p dan/atau Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang ditambahkan ke dalam media penyimpanan ovarium dan lama penyimpanan terhadap tingkat maturasi dan fertilisasi in vitro oosit domba. Ovarium diambil dari RPH kemudian dimasukkan dalam media PBS yang ditambahkan hormon E-17p, FSH, dan E-17p+FSH kemudian disimpan masing-masing 4, 8, dan 12 jam pada temperatur 37C sebelum oosit dalam folikel diaspirasi. Oosit diaspirasi dari folikel ovarium dengan jarum 18 G menggunakan media TCM-199+10% FCS dan dicuci tiga kali. Selanjutnya dimaturasi dalam media TCM-199+10% FCS+E-17p+FSH+HCG (masing-masing 1|xg/ml) selarfia 24 jam dalam inkubator CO2 5% dengan suhu 38C. Setelah maturasi, oosit diamati tingkat maturasinya yang ditandai dengan adanya polar body pertama. Tingkat fertilisasi diamati 24 jam setelah diinseminasi yang ditunjukkan dengan adanya pembelahan atau adanya polar body kedua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat maturasi pada media yang mengandung hormon FSH lebih tinggi (53,75%) dibandingkan dengan media yang mengandung hormon E-17p dan E-17p+FSH (39,28 dan 36,38%). Sedangkan penyimpanan selama 12 jam berbeda nyata (p<0,05) lebih rendah dibandingkan penyimpanan selama 4 dan 8 jam pada semua perlakuan hormon. Begitu juga tingkat fertilisasi, media yang mengandung FSH memberikan angka fertilisasi yang lebih tinggi (47,62%) sedangkan penyimpanan 4 jam berbeda nyata dengan 12 jam pada semua perlakuan hormon. Hasil ini menunjukkan bahwa penambahan hormon FSH ke dalam media penyimpanan ovarium selama 4-8 jam dapat meningkatkan angka maturasi dan fertilisasi in vitro oosit domba.
  • Item
    Maturasi Oosit Domba secara In Vitro tanpa CO2
    (Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) E.T. Margawati ...[at al]; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor
    Penelitian dimaksudkan untuk mengembangkan metode maturasi in vitro tanpa CO2 pada oosit domba. Oosit domba dikoleksi dari ovarium Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan cara aspirasi (penyedotan) dan semprot media menggunakan jarum suntik ukuran 18 gauge. Oosit dibagi ke dalam tiga perlakuan: (T1) Oosit dimaturasi di dalam eppendorf berisi medium IVM (Bikarbonat-199 +10% FCS + 10 pg/ml FSH + 10 pg/ml hCG + 1 ^g/ml Estrogen) dilapisi minyak mineral di atasnya, sebelum ditanam oosit, medium IVM diekuilibrasi selama + 2 jam di inkubator 5% CO2.. (T2) Oosit dimaturasi di daiam drop medium IVM (T1) yang dilapisi dengan minyak mineral di atasnya. (T3) Oosit dimaturasi di dalam drop medium IVM (T1) dengan minyak mineral di atasnya, sebelum ditanam oosit, drop IVM diekuilibrasi + 2 jam di inkubator 5% CO2. Pada semua perlakuan, maturasi in vitro berlangsung 24 jam pada suhu 38C dengan humiditas tinggi tanpa CO2. Tahap pembelahan meiosis oosit (metaphase I, anaphase I, telophase I, dan metaphase II) diuji setelah dicat dengan lacmoid 1%, dan diamati di bawah inverted microscope dengan pembesaran 300 kali. Proporsi oosit muda mencapai metaphase II pada maturasi tanpa CO2 tidak berbeda nyata (P>0,05) di antara ketiga perlakuan (39, 29, dan 48%, untuk T1, T2, dan T3). Namun demikian, proporsi masak telur pada T1 dan T3 cenderung lebih tinggi dari pada T2. Penelitian ini menyimpulkan, ada kemungkinan untuk melakukan maturasi in vitro oosit domba secara sederhana atau di dalam inkubator mini tanpa CO2 selama transportasi berjarak jauh dari RPH ke laboratorium.
  • Item
    Frekuensi Stadium Perkembangan Blastoderm Puyuh Prainkubasi pada Galur Inbred, F, Hybrid, dan Acak
    (Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Hedianto, Yanuarso Eddy; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor
    Untuk mengetahui awal terjadinya heterosis dan efek silang-dalam pada embrio puyuh maka telah dilakukan pengamatan terhadap frekuensi stadium perkembangan blasto derm prainkubasi pada galur inbred (F=0,594), Fi hybrid, dan acak. Penilaian terhadap stadium perkembangan blastoderm dilakukan berdasarkan standar stadium perkem bangan blastoderm pasca-oviposisi I-V yang dibuat untuk blastoderm puyuh. Hasll pengamatan yang dilakukan terhadap 71, 81, dan 98 blastoderm menunjukkan nilai untuk stadium paling rendah (stadium I) berturut-turut adalah 12,7%; 3,7%; dan 3,1% dan nilai untuk total Stadium IV dan V adalah 30,9%, 45,6% dan 58,2% masing-masing pada galur inbred, F^ hybrid, dan acak. Percobaan ini menunjukkan bahwa heterosis dan efek silang-dalam pada puyuh telah terjadi sebelum embrio mengalami proses inkubasi.
  • Item
    Fusi Sel pada Berbagai Tahap Perkembangan Sel Embrio
    (Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Tappa ...[at al], Baharuddin; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor
    Teknik fusi sel dilakukan pada genom embrio mamalia untuk mempelajari interaksi inti sitoplasma dan kloning dengan teknik transfer inti. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi sel blastomer genom dari berbagai tahap perkembangan sel embrio mencit dengan menggunakan metode fusi elektrik untuk pengembangan teknik transfer inti. Sel-sel blastomer dari embrio tahap 2, 4, 8, dan 16 sel. Terhadap sel-sel blastomer tersebut diberikan stlmulasi elektrik pada kondisi fusi yang berbeda. Embrio yang telah difusi, dikultur dalam inkubator CO2 dengan konsntrasi CO2 5% temperatur 38,5C selama 96 jam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa angka fusi yang tertinggi adalah 88,6% dari embrio tahap 2 dan 16 sel yang difusi pada kekuatan pulse 1,5-2,0 kv/cm dalam waktu 60-90 psec. Sedangkan embrio tahap 16 sel memperlihatkan angka fusi yang terendah 34,3% pada 2,0 kv/cm dengan 90 psec. Sel blastomer yang telah terjadi fusi setelah dikultur sampai tahap blastosis memperlihatkan bahwa embrio tahap 2-16 sel tidak berbeda pada kekuatan pulsa 1,0-2,0 kv/cm selama 30-90 psec. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fusi sel dengan metode fusi elektrik dapat digunakan untuk menghasilkan kloning dengan teknik transfer inti.
  • Item
    Netralisasi Limbah Karet oleh Beberapa Jenis Mikroalga
    (Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, 1997-11) Carolina ...[at al]; Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor
    Limbah karet termasuk dalam goiongan limbah organik yang sesuai untuk dikelola secara mikrobiologi. Dalam penelitian ini, beberapa jenis mikroalga yakni Chlorella pyrenoidosa, Dunaliella sp. dan Lyngbia sp. diintroduksikan sebagai mikroba penetralisir limbah karet. Degradasi COD dan pertambahan jumlah sel dipantau untuk memberikan gambaran lengkap mengenai kinerja mikroalga yang diuji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa C. pyrenoidosa relatif memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan mikroalga lainnya. Selain itu, daya tumbuh terbaik terlihat pada C. pyrenoidosa di mana fase eksponensial terjadi secara signifikan pada hari kelima.