Browsing by Author "Herman Subagio, Muhammad Noor, Wahida Anisa Yusuf, Izhar Khairulah"
Now showing 1 - 8 of 8
Results Per Page
Sort Options
- ItemKebijakan Pengembangan Lahan Rawa(IAARD Press, 2015) Herman Subagio, Muhammad Noor, Wahida Anisa Yusuf, Izhar KhairulahPembukaan lahan rawa mengambil tempat khusus sejak 1969, yaitu awal Pelita I, pemerintah melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) (1969-1984) mulai melaksanakan pembukaan secara besar-besaran lahan pasang surut di Sumatera (Lampung, Sumsel, Riau, dan .Iambi) dan Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan) dengan melibatkan berbagai lembaga termasuk perguruan tinggi sekaligus melakukan penelitian dan pengembang sebagai pendukung bagi pengembangan rawa ke depan. Sebelumnya kolonial Belanda telah menjajaki rawa secara terbatas untuk kolonisasi, pembukaan lahan rawa dilakukan pada 1920 secara skala kecil, misalnya daerah Anjir Tamban, Anjir Serapat, dan Kertak Hanyar dan Gambut, khusus diKalimantan Selatan. Tenaga kerja atau petani didatangkan dari Pulau Jawa untuk mendukung pengembangan pertanian di wilayah baru tersebut.
- ItemKEBUTUHAN PANGAN MASA DEPAN(IAARD Press, 2015) Herman Subagio, Muhammad Noor, Wahida Anisa Yusuf, Izhar KhairulahIndonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke-empat di dunia setelah Amerika Serikat, (China), dan India. Jumlah penduduk Indonesia pada 2010 mencapai 237,5 juta jiwa meningkat menjadi sekitar 251,0 juta jiwa pada 2015 dengan laju pertambahan sebesar 1,3%. Apabila laju pertumbuhan 2011-2020 sebesar 1,8% dan kemudian pada 2021-2030 diperkirakan menurun sebesar 0,82%, maka jumlah penduduk pada 2030 mencapai 425 juta jiwa. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dari jumlah penduduk pada 2015.
- ItemKompleksitas Permasalahan Lahan Rawa(IAARD Press, 2015) Herman Subagio, Muhammad Noor, Wahida Anisa Yusuf, Izhar KhairulahLahan dan kepemilikan merupakan masalah utama dalam pembangunan pertanian umumnya, termasuk lahan rawa. Alih fungsi lahan, termasuk alih komoditas di lahan rawa sudah menunjukkan gejala yang semakin intens. Keadaan ini sebagian dinyatakan kurang sehat karena memberikan dampak yang kurang baik terhadap produksi maupun sosial masyarakat petani secara luas atau kawasan, apabila tidak dikendalikan. Alihkepemilikan dan penyempitan pemilikan lahan usaha tani akibat waris mewaris dari bapak/ibu ke anak sehingga fragmentasi lahan juga menunjukkan gejala umum di lahan rawa sehingga terjadi peningkatan jumlah petani gurem yang memiliki lahan sempit.
- ItemPembelajaran dari Keberhasilan Petani(IAARD Press, 2015) Herman Subagio, Muhammad Noor, Wahida Anisa Yusuf, Izhar KhairulahKeberhasilan usaha tani di lahan rawa tidaklah semudah sebagaimana "membalik telapak tangan". Para petani pioner seperti para transmigran yang menempati lahan rawa pada 1970-1980 menceritakan kondisi awal saat mereka ditempatkan di lahan rawa seperti "orang buangan" berada di tengah-tengah alas (hutan), tanpa listrik, tanpa air bersih, jauh dari kota, tidak ada angkutan, akses ke kota melewati sungai, masih berjalan kaki menuju pelabuhan/halte, sarang nyamuk, lintah, tikus, dan babi yang mengganggu tanaman, dan sebagainya. Barangkali hanya karena di Jawa tidak punya lahan, sementara di Kalimantan atau Sumatera diberikan lahan seluas 2,25 ha, maka mereka terpaksa bertahan.
