ECONOMIC VALUE ADDED OF CASHEW PROCESSING IN INDONESIA

Abstract
Description
Cashew is one of the commodities that have significance for Indonesia’s economy. Besides the country foreign exchange earner and source of income of farmers, cashew nuts contribute for land conservation. In Indonesia, cashew mostly cultivated by smallholders. The main problem is the low productivity of Indonesian cashew crop and quality of products. The development of the cashew processing industry faced with the constraint of continuity of availability of raw materials. This is because cashew harvest season is generally only four months (July-October) per year. Indonesia cashew exports still largely in the raw form, especially to India and Vietnam which is a major producer of cashew in the world market. The dominant raw form of cashew export is not benefeting farmers, processing industry and the government (central and local). The loss potential lost opportunity to obtain economic value added, the amount of Rp 1.8 to 2.9 trillion per year. Opportunity comes from the processing of cashew nuts and CNSL. This product price is stabilize, the market outlook is still very open, both domestic and international markets. Demand for exports and growing domestic market, it should be an incentive for farmers, processing industry, and government to exploit its full potential. Besides the increase farmers' income, this step will open new employment opportunities in rural as well as opportunities increase foreign exchange. This potential will only materialize if the processing performed by the industry to involve farmers as partners. 
Jambu mete merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki arti penting bagi perekonomian Indonesia. Disamping sebagai penghasil devisa negara dan sumber pendapatan petani, jambu mete juga berfungsi bagi upaya konservasi lahan. Jambu mete Indonesia sebagian besar diusahakan oleh perkebunan rakyat. Masalah utama mete Indonesia adalah rendahnya produktivitas tanaman dan mutu produk yang dihasilkan. Pengembangan industri pengolahan mete dihadapkan pada kendala berupa kontinuitas ketersediaan bahan baku. Hal ini disebabkan karena setiap tahunnya, musim panen jambu mete umumnya hanya empat bulan (Juli – Oktober). Hingga saat ini ekspor mete Indonesia kebanyakan masih dalam bentuk gelondong terutama ke India dan Vietnam yang merupakan produsen utama mete di pasar dunia. Ekspor mete yang dominan berbentuk gelondong telah merugikan petani, industri pengolahan dan pemerintah (pusat dan daerah). Kerugian tersebut berupa potensi kehilangan peluang untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi, besarnya mencapai Rp 1,8 – 2,9 triliun per tahun. Peluang tersebut berasal dari dari pengolahan kacang mete dan CNSL. Produk ini harganya cukup stabi, prospeknya masih sangat terbuka, baik pasar domestik maupun pasar internasional. Permintaan ekspor dan pasar domestik yang terus meningkat, seharusnya menjadi insentif bagi petani, dunia industri pengolahan, dan pemerintah untuk memanfaatkannya secara maksimal. Disamping menambah pendapatan petani, langkah ini akan membuka kesempatan kerja baru di pedesaan dan juga peluang menambah devisa negara. Potensi ini hanya akan terwujud bila pengolahan dilakukan oleh industri dengan melibatkan petani sebagai mitra. 
Keywords
Citation