KETAHANAN Pogostemon cablin DAN Pogostemon heyneanus TERHADAP Synchytrium pogostemonis

Abstract
Description
ABSTRAKSynchytrium pogostemonis merupakan jamur penyebab penyakitbudok pada tanaman nilam (Pogostemon cablin) di Indonesia. Synchytriummempunyai kekhususan inang yang tinggi, sehingga penggunaan varietasyang tahan merupakan komponen pengendalian yang efektif. Di Indonesiaterdapat nilam Aceh (Pogostemon cablin) dan nilam Jawa (Pogostemonheyneanus). Nilam Aceh relatif peka terhadap gangguan penyakit. NilamAceh telah dibudidayakan secara luas di Indonesia karena kandunganminyak nilamnya sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan mengetahuiketahanan nilam Aceh dan nilam Jawa terhadap serangan S. pogostemonis.Uji ketahanan dilakukan terhadap nilam Aceh terdiri dari tiga varietasLhokseumawe, Sidikalang dan Tapaktuan, sedangkan nilam Jawa hanyasatu varietas yaitu Girilaya. Inokulasi dilakukan dengan menggunakanpotongan bagian tanaman yang telah terinfeksi sebagai sumber inokulum,yang diletakkan di antara tanaman nilam yang diuji. Pengujian dilakukandi laboratorium dengan menggunakan media air, dan di rumah kacadengan menggunakan media tanah (tanah dan kompos perbandingan 1:1)yang telah disterilisasi. Nilam yang digunakan berupa setek pucuk 4 buku,yang ditanam dengan cara membenamkan buku ke-4 ke dalam media, danmeletakkan buku ke-3 di perbatasan antara media dengan udara, sedangbuku dua dan satu ada di permukaan media. Di laboratorium, untukmenahan agar setek tidak tenggelam ke dalam air, digunakan gabus yangtelah dilubangi sebagai penahan. Setek nilam dimasukkan ke dalam lubanggabus, yang selanjutnya diletakkan pada wadah plastik (berdiameter ± 7,5cm, ± 350 ml yang telah berisi air). Inokulum yang digunakan berupapotongan daun dan batang nilam yang terinfeksi S. pogostemonis seberat2 g per wadah yang diletakkan pada bagian tengah gabus di antara setekyang diuji. Satu wadah berisi tujuh setek dan diulang empat wadah untuksetiap varietas nilam yang diuji. Pada percobaan di rumah kaca, setekditanam dalam kotak (30 x 25 cm 2 ). Setek ditanam dalam baris denganjarak ± 5 antar baris dan ± 1 cm di dalam baris. Di dalam satu kotakterdapat 20 setek dan inokulum yang diaplikasikan sebanyak 40 g perkotak. Kotak yang telah berisi tanaman dan inokulum disungkup plastikselama satu bulan untuk menjaga kelembapannya, kemudian dipindahkanke polybag untuk diinkubasi dan diamati gejalanya. Pengamatan dilakukanpada minggu ke-6 setelah inokulasi untuk uji di laboratorium, dan 16minggu untuk uji di rumah kaca. Hasil pengujian menunjukkan, ketigavarietas nilam Aceh peka terhadap S. pogostemonis yang ditunjukkandengan adanya gejala kutil dengan spora berdinding tebal di dalamnyapada permukaan batang nilam Aceh baik pengujian di laboratoriummaupun rumah kaca. Pada nilam Jawa varietas Girilaya tidak ditemukankutil baik pada pengujian di laboratorium maupun di rumah kaca. Kutilberwarna jernih saat masih muda, berukuran kecil dan berubah berwarnagelap pada stadia lebih lanjut. Kutil banyak terlihat pada batang yangberbatasan dengan permukaan air dan tunas-tunas baru yang keluar daripermukaan tanah. Penelitian ini menunjukkan nilam Aceh peka terhadapS. pogostemonis, dan nilam Jawa tahan terhadap S. pogostemonis sehinggadapat digunakan sebagai sumber ketahanan.Kata kunci: Ketahanan, Pogostemon cablin, Pogostemon heyneanus,S. pogostemonisABSTRACTSynchytrium pogostemonis is an obligate soil borne plant pathogenicfungus and causes a disease named “budok” of patchouli in Indonesia.Synchytrium is well known as a genus of highly host specific plantpathogen, therefore developing a resistant variety is considered as aneffective control measure. In Indonesia, there are two types of patchouliplants, i.e. Pogostemon cablin locally known as Nilam Aceh andPogostemon heyneanus known as Nilam Java or wild Nilam. P. cablin iswidely cultivated because it contains highly patchouli alcohol. However, P.cablin is susceptible to the pathogen. The aim of the current research wasto evaluate the resistance of three released patchouli varieties of P. cablinand a wild species of P. heyneanus. The three patchouli varieties testedwere Lhokseumawe, Sidikalang, and Tapak Tuan of P. cablin; whereas thewild variety was Girilaya of P. heyneanus. The test was conducted inlaboratory and green house using infected stem and leaves of patchouli assource of inoculum. Four nodes healthy cuttings of patchouli plant weregrown in plastic pots and boxes containing water and sterilized soil asplanting media, respectively. In the laboratory experiment, the cuttingswere inserted into hollowed sponge then placed on the surface of water inpots (7.5 cm diameter, and ± 350 ml). The source of inoculum (2 g) wasplaced in center of the pots. In the green house experiment, the cuttingswere planted into sterilized soil (mix of soil and compost in 1:1 ratio) inboxes (30 x 25 cm 2 ). The space between two rows of cuttings was 5 cm,and 1 cm within the row. The source of inoculum was placed between tworows of tested cuttings. The tested plants were covered with plastic bag tomaintain its humidity for one month and then transferred into polybagscontaining sterilized soil. Disease symptom and microscopic examinationswere observed at 6 th and 16 th weeks after inoculation for the laboratory andgreen house experiments, respectively. Results indicated that wartscontaining resting spores of S. pogostemonis were found in all varieties ofinoculated P. cablin, but none in the Girilaya variety of P. heyneanus. Thewarts were minutes, hyaline at immature stage, and darker in advancestage developed on the infected plants surface. The warts were mostlyfound at the base stems close to the surface of media, and also on shootsthat emerge from bellow media surface, both at laboratory and green housetests for P. cablin. There were no warts young on young shoots of Girilayavariety of P. heyneanus. The study concluded that P. cablin is highlysusceptible, but P. heyneanus is resistant to the pathogen, therefore it canbe used as resistant gene source.Key words: Resistance, Pogostemon cablin, Pogostemon heyneanus, S.pogostemonis
Keywords
Citation