- ItemPengertian dan Potensi Lahan Rawa(IAARD Press, 2015) Herman Subagio, Muhammad Noor, Wahida Anisa Yusuf, Izhar KhairulahDalam pustaka asing, lahan rawa pasang surut disebut tidal swamp, atau marsh, sedang rawa lebak disebut non tidal swamps, fresh water swamp, inland waterlogged land atau inland wetland. Sementara, lahan gambut mempunyai banyak istilah antara lain disebut dengan bog, fen, peat, musked, mire, dan moor. Dalam bahasa daerah, lahan rawa pasang surut disebut juga lahan rawang (bhs. Melayu), rawa lebak disebut bonorowo (Jawa), paya-paya (Melayu Sumatera), baruh (Melayu Banjar), dan gambut disebut juga sepuk (Melayu Kalbar) atau ambul (Melayu Hulu Sungai, Kalsel).
- ItemPERSPEKTIF PERTANIAN LAHAN RAWA Mendukung Kedaulatan Pangan(IAARD Press, 2015) Herman Subagio, Muhammad Noor, Wahida Anisa Yusuf, Izhar KhairulahLahan rawa dapat menjadi pemasok pangan yang besar apabila dikembangkan secara optimal. Dari segi luas, lahan rawa tersedia cukup mencapai 33,43 juta hektar, diantaranya 10-14 juta hektar sesuai untuk pertanian. Lahan rawa sejak awal dikembangkan berbagai pihak untuk sawah, tegalan, dan kebun. Dari lahan rawa telah dihasilkan berbagai bahan pangan, hortikultura, perkebunan hingga perikanan dan peternakan. Dari luasan 3,8 juta hektar lahan rawa yang dibuka sejak tahun 1969, sebagian besar hanya ditanami sekali setahun (IP 100). Padahal, apabila 1,15 juta hektar ditingkatkan menjadi IP 200, maka dapat diperoleh tambahan produksi sekitar 3,48 juta ton gabah kering giling (GKG)per tahun. Kuncikeberhasilan pertanian di lahan rawa adalah penerapan kebijakan yang sistematis, terpadu, dan terarah. Kinerja yang sinergi dan harmonis dari semua pihak dengan tugas pokok masing-masing lembaga dan instansi baik pemerintah maupun swasta dapat menjadikan lahan rawa lebih maju dan modern. Harmonisasi dan sinergisasi kebijakan, hal yang sangat sering dikemukakan, tetapi sulit menjadi kenyataan karena banyak pihak masih mempunyai penyakit "egosektoral".
- ItemSejarah dan corak Pertanian Lahan rawa(IAARD Press, 2015) Herman Subagio, Muhammad Noor, Wahida Anisa Yusuf, Izhar KhairulahIstilah "rawa pasang surut" masuk dalam kosa kata bahasa Indonesia sejak 1930-an, tetapi pertanian lahan rawa dipastikan sudah ada sebelumnya. Menurut catatan sejarah, pemanfaatan rawa dimulai sejak abad ke 13 saat Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit berekspansi ke Kalimantan Barat yang memerintahkan untuk membuka pemukiman dan pertanian di daerah aliran Sungai Pawan. Pada hakikatnya, upaya manusia untuk melestarikan kehidupannya, tidak ada jalan kecuali dengan penciptaan pengetahuan dan pengumpulan pengalaman (local wisdom) untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang dimilikinya sekaligus melestarikan alam dan lingkungannya untuk kehidupan yang generasi selanjutnya. Pengetahuan pada hakikatnya adalah sejarah panjang pergulatan manusia dalam "menaklukkan" alam, termasuk rawa.
- ItemStrategi Pengembangan Lahan Rawa Ke depan(IAARD Press, 2015) Herman Subagio, Muhammad Noor, Wahida Anisa Yusuf, Izhar KhairulahIndonesia pernah mencapai swasembada pangan pada 1984. Namun setelah itu kembali menjadi negara importer beras terbesar di dunia. Impor Indonesia setelah masa swambada setiap tahun meningkat rata-rata antara 1-2juta ton. Puncak impor terjadi pada 1998 mencapai 5,8 juta ton bertepatan saat krisis ekonomi dunia. Indonesia kembali swasembada pada 2008, namun tidak berumur lama kembali menjadi pengimpor sampai 2015, walaupun dalam rangka untuk cadangan beras nasional (CBN)artinya berjaga-jaga apabila terjadi penurunan produksi akibat alam (El-Nino). Hal ini juga terkait untuk stabilitas keamanan dan pertahanan nasional karena pangan tidak saja sebagai komoditas dalam arti ekonomi, tetapi juga politik